ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abdullab bin Amr bin Ash RA, Rasul SAW
bersabda :
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً
أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
“Cukuplah
sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi
tanggungannya.”[HR Ahmad]
Catatan Alvers
Viral seorang influencer wanita mengajukan gugatan cerai dengan menuntut nafkah sebesar Rp 100
perak. Angka ini diambil sebagai simbol sekaligus penegasan bahwa selama
menikah, sang istri merasa tidak diberikan nafkah
yang layak oleh suaminya (9/2025). [detik com] Sebaliknya, pada tahun lalu seorang pria
berprofesi sebagai model sekaligus politikus digugat cerai istrinya karena
nafkah yang dinilai kurang. Surat kabar
menulis judul “Satu Sebab (istri) Gugat Cerai (suami) Karena Nafkah Kurang, Padahal
Beri Rp70 Juta Lebih”. Menurut
pengacara, nafkah suami untuk istrinya dinilai kurang karena tidak cukup
memenuhi untuk hal lain di luar kebutuhan utama. "Mungkin dari pihak istri ngerasa kurang karena
mungkin nggak bisa foya-foya, mungkin seperti itu. [tribunnews.com] Netizenpun komen
: “Au. Kalau aku dikasih
segitu sebulan mungkin aku umroh setiap bulan, mungkin juga udah punya apa yg
ku pingin. Gilaaa tak bersyukur sekali”. “70 jt gk cukup..? Itu manusia apa Bidadari.. klo mau hidup mewah mending
hidup disurga Neng.. caranya Loo mati dulu.. kwkkwkww.”
Dalam Islam, suami dijadikan sebagai pemimpin atau kepala
rumah tangga. Dan di antara kewajibannya adalah memberikan nafkah. Allah SWT
berfirman :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka.
[QS An-Nisa : 34]
Meliputi apa saja nafkah itu? Suatu ketika Mu’awiyah
al-Qusyairi RA bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi
kewajiban suaminya?” Beliau bersabda :
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا
طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ
”Engkau memberi
makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika
engkau berpakaian...”. [HR Abu
Dawud]
Demikian pula tempat tinggal. Allah SWT
berfirman :
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka
(para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…. [QS At-Thalaq: 6]
Maka ulama memberikan definsinya. Nafkah adalah
sesuatu yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya baik berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya [Al-Mu’jamul Wasith]. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam
BAB XII HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b
dinyatakan: (4) sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung : a. nafkah,
kiswah (pakaian) dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
Lantas berapa besaran nafkah yang wajib
diberikan kepada istri? Islam tidak memberikan nominal tertentu hanya saja Islam
memberikan batasan istilah “bil ma’ruf”. Allah SWT
berfirman :
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf …. [QS Al-Baqarah: 233]
Kata Ma’ruf berarti baik atau
yang diketahui. Al-Qurthubi menafsirkan kata “Ma’ruf” dengan :
بِالْمُتَعَارَفِ فِي عُرْفِ
الشَّرْعِ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ وَلَا إِفْرَاطٍ
sesuai dengan kebiasaan yang dikenal
dalam syariat, tanpa berlebihan dan tanpa kekurangan. [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an]
Dan menurut Jalaluddin Al-Mahally yang
dimaksud ma’ruf adalah “Biqadri thaqatih” yakni sesuai kemampuan suami. [Tafsir Jalalain] Maka suami tidak wajib kaya namun seorang
suami harusnya berusaha demi menafkahi istri dan anaknya. Allah SWT berfirman :
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
Dan orang yang
disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah
karuniakan kepadanya. [QS Ath-Thalaq : 7]
Ada juga suami mampu namun ia tidak mau
menafkahi sebagaimana terjadi di zaman Rasl SAW. Pada suatu hari Hindun binti
‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suami) adalah
seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang
mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak
tahu”. Maka beliau bersabda:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ
وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah yang
mencukupimu dan anakmu dengan ma’ruf (baik, patut)”.[HR Bukhari]
Berdosalah seorang suami jika tidak
menunaikan kewajiban memberi nafkah. Dalam hadits utama, Nabi SAW bersabda : “Cukuplah berdosa seorang suami jika menyia-nyiakan orang yang
menjadi tanggungannya.”[HR Ahmad] Dan Al-Khattabi berkata : Maknanya,
seolah-olah ia berkata kepada orang yang bersedekah : "Janganlah
bersedekah dengan sesuatu yang tidak ada kelebihan (sisa) dari kebutuhan pokok
keluargamu, lalu engkau mengharapkan pahala darinya, karena bisa jadi pahala
itu justru berubah menjadi dosa jika engkau menelantarkan mereka." [Aunul
Ma’bud]
Memang benar Nabi SAW tidak memberikan
batasan secara spesifik dalam urusan nafkah namun para ulama memberikan
gambarannya. Abu Syuja’ berkata :
وَنَفَقَةُ
الزَّوْجَةِ المُـمَكِّنَةِ مِنْ نَفْسِهَا وَاجِبَةٌ وَهِيَ مُقَدَّرَةٌ
“Nafkah bagi istri yang taat adalah
wajib, dan nafkah itu memiliki takaran tertentu”. [Matnul Ghayah Wat Taqrib]
Lantas beliau memberikan klasifikasinya
: “(1) Jika suami kaya, maka ia wajib memberinya dua mudd dari makanan pokok
yang biasa dikonsumsi istrinya, serta dari lauk-pauk dan pakaian sesuai
kebiasaan orang-orang kaya. (2) Jika suami miskin, maka ia cukup memberi satu
mudd (675 Gram) dari makanan pokok yang umum di daerah tersebut, serta lauk dan
pakaian sebagaimana yang biasa dikonsumsi dan dikenakan oleh orang-orang
miskin. (3) Jika suami biasa (pertengahan), maka ia wajib memberinya satu
setengah mudd, serta lauk dan pakaian yang menengah (tidak mewah dan tidak
sederhana). Dan jika istri termasuk wanita yang biasanya memiliki pembantu,
maka suami wajib menyediakan pembantu untuknya”. [Matnul Ghayah Wat Taqrib]
Seorang isteri hendaknya ridha dengan nafkah yang sedikit ketika suami berada dalam
kesusahan dan kemiskinan. Dan ketika suami berada dalam kondisi
cukup atau kaya maka istri tidak menuntut di atas kemampuan suami atau batas
kewajaran. Rasul SAW bersabda :
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى
امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah tidak
akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan
dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup).” [HR Nasa’i]
Jika kondisi yang terjadi sebagaimana
kasus viral diatas, yaitu suami tidak menafkahi maka istri boleh menggugat ke
pengadilan. Abu Syuja’ berkata :
وَإِنْ أَعْسَرَ بِنَفَقَتِهَا
فَلَهَا فَسْخُ النِّكَاح
Dan jika suami tidak mampu memberikan
nafkah, maka istri berhak untuk menuntut pembatalan (fasakh) pernikahan." [Matnul
Ghayah Wat Taqrib]
Wallahu A’lam.
Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran para suami untuk berusaha memenuhi nafkah sesuai kadar kemampuan dan para istri tidak menuntut nafkah di luar
kemampuan suami.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share
sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW
menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.






0 komentar:
Post a Comment