Monday, March 11, 2024

TAMU TAK DIUNDANG

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Mendatangi undangan walimah merupakan satu kewajiban. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : Hadits (utama) di atas menjadi dalil kewajiban mendatangi undangan (walimah), karena predikat “maksiat” itu tidak akan disematkan kecuali atas perilaku meninggalkan perkara yang wajib. [Fathul Bari]. Namun bagaimana hukumnya jika seseorang mendatangi satu acara walimah tanpa diundang?

 

Dahulu di Kufah terdapat seorang lelaki bernama “Thufayl bin Zallal” dari keluarga bani Abdillah bin Ghathafan. Ia sering mendatangi walimah tanpa diundang. Karena saking gemarnya makan di tempat walimah maka ia berkata : “Aku ingin Kota Kufah menjadi bendungan (yang menampung kuah masakan), sehingga aku dengan mudah menemukan makanan dan tidak ada walimah yang terlewatkan.” Karena ia terkenal sebagai orang yang sering mendatangi walimah tanpa diundang maka setiap tamu yang tak diundang dijuluki dengan nama nisbat kepadanya yaitu “Thufayli” (segolongan dengan Thufayl). [Al-Mufasshal Fi Tarikhil Arab] Al-Jahidz menceritakan bahwa Thufayl berkata :

حَفِظْتُ الْقُرْآنَ وَنَسِيْتُهُ جَمِيْعَهُ إِلَّا حَرْفَيْنِ آتِنَا غَدَاءَنَا

Aku hafal Al-Qur’an namun aku lupa semuanya kecuali dua kata saja yaitu “Atina Ghada’ana” (Datangkanlah makanan kepadaku) [At-Tadzkirah Al-Hamduniyah]

 

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata “Thufayli” berasal dari kata “Thafl” yang berarti kegelapan. Dinamakan demikian karena orang fakir dari kalangan bangsa Arab ketika mendatangi jamuan tanpa diundang maka ia datang dengan menutupi diri dengan kegelapan supaya tidak diketahui. [At-Tadzkirah Al-Hamduniyah]

 

Istilah lain dari “Thufayli” adalah “Dlayfan” (dengan tambahan huruf nun) yaitu orang yang tidak diundang namun ketika melihat para tamu undangan masuk maka ia ikut masuk menyusup mengikuti mereka dan shahibul hajat membiarkannya masuk karena malu untuk melarangnya. Ibnul Imad berkata : Semua yang dimakan olehnya hukumnya haram. [Fashshul Khawatim fima Qila fil Wala’im] Syeikh Sulaiman berkata : “Dlayfan” (tamu tak diundang) itu antonim dari kata “Dlayf” (tamu). [Hasyiyah Al-Jamal Syarhil Minhaj]

 

Perbuatan yang dilakukan oleh “Thufayli” dikenal dengan istilah “Tathafful”. Syeikh Zakaria Al-Anshari berkata :

وَأَمَّا التَّطَفُّلُ وَهُوَ حُضُورٌ لِدَعْوَةٍ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَحَرَامٌ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ رِضَا رَبِّ الطَّعَامِ لِصَدَاقَةٍ أَوْ مَوَدَّةٍ

Tathafful adalah mendatangi undangan (khusus) tanpa ijin (tanpa diundang), Hukumnya adalah haram kecuali jika pemilik makanan (Shahibul hajat) ridlo kepadanya karena adanya hubungan pertemanan atau rasa suka. [Fathul Wahhab]

 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menggolongkannya ke dalam dosa besar. Beliau mencantumkan Tathafful dalam dosa besar dengan nomor urut 67 dalam kitabnya Az-zawajir An-iqtirafil Kaba’ir. Beliau menggolongkan Tathafful sebagai perbuatan memakan harta orang lain dengan cara bathil dan dalam hadits disebutkan :

مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ دَخَلَ عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَلَ سَارِقًا وَخَرَجَ مُغِيرًا

“Barang siapa yang diundang namun ia tidak mendatanginya maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa masuk (ke satu acara udangan) tanpa diundang maka ia masuk sebagai pencuri (yang menyelinap) dan keluar sebagai perampok (yang terang-terangan).” [HR Abu dawud]

 

Abu Dawud sendiri tidak mendla’ifkan (menghukumi lemah) pada hadits ini sehingga hadits ini bisa dijadikan hujjah menurut Abu Dawud, meskipun para ulama lainnya mengatakan bahwa dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul atau mukhtalaf. [Az-zawajir An-iqtirafil Kaba’ir]  Dan Abu Said Al-Khadimy dalam kitabnya Bariqah Mahmudiyah berkata : Dengan demikian maka seorang Thufayli telah mengumpulkan dua dosa yaitu dosa mencuri dan dosa merampok. Ada yang mengatakan bahwa sanad hadits tersebut Dla’if (lemah) namun demikian hadits tersebut memiliki syahid dalam Al-qur’an  yaitu :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin... [QS An-Nur : 27]

 

Dan Imam Syafii berkata : Barang siapa yang menghadiri walimah (khusus) tanpa undangan, tanpa adanya darurat dan tanpa ijin, lalu ia mengulangi perbuatannya itu maka ia menjadi tertolak persaksiannya karena ia telah memakan makanan haram. [Al-Umm] Syeikh Sulaiman berkata :

فَلَوْ دَعَا عَالِمًا أَوْ صُوْفِيًّا فَحَضَرَ بِجَمَاعَتِهِ حَرُمَ حُضُورُ مَنْ لَمْ يُعْلَمْ رِضَا الْمَالِكِ بِهِ مِنْهُمْ

Jika seorang ulama atau shufi diundang kemudian ia hadir bersama jamaahnya maka jamaahnya diharamkan masuk ke dalam acara walimah jika tidak diketahui status ridlo atau ijin dari shahibul bayt. [Hasyiyah Al-Jamal Syarhil Minhaj]

 

Pada suatu hari, Abu Syuaib menyuruh pembantunya yang ahli memasak daging untuk memasak makanan untuk menjamu lima orang termasuk Rasul SAW. Lalu Iapun mengundang beliau. Rasul SAW pun mendatangi undangan tersebut bersama empat orang lainnya. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mengikuti beliau. Maka Rasulullah SAW meminta ijin kepada Abu Syuaib, Beliau berkata “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami.

فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ

Jika engkau mau, ijinkan ia! Namun jika tidak engkau ijinkan maka tinggalkan saja dia.”

Kemudian Abu Suaib berkata : “Aku mengijinkannya.” [HR Bukhari]

 

Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasul SAW. Beliau meminta ijin kepada shahibul bayt (orang yang mengundang) jika ada orang yang tak diundang ikut hadir dalam acara walimah, baik atas inisiatif dia sendiri dalam mengikuti kita seperti kisah tadi atau inisiatif kita untuk mengajaknya seperti kisah berikut ini.

 

Anas RA menceritakan bahwa Rasul mempunyai tetangga seorang bangsa Persia yang pandai memasak. Pada suatu hari dia memasak hidangan untuk beliau. Setelah itu dia datang mengundang beliau. Beliau bertanya: "Aisyah bagaimana (apakah aku boleh mengajaknya datang)?" orang itu menjawab; “Dia tidak!”  Rasul bersabda: "Kalau begitu aku juga tidak (mau datang)!" Orang itu mengundang beliau lagi (kedua kali). Rasulullah SAW bertanya: "'Aisyah bagaimana? '" orang itu menjawab; 'Dia tidak! ' Rasul bersabda: "Kalau begitu aku juga tidak!" Orang itu mengundang beliau lagi (ketiga kali). Rasulullah SAW bertanya: "'Aisyah bagaimana? '" orang itu menjawab pada ketiga kalinya; 'Ya, Aisyah juga.' Maka Rasul bangkit dan pergi bersama Aisyah secara beriringan ke rumah tetangga tersebut. [HR Muslim] Orang persia tersebut pada awalnya tidak mengundang Aisyah boleh jadi karena makanan yang disediakannya sedikit sehingga ia ingin menghidangkannya kepada Nabi SAW secara sempurna. [Al-Minhaj Syarah Muslim]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati kita untuk memenuhi setiap undangan dengan tidak membawa serta orang lain yang tak diundang melainkan atas seizin shahibul bayt dan kita tidak menjadi tamu tak diundang.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

0 komentar:

Post a Comment