Sunday, April 7, 2024

MENELPON ALLAH

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatakan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي

Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihat aku karena setan tidak bisa menyerupai wujudku. [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Jemaah Masjid Aolia di Gunungkidul, DIY merayakan Idul Fitri dan menggelar Salat Ied, Jumat (5/4/2024) kemarin, jauh lebih awal dibandingkan dari penetapan pemerintah. Selaku Imam, pria yang akrab disapa Mbah Benu mengungkapkan dasarnya. Ia berkata : "Saya tidak pakai perhitungan (untuk menentukan Idul Fitri). Saya telpon langsung kepada Allah SWT, 'Ya Allah ini sudah 29, satu syawalnya kapan?' Allah SWT mengatakan tanggal 5 Jumat". [suarapemredkalbar com] Sontak pernyataan sang imam tersebut menuai kontroversi karena penetapan idul fitri tidak berdasarkan aturan baku yaitu rukyah atau hisab, melainkan berdasarkan kepada “telpon” kepada Allah.

 

Memang Informasi dari Allah atau informasi Rasul dalam mimpi adalah satu kebenaran namun dalam hal ini ada beberapa hal yang dipermasalahkan. Pertama, memang bermimpi nabi adalah satu perkara yang benar sebagaimana disebutkan pada hadits utama yaitu Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihat aku karena setan tidak bisa menyerupai wujudku. [HR Muslim] Namun yang menjadi masalah apakah orang yang mengaku dirinya bermimpi Nabi betul-betul bermimpi dengan benar. Dari sinilah maka bermimpi nabi tidak bisa dijadikan dasar dalam penentuan idul fitri. Syeikh Zakaria Al-Anshari berkata :

وَلَا بِرُؤْيَةِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فِي النَّوْمِ قَائِلًا غَدًا مِنْ رَمَضَانَ، لِبُعْدِ ضَبْطِ الرَّائِي، لَا لِلشَّكِّ فِي الرُّؤْيَةِ.

penentuan idul fitri tidak bisa didasarkan dengan melihat Nabi SAW dalam mimpi, dimana beliau bersabda bahwa besok adalah permulaan ramadhan (atau idul fitri) hal ini dikarenakan sulitnya memastikan kebenaran pengakuan sebuah mimpi, bukan karena meragukan kebenaran mimpi Nabi SAW. [Minahajut Thullab]

 

Ibnu Hajar al-haytami lebih lanjut menjelaskan: “Penentuan idul fitri tidak bisa didasarkan kepada mimpi melihat Nabi SAW, Muraqabah ataupun Kasyaf (terbukanya hijab). Maka haram hukumnya berpuasa atau berhari raya dengan berpedoman kepada hal-hal tersebut dan tidaklah bisa dijadikan pertimbangan hukum atas pengakuan bahwa seseorang mendengar dari sosok (Nabi) yang tidak bisa diserupai oleh setan dikarenakan tidak adanya cara untuk memastikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Hukum Allah itu tidak bisa diterima kecuali dari lafadz atau instimbath (menggali hukum) adapun mimpi dan semacamnya tidak termasuk salah satu dari keduanya. Maka disini ada kontradiksi, jika demikian maka dipilihlah yang rajih, yaitu dalam kondisi terjaga (bukan mimpi)”. [Tuhfatul Muhtaj]

 

Kedua, seseorang tidaklah mampu melihat ataupun berkomunikasi dengan Allah SWT secara langsung. Abu Dzar RA pernah bertanya kepada Nabi SAW apakah beliau dapat melihat Allah secara langsung? Maka beliau menjawab :

نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ

“(Terhalang oleh) cahaya, maka bagaimana bisa aku melihat-Nya”. [HR Muslim]

 

Ketidakmampuan manusia melihat Allah di dunia digunakan celah oleh setan untuk mengaku-ngaku sebagai Tuhan dengan menampakkan dirinya kepada ahli ibadah yang minim ilmu dan disinilah banyak orang disesatkan oleh setan. Hal ini sebagaimana pernah menimpa Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Pada satu malam terdapat cahaya yang besar memenuhi ufuk yang tampak kepda beliau kemudian terdengar suara :

يَا عَبْدَ الْقَادِرِ أَنَا رَبُّكَ، قَدْ حَلَّلْتُ تِلْكَ الْمُحَرَّمَاتِ

“Wahai Abdul Qadir. Aku adalah tuhanmu. Sungguh, Aku telah menghalalkan untukmu semua hal-hal yang haram.”

 

Lalu Syeikh Abdul Qadir berkata : “Enyahlah kau, wahai makhluk terkutuk!” Seketika itu, cahaya tersebut berubah menjadi gelap dan terdapat asap yang merupakan perwujudan setan berkata : “Wahai Abdul Qadir! engkau telah selamat dariku lantaran pengetahuanmu tentang Rabbmu dan ilmu fikihmu.

وَلَقَدْ أَضْلَلْتُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْوَاقِعَةِ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الطَّرِيْقِ

Sungguh aku telah menyesatkan tujuh puluh orang dari kalangan ahli ibadah dengan cara seperti ini.” [At-Thabaqat Al-Kubra Lis Sya’rany]

 

Ketidakmampuan manusia berkomunikasi secara langsung dengan Allah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman : 

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (seperti yang dialami oleh Nabi Musa AS) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [As-Syura : 51]

 

 

Di sinilah pentingnya ilmu sehingga orang bisa terhindar dari jebakan setan karena ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Orang yang ahli ibadah namun minim ilmu, mereka menjadi sasaran empuk setan. Rasulullah SAW bersabda:

 فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ

"Satu orang ahli fikih itu lebih berat bagi setan dari pada seribu ahli ibadah." [HR Ibnu Majah]

 

Ketiga, wahyu telah terputus pasca wafatnya Nabi SAW sehingga tidak ada lagi syariat melainkan bersumber dari Al-Quran dan hadits. Tidak lama setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar; 'Ikutlah dengan kami menuju ke rumah Ummu Aiman untuk mengunjunginya sebagaimana Rasul mengunjunginya. Dan ketika kami telah sampai di tempatnya, Ummu Aiman pun menangis. Lalu mereka berdua berkata kepadanya; Kenapa kau menangisi beliau, bukankah apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi RasulNya SAW? Ia menjawab: Bukanlah aku menangis karena aku tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi RasulNya,

وَلَكِنْ أَبْكِي أَنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ مِنَ السَّمَاءِ

“akan tetapi aku menangis karena dengan wafatnya beliau berarti wahyu dari langit telah terputus”. [HR Muslim]

 

Dari sini jelaslah bahwa tidak ada wahyu dan syariat baru lagi pasca wafatnya Nabi SAW. Dengan demikian bahwa mimpi atau bisikan bahkan telepon yang disebut bersumber dari Allah itu bertentangan dengan syariat yang sudah ditetapkan oleh Nabi SAW dimana beliau bersabda :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal (hilal Ramadhan) dan berharirayalah kalian karena melihat hilal (hilal syawal), jika hilal terhalang awan maka sempurnakanlah bilangan bulan sya'ban (30 hari). [HR Bukhari]

Maka pernyataan sang imam masjid gunung kidul di atas nyata-nyata salah dan keliru. Jikapun bisikan itu benar adanya maka itu bukan bersumber dari Allah melainkan itu dari setan yang ingin menyesatkan manusia.

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu mempelajari syariat dan berpegang teguh kepadanya sehingga kita bisa terhindar dari tipu daya dan rekayasa setan dan tidak mengikuti orang-orang yang disesatkan olehnya.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.


0 komentar:

Post a Comment