ONE DAY ONE
HADITH
Rasul SAW bersabda, :
رُبَّ
صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun ia hanya mendapatkan rasa
lapar dan dahaga dari puasanya tersebut.” [HR Thabrani]
Catatan
Alvers
Diriwayatkan
dalam Syu’abul Iman dari Nafi’ bahwasannya suatu ketika Abdullah Ibnu Umar (8
SH – 73 H) keluar menuju salah satu pelosok madinah bersama para sahabatnya. Dalam
perjalanan itu mereka berhenti dan menghamparkan alas untuk istirahat dan makan
siang. Saat itu, turunlah seorang penggembala kambing dari lereng gunung dan
melewati mereka yang sedang menyantap makan siang. Penggembala itupun mengucap
salam. Lalu Ibnu Umar menjawabnya dan menawarkan makanan kepadanya: “Kemarilah
wahai penggembala, marilah makan bersama kami”. Penggembala memohon maaf seraya
mengemukakan alasannya “Saya sedang berpuasa”. Ibnu umar bertanya-tanya kepadanya dengan nada
heran:
أَتَصُومُ
فِي مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ الْحَارِّ شَدِيدٍ سُمُومُهُ وَأَنْتَ فِي هَذِهِ
الْجِبَالِ تَرْعَى هَذَا الْغَنَمَ ؟
Akankah kau
puasa pada hari yang panas lagi terik seperti ini sedang kau berada di gunung
untuk menggembalan kambing ini?
Lantas terbesitlah
pada hati ibnu umar untuk menguji apakah penggembala tadi benar-benar berpuasa. Ibnu umar bertanya: “Maukah
engkau menjual satu ekor dari kambing- kambingmu ini, nanti kuberi uangnya dan
kuberi dagingnya untuk buka puasamu nanti?”. Penggembala menjawab: “maaf ini
bukan kambingku, kambing-kambing ini milik majikanku”. Lantas ibnu umar ingin
menguji lebih jauh : “Majikanmu tidak akan tahu kalau kambingnya hilang satu
ekor, atau bisa saja kau bilang kepadanya bahwa seekor kambingnya di mangsa
harimau”. Seketika itu si penggembala
memalingkan wajahnya sambil mengacungkan telunjuknya ke arah langit dan berkata
: “Fa Ainallah, Ya sayyidi?” Lantas dimanakah Allah itu? Jika aku berani
melakukan kecurangan itu bukankah Allah mengetahuinya. Mendengar jawaban yang
mantap dari penggembala tadi maka ibnu umar kaget dan tergetar hatinya, sungguh
jawaban yang tak terduga yang muncul dari hati orang yang benar-benar berpuasa yang
memiliki keimanan dan ketaqwaan yang kuat sebagai hasil dari puasanya.
Selepas
kejadian itu, ibnu umar mengulang-ulang ucapan si penggembala tadi “Fa ainallah,
Fa ainallah”. Sekembalinya ke madinah, ibnu umar mencari sang majikan untuk membeli
satu ekor kambing darinya sekaligus membeli budak penggembala tersebut untuk dimerdekakan.
Ibnu umar kemudian menghadiahkan kambing yang dibelinya itu kepada sang
penggembala yang telah merdeka. [HR Al-Baihaqi]
Inilah gambaran puasa yang sebenarnya, puasa yang mengantarkan seorang
pelakunya meraih predikat taqwa. Bukankah puasa diwajibkan supaya kalian bertaqwa
“La allakum tattaqun” [lihat QS Al-Baqarah 183]. Dengan demikian orang yang
berpuasa namun puasanya tidak menjadikan pribadinya bertaqwa maka sungguh
puasanya sia-sia sebagaimana hadits di atas.
Taqwa
didefinisikan oleh syeikh hafidz al-Mas’udi:
اَلتَّقْوَى هِيَ
اِمْتِثَالُ أَوَامِرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ سِرًّا
وَعَلاَنِيَّةً
Taqwa adalah
melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-laranganNya,
baik dalam keadaan sendirian maupun di depan khalayak ramai. [Taysirul Khallaq]
Selaras
dengan tujuan puasa yang membentuk pribadi ber-taqwa maka disinilah sebenarnya letak
pendidikan karakter dalam puasa. Taqwa menurut hemat penulis adalah puncak dari
pendidikan karakter. Bukankah Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan watak
dan tabiat peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan
masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kujujuran, dapat
dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif
(perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (ilmu pengetahuan, berpikir
rasional), dan ranah psikomotorik (keterampilan, kerja sama). [Lihat Syamsul
Kurniawan, Pendidikan Karakter, 2013]
Menurut penulis
minus taqwa, pendidikan karakter adalah pendidikan yang semu, layaknya pepesan
kosong layaknya seperti kejadian dalam kisah berikut. Seorang pejabat keluar
dari sebuah hotel mewah setelah ia menyelenggarakan seminar dan malam amal
untuk menggali dana bagi anak-anak miskin dan terlantar yang berkeliaran di
jalan. Ketika akan masuk ke mobil mewahnya, seorang anak jalanan mendekatinya
dan merengek, ”Pak, minta uang sekadarnya. Sudah dua hari saya tidak makan.”
Pejabat itu terkejut dan melompat menjauhi anak itu. ”Dasar anak keparat yang
tak tahu diri!” teriaknya. ”Tak tahukah kamu bahwa sepanjang hari saya sudah
bekerja sangat keras untukmu?”.
Taqwa
menuntut kebaikan dari pemiliknya kapan saja dan dimana saja. Baik di hadapan
umum seperti seminar, liputan tv dll. maupun dalam tingkah sendirian, jauh dari
keramaian dan liputan seperti kejadian di atas. Maka Ramadhan sebagai bulan
dimana semua umat yang beriman diperintahkan berpuasa akan mencetak output yang
sarat dengan sifat taqwa yang merupakan puncak pendidikan karakter manjadi
Bulan Pendidikan Karakter.
Pendidikan
karakter menjadi tema penting untuk dibahas mengingat negeri ini sedang dilanda
krisis moral dan budi pekerti dimana banyak terjadi tawuran antar pelajar,
perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, budaya tak tahu malu, tata nilai
dan norma yang semakin merosot tidak hanya di perkotaan tapi sudah merambah ke
pedesaan. Gagasan Pendidikan karakter di indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman
kemerdekaan Republik Indonesia. Presiden soekarno saat itu menyatakan perlunya “nation
and character building” sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa. Beliau
menyadari bahwa karakter suatu bangsa yang kuat berperan besar dalam mencapai
tingkat keberhasilan dan kemajuan bangsa. Lebih jauh lagi di dalam ajaran
islam, Sejak 14 abad yang silam Rasul diutus ternyata mengemban risalah dengan
misi utama pembenahan bahkan penyempurnaan karakter. Hal ini ditegaskan dalam
sabda Beliau :
إنما
بعثت لأتمم صالح الأخلاق
Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan karakter mulia [HR Bukhari dalam Adab Al-Murad].
Semoga Bulan ramadhan betul-betul menjadi bulan pendidikan karakter untuk kita
dan putra putri kita sehingga selepas dari bulan ramadhan kita mendapat
predikat Muttaqin. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Post a Comment