إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Monday, November 7, 2016

BANTULAH “AHOK”


ONE DAY ONE HADITH

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasul SAW bersabda :
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi maka seseorang bertanya : Wahai Rasul SAW aku akan menolongnya tatkala ia didzalimi lantas bagaimana aku menolongnya jika ia berbuat dzalim?. Rasul SAW menjawab : Engkau cegah dia dari perbuatan dzalimnya, itulah arti menolong saudaramu yang berbuat dzalim. [HR Bukhari]

Catatan Alvers

Akhir-akhir ini beredar buku saku, 7 Dalil Umat Islam DKI dalam memilih Gubernur yang diterbitkan oleh relawan nusantra. Dalam kata pengantarnya disebutkan hadits di atas dengan penjelasan bahwa wajib hukumnya menolong ahok baik ia berbuat dzalim atau didzalimi, karena ahok bukan berasal dari bahasa cina tapi dari bahasa arab (Akha-ka) yang artinya saudaramu.

Ulasan ini tidaklah bermaksud masuk ke ranah politik, namun sekedar pengantar judul odoh kali ini sehingga dalam uraian selanjutnya kami akan menafikan kata ahok yang diplesetkan tadi.

Kata dzalim berasal dari bahasa arab, Ia adalah derivasi dari kata dzulm. Secara bahasa, kata dzulm berarti menaruh sesuatu bukan pada tempatnya. Adapun secara syariat, Al-Jurjani mendefinisikannya dengan :
عبارة عن التعدي عن الحق إلى الباطل، وهو الجور
Suatu ungkapan dari perbuatan yang melampaui batas kebenaran menuju kebathilan. [Al-Ta’rifat]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dzalim diartikan dengan menindas; menganiaya; berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. [Web KBBI]

Kedzaliman ditinjau dari sasarannya terbagi menjadi tiga jenis.

(A) Kedzaliman seseorang kepada Allah.
Kedzaliman jenis ini adalah yang terbesar. Termasuk dalam kategori ini adalah kufur (mengingkari Allah), syirik (menyekutukan Allah). Allah SWT berfirman:
يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Wahai anakku, Janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [QS Luqman: 13]

(B) Kedzaliman seseorang terhadap dirinya sendiri.
Allah SWT berfirman : “ …Lalu di antara mereka ada yang menganiaya (mendzalimi) diri mereka sendiri … ” [QS Fathir : 32]
Hal ini terjadi dengan melakukan hal-hal yang dilarang Allah yang pada hakikatnya akan merusak dirinya sendiri seperti mencari harta dengan jalan yang haram, meminum-minuman keras, berjudi, berzina, Narkoba dan lain lainnya. Allah SWT berfirman :

(C) Kedzaliman seseorang kepada Saudaranya.
Syeikh Syamsuddin Al-Dzahabi membagi perbuatan dzalim menjadi tiga yaitu: (1) Mengambil harta orang lain tanpa hak (2) Membunuh, Menganiaya, Memukul atau melukai orang lain (3) Mengumpat, melaknat, menuduh zina dll. [Al-Kaba’ir]

Semua jenis pebuatan dzalim di atas adalah hal yang terlarang. Allah SWT dalam hadits qudsy berfiman :
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا يَا عِبَادِي
 “Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian. Maka, janganlah kalian saling menzhalimi. [HR Muslim]

Dalam hadits utama di atas Rasul Saw memerintahkan kita untuk menolong saudara yang berbuat dzalim atau yang dizalimi. Rasul SAW menjanjikan pahala besar bagi siapa saja yang mau menolongnya. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengemukakan sebuah hadits:
من فرج عن مؤمن مغموم أو أعان مظلوما غفر الله له ثلاثا وسبعين مغفرة
Barang siapa yang membantu orang mukmin yang sedang tertimpa kesusahan atau menolong orang yang didzalimi maka Allah memberikan 73 ampunan-Nya kepada orang tersebut. [HR Al-Khara’ithi dalam Makarim al-Akhlak]

Dalam lanjutan hadits utama di atas Rasul Saw menjelaskan bagaimana menolong orang yang berbuat dzalim. Rasul SAW bersabda : Engkau cegah dia dari perbuatan dzalimnya [HR Bukhari]

Dalam satu kasus, orang yang hendak mencegah kedzaliman boleh jadi merasa tidak enak hati dengan orang yang didzalimi jika pelaku kedzaliman masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Namun ingatlah bahawa kedzaliman tetaplah kedzaliman. Kedzaliman itu bisa berasal dari mana saja, tidak hanya orang yang musuh atau orang yang jauh namun bisa jadi bersumber dari orang-orang terdekat bahkan tak disangka-sangka. Ingatkah anda bahwa Nabi Yusuf AS justru didzalimi oleh saudaranya (kandung) sendiri. Nabi Nuh As oleh anaknya, Nabi Luth oleh istrinya bahkan Nabi Muhammad SAW didzalimi oleh pamannya sendiri yaitu Abu Lahab bin Abdul Muttalib. Maka cegahlah pelaku kedzaliman, siapapun dia dengan satu cara yang bisa menghentikannya.

Alternatif menghentikan kedzaliman seseorang adalah dengan cara tidak lagi memuliakannya. Karena memuliakan seseorang yang dzalim akan menambah kedzaliman yang dilakukannya. Abu at-Thayyib Al-Mutanabby menjelaskan hal ini dalam sya’irnya :
إِذَا أَنْتَ أَكْرَمْتَ الكَرِيْمَ مَلَكْتَه  وَإِنْ أَنْتَ أَكْرَمْتَ اللَّئِيمَ تَمرَّدَاً
فَوَضْعُ النَّدَى فِي مَوْضِعِ السَّيفِ بالعُلا مُضِرٌّ كَوَضْعِ السَّيْفِ فِي مَوْضِعِ النَّدَى
Jika kamu memuliakan orang mulia maka kamu bisa memilikinya (karena ia merasa berhutang budi padamu) Namun jika kamu memuliakan orang hina maka ia semakin bertindak aniaya.

(Maka Jangan salah tempat) Berbuat baik dan lembut di saat dibutuhkan perilaku keras kepada seseorang akan membahayakan sebagaimana berlaku keras ketika sikon menuntut kebaikan dan kelembutan. [Tafsir Abi Su’ud]

Dengan kata lain, Abd Manaf berkata :
دواء من لم يصلحه الإكرام الهوان.
Seseorang yang tidak menjadi baik ketika dimuliakan maka obatnya adalah dihinakan (saja orang tersebut). [Bahjat al-Majalis, Libn Abd al-Barr] Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk berperilaku sesuai sikonnya.

Salam Satu Hadith,
DR.H.Fathul Bari, Malang, Ind

ONE DAY ONE HADITH
Kajian Hadits Sistem SPA
(Singkat, Padat, Akurat)

READY STOCK BUKU ONE DAY#1
OPEN INDENT BUKU ONE DAY#2
Motivasi Bahagia dari Rasul SAW
Distributor : 081216742626

Monday, October 31, 2016

RELATIVITAS NASAB


ONE DAY ONE HADITH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Bahwasannya Rasul SAW dalam keadaan berdiri tatkala Allah Azza Wa Jalla menurunkan ayat :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat [QS Asy-Syu’ara’ : 124], Beliau kemudian bersabda :
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
 “Wahai orang Quraisy (atau kalimat semacam itu), selamatkanlah diri kalian karena aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Catatan Alvers

Nasab atau keturunan adalah salah satu perkara yang dibanggakan manusia. Hal ini terbukti, jika seseorang hendak menikah maka ia akan mempertimbangkan perihal nasab bahkan di kalangan tertentu nasab menjadi pertimbangan nomor satu dari faktor lainnya. Perkara-perkara tersebut disinggung oleh Nabi SAW dengan sabda beliau :

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita itu dinikahi karena empat faktor; hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, Maka pilihlah karena faktor agamanya niscaya engkau beruntung” [HR  Bukhari]

Hadits ini bukanlah berarti anjuran untuk menikahi wanita karena faktor- faktor tersebut selain faktor agama, sebagaimana sering disalah pahami oleh sebagian orang. Hal ini ditegaskan oleh Imam Nawawi dengan komentarnya:

"
الصحيح في معنى هذا الحديث أن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر بما يفعله الناس في العادة فإنهم يقصدون هذه الخصال الأربع ، وآخرها عندهم ذات الدين ، فاظفر أنت أيها المسترشد بذات الدين ، لا أنه أمر بذلك
Yang benar dalam memaknai hadits tersebut adalah bahwasannya Nabi SAW mengabarkan apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam adat kebiasaannya. Mereka sengaja mencari 4 faktor tersebut. Dan faktor terakhir adalah faktor agama, maka carilah wanita yang memiliki agama kuat, wahai pencari nasehat. Hadits ini bukan berarti Nabi SAW memerintahkan untuk mencari faktor- faktor tersebut selain faktor agama [Syarah Muslim]

Nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah Ad-Dlaruriyat yaitu (agama (ad-din);  jiwa (an-nafs); akal (al-‘aql); keturunan (an-nasl); harta (al-mal). Hal ini terbukti bahwa Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang nama seseorang sebagaimana disebutkan dalam [QS Al-Ahzab :5]

Nasab juga dianggap penting dalam islam, terbukti Nabi SAW memerintahkan kita untuk mempelajarinya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ
Pelajarilah dari silsilah nasab kalian, agar kalian mengenali tali darah kalian, sebab menyambung tali darah dapat menambah kasih sayang dalam keluarga, menambah harta dan dapat menambah usia. [HR Turmudzi]

Namun demikian perlu disadari bahwa nasab saja tidak cukup menjadikan seseorang mulia di sisi Allah SWT. Bahkan nasab akan tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi oleh Akhlak terpuji seperti yang dimiliki oleh nenek moyangnya. Hal inilah yang dipesankan oleh Nabi SAW kepada Sayyidah Fathimah RA dalam hadits utama di atas. “Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Ketahuilah alvers, Kedudukan mulia di akhirat nanti adalah timbal balik dari amal shalih dari seseorang, bukan hasil ongkang-ongkang kaki dari nasabnya. Allah SWT berfirman :
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila sangkakala sudah ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mu’minun: 101)

Senada dengan ayat ini, Baginda Nabi SAW bersabda:
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” [HR Muslim]

Imam Nawawi menjelaskan Hadits ini, Beliau berkata :
معناه : من كان عمله ناقصا ، لم يلحقه بمرتبة أصحاب الأعمال ، فينبغي ألا يتكل على شرف النسب ، وفضيلة الآباء ، ويقصر في العمل .
Makna hadits ini adalah barang siapa yang amalnya kurang, maka ia tidak akan menemui kedudukan mulia orang-orang yang beramal. Maka hendaknya orang tidak mengandalkan nasab yang mulia dan keutamaan nenek moyangnya namun ia sembrono dalam beramal. [Syarah Muslim]

Dengan demikian, hadits ini menunjukkan bahwa amalanlah yang menaikkan derajat hamba menjadi mulia di akhirat. Hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala :
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan” [QS Al-An’am: 132]

Bahkan nasab akan terputus di sisi Allah jika seseorang berprilaku yang tidak sesuai dengan ahlak terpuji dari nenek moyangnya. Lihatlah, tatkala Nabi Nuh ingin menyelamatkan anaknya karena Nabi nuh memperhatikan hubungan nasabnya. Allah SWT menceritakan hal ini:
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku" [QS Hud : 45]
Namun lihat apa jawaban Allah SWT :
قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. [QS Hud : 46]

Orang yang membanggakan nasab dan garis keturunannya yang  mulia namun prilakunya kontras dengan akhlaqul karimah ayahnya atau nenek moyangnya maka mereka adalah oatng yang tertipu.

Imam Ghazali mengingatkan hal ini :
وَمَنْ ظَنَّ أَنَّهُ يَنْجُو بِتَقْوَى أَبِيهِ كَمَنْ ظَنَّ أَنَّهُ يَشْبَعُ بِأَكْلِ أَبِيهِ، وَيَرْوَى بِشُرْبِ أَبِيهِ، وَيَصِيرُ عَالِمًا بِعِلْمِ أَبِيهِ، وَيَصِلُ إِلَى الْكَعْبَةِ وَيَرَاهَا بِمَشْيِ أَبِيهِ.
Barang siapa yang menyangka bahwa ia akan selamat karena ketaqwaan ayahnya maka sama halnya ia menyangka akan menjadi kenyang sebab ayahnya makan, Segar sebab ayahnya minum, menjadi alim sebab ilmu yang dimiliki ayahnya, bisa mencapai ka’bah dan melihatnya sebab ayahnya pergi kesana. [Ihya Ulumuddin]

Maka dari itu berprilakulah seperti prilaku nenek moyangmu yang mulia suapaya nasab ini tetap diakui di akhirat kelak. Jika Sayyidah Fatimah RA saja puteri Nabi SAW -manusia paling mulia di muka bumi- tidak bisa ditolong oleh ayahnya sendiri, lantas bagaimanakah dengan keturunan selainnya? Maka Nasab itu relatif, Orang yang mulia perangainya maka nasab akan menambah kemuliaan dirinya namun jika seseorang jelek perilakunya maka jangan harapkan nasabnya akan bermanfaat baginya. Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk senantiasa menjaga perilaku baik dan selalu beramal shalih sehingga setiap kita akan mulia di sisi Allah SWT.

Salam Satu Hadith,
DR.H.Fathul Bari, Malang, Ind

ONE DAY ONE HADITH
Kajian Hadits Sistem SPA
(Singkat, Padat, Akurat)

READY STOCK BUKU ONE DAY#1
OPEN INDENT BUKU ONE DAY#2
Distributor : 081216742626

Saturday, October 22, 2016

HASUD TINGKAT TINGGI




ONE DAY ONE HADITH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
Jauhilah hasud sebab hasud itu dapat membakar kebaikan layaknya api membakar kayu bakar [HR Abu Daud]

Catatan Alvers

Penyakit hati yang sering merasuki jiwa manusia dengan tidak mengenal golongan, pangkat, jabatan, keturunan dan usia baik laki-laki maupun perempuan adalah hasud atau iri dengki. Hasud adalah sifat dari orang munafik sehingga hasud (Sifat dengki) dan Iman itu bagaikan air dan minyak yang tidak bisa menyatu, bagaikan siang dan malang yang tidak pernah jatuh bersamaan. Malam akan pergi jika siang datang dan begitu sebaliknya”.   Dalam Kitab Taysirul Khallaq disebutkan : Hasud adalah mengharap hilangnya suatu kenikmatan yang dimiliki orang lain. Jika mengharap kenikmatan seperti yang didapatkan oleh orang lain dan ia terpacu untuk bekerja keras memperolehnya maka hal ini disebut ghibthah , dari segi hukum ghibthah  itu diperbolehkan karena hal ini akan membangkitkan motifasi, Nabi SAW bersabda :
إن المؤمن يغبط والمنافق يحسد
Seorang mukmin mempunyai melakukan Ghibthah sedangkan orang munafik melakukan hasud “ [Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin]

Imam Ghazali membagi hasud menjadi 4 tingkatan: (1) Senang akan hilangnya kenikmatan yang ada pada orang lain walaupun nikmat tersebut tidak berpindah kepadanya. Ini adalah hasud tingkat tinggi. (2) Senang akan hilangnya kenikmatan yang ada pada orang lain dan berusaha untuk mendapatkannya. Tingkatan ini juga tercela namun labih ringan dari yang pertama. (3) Menginginkan nikmat seperti yang dimiliki orang lain, dan jika tidak mampu menyamainya, maka dia berharap agar nikmat tersebut hilang dari orang lain, agar dirinya terlihat sama dengan orang lain tersebut. (4) Menginginkan nikmat seperti yang dimiliki orang lain, namun jika ia tidak mendapatkan nikmat tersebut maka ia tidak ingin nikmat tersebut hilang dari orang lain. Ini adalah tingkatan paling rendah dan hasud semacam ini diperbolehkan. (Ihya Ulumuddin)

Contoh hasud tingkat tinggi ini yang sering kita temui adalah seperti kejadian si fulan yang maju dalam pilkada kemudian saudaranya ada yang hasud. Ia menyebar berita negatif di media massa supaya si fulan gagal maju pilkada. Ia tidak peduli habis biaya berapa membayar media untuk kampanye hitam tersebut padahal ia bukan calon yang akan maju dalam pilkada.

Adapun contoh hasud tingkat ke dua adalah kisah yang ditulis oleh seorang ahli satra mesir yang bernama Baha’uddin Al-Absyihi (790 H - 852 H) dalam AL-Mustathraf Fi Kulli Fann Mustathraf : Kisah ini terjadi pada masa Khalifah Al-Mu'tashim Billah Bin Harun Ar-Rasyid (179 H - 227 H) Kholifah ke delapan Abbasiyah. Ada seorang lelaki dari desa (Badui) mengunjungi sang kholifah dan setelah beberapa lama orang badui tadi menjadi orang dekatnya. Melihat keakraban badui ini, Seorang wazir (patih) dengki akan kedudukannya dan berkata "aku harus menyingkirkan orang itu dari khalifah, kalau tidak maka sang khalifah akan menjauh dariku". Mulailah ia berfikir bagaimana cara menyingkirkannya dari istana.

Suatu hari, wazir mengajak badui mampir ke rumahnya dan sengaja menjamunya dengan berbagai hidangan yang penuh dengan bumbu bawang. Usai jamuan, wazir berkata: jangan dekat-dekat kepada khalifah, karena beliau tidak suka bau bawang. Si wazir segera menemui khalifah dan berkata, “Si badui itu, jika keluar dari sini selalu berbicara buruk tentang Tuan. Ia juga berkata bahwa bau mulut tuan busuk sekali.” Selang beberapa saat, datanglah sang badui menemui khalifah. Sewaktu berjabat tangan dengan khalifah, ia menutup mulutnya dengan lengan bajunya agar khalifah tidak mencium bau mulutnya. Khalifahpun berkata dalam hatinya “Rupanya benar perkataan wazir, ia benar-benar menganggap mulutku bau”. Setelah ia berpamitan, Khalifah berkata, “Serahkanlah surat ini kepada fulan dan suruhlah ia membalasnya.” Surat itu tertutup rapat. Badui tadi keluar membawa surat khalifah.

Di tengah jalan ia bertemu wazir, si pendengki. “Apa yang kamu bawa?” tanyanya. Badui menjawab : Ini Surat khalifah untuk fulan. Saya diperintah untuk mengirimkannya". Si wazir menawarkan diri untuk mengirimkannya dan ia memberi uang sebesar 2000 dinar. Si wazir mengira bahwa surat itu adalah surat pemberian hadiah. Wazirpun menyerahkan surat itu kepada si fulan sesuai amanat khalifah. Lalu si fulan yang ternyata seorang algojo itu langsung membunuhnya. Ternyata dalam surat tersebut tertulis :
 إذَا وَصَلَ إِلَيْكَ كِتَابِي هَذَا فَاضْرِبْ رَقَبَةَ حَامِلِهِ
"Jika suratku ini telah sampai kepadamu, maka bunuhlah orang yang membawanya".

Keesokan harinya, Si badui datang sebagaimana biasa. Khalifah pun terheran-heran melihatnya masih hidup dan bertanya tentang surat itu. Iapun menceritakan kejadian tersebut dan menjelaskan tentang fitnah bau mulut khalifah. Mendengar ceritanya, tahulah khalifah bahwa wazir telah dengki kepada badui. Khalifah akhirnya mengangkat si badui menjadi wazir pengganti wazir yang tewas karena kedengkiannya sendiri. [Mustathraf Fi Kulli Fann Mustathraf] Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk menjauhkan diri dari sifat iri dengki yang akan menghanguskan semua pahala ibadah kita. Semoga Allah memberi kita keikhlasan dalam semua ibadah perbuatan baik.