إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Friday, August 29, 2025

MENGALAH UNTUK MENANG

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Umamah RA, Rasul SAW Bersabda :

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

Aku menjamin sebuah istana yang berada di pinggiran surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar. [HR Abu Dawud]

 

Catatan Alvers

 

Orang bijak berkata : “Jangan berdebat dengan pelanggan, meskipun menang kau akan kehilangan pelanggan. Jangan berdebat dengan atasan, meskipun menang kau akan kehilangan masa depan. Jangan berdebat dengan saudara, meskipun menang kau akan kehilangan persaudaraan. Jangan berdebat dengan teman, meskipun menang kau akan kehilangan teman. Jangan berdebat dengan pasangan, meskipun menang kau akan kehilangan sebagian rasa sayang”.

 

Sebenarnya ketika berdebat meskipun menang kita itu kalah. Ya, sebab yang menang adalah ego kita dan kemenangan ego adalah kemenangan semu. Pepatah jawa mengatakan “Rebutan upo kelangan tumpeng” (berebut untuk mendapatkan sebutir nasi namun menyebabkan kehilangan tumpeng). Ego itu ibarat sebutir nasi dan hubungan baik itu tumpengnya. Maka dengan mengalah sebenarnya kita mendapatkan hal yang lebih besar. Maka darti itu dalam ujaran bahasa jawa disebutkan “Seng gede ngalah” (Yang dewasa hendaknya mengalah).

 

Dan ternyata perilaku mengalah tidak hanya menyebabkan langgengnya hubungan baik di dunia ini namun juga mendapatkan balasan besar di akhirat kelak sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadits utama di atas : “Aku menjamin sebuah istana yang berada di pinggiran surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar”. [HR Abu Dawud] Dalam syarah hadits ini, Abu Thayyib Abadi menjelaskan tujuannya :

كَسْرًا لِنَفْسِهِ كَيْلَا يَرْفَع نَفْسَهُ عَلَى خَصْمِهِ بِظُهُورِ فَضْلِهِ

“(Mengalah dan tidak berdebat itu dilakukan) Sebagai bentuk merendahkan nafsu sendiri sehingga ia tidak menyombongkan diri di atas lawannya dengan menampakkan kehebatannya.” [Aunul Ma’bud]

 

Nabi SAW pernah mengalah dengan kaum Quraisy pada waktu perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H. Berawal dari mimpi bahwa beliau dan para sahabatnya dapat melaksanakan umrah di Masjidil Haram Makkah dan beliau menyampaikan mimpinya kepada para sahabat. Tidak lama kemudian Rasulullah SAW berangkat bersama 1.400 sahabat berangkat menuju Makkah pada bulan Dzul Qa'dah tanpa membawa senjata perang.

 

Mengetahui hal ini, orang-orang Quraisy menghadang kaum muslimin ketika memasuki Hudaibiyah. Setelah beberapa kejadian, Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan RA sebagai duta kaum muslimin untuk menemui Quraisy. Namun beberapa saat setelah itu, ada kabar burung bahwa Utsman RA dibunuh oleh kaum Quraisy. Rasulullah SAW pun bersiap-siap dengan memanggil para sahabat untuk melakukan baiat (janji setia) untuk tidak melarikan diri, bahkan bersedia mati. Baiat ini dilaksanakan Rasulullah di bawah pohon sehingga para sahabat yang ikut serta disebut dengan sebutan “Ashabus Syajarah”.

 

Setelah proses baiat selesai tiba-tiba Utsman RA muncul dan pihak Quraisy mengutus Suhail bin Amr RA untuk mengadakan perundingan damai. Dalam Musnad Ahmad dikisahkan bahwa Rasul SAW menyuruh Sayyidina Ali untuk menulis perjanjian yaitu :

هَذَا مَا صَالَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ini adalah perjanjian damai yang disepakai oleh Muhammad utusan Allah SAW”

Melihat tulisan tersebut maka kaum Quraisy memprotes kalimat “utusan Allah”. Mereka berkata : “Seandainya kami mengakui engkau sebagai utusan Allah, tentu kami tidak akan memerangimu (menghalangimu masuk Ka‘bah)”. Lalu Rasul memerintah Ali untuk menghapusnya seraya bersabda : “Ya Allah, Sungguh Engkau mengetahui bahwa Aku adalah utusan-Mu” [HR Ahmad]

 

Namun Ali keberatan untuk menghapus tulisan tersebut dan dalam shahih Bukhari, Ali berkata :

وَاللَّهِ لَا أَمْحَاهُ أَبَدًا

Demi Allah, Aku tidak akan menghapunya selama-lamanya. [HR Bukhari]

Lalu Nabi sendiri menghapusnya kemudian menyuruh Ali untuk menulis kalimat “Ini adalah perjanjian damai yang disepakati oleh Muhammad bin Abdillah” [HR Ahmad]

 

Saat itu beliau mengalah dengan menuruti permintaan kaum kafir Mekkah untuk menghapus tulisan “Muhammad Utusan Allah” dan menggantinya dengan “Muhammad Bin Abdillah”. Tidak hanya itu, beliau juga tertahan selama tiga hari dan tidak diijinkan masuk ke masjidil haram kecuali di tahun berikutnya. Beliau mengalah meskipun saat itu para sahabat telah berbaiat untuk siap menghadapi peperangan namun beliau mengalah demi menjaga perdamaian.

 

Demikian pula dalam kasus bentuk bangunan ka’bah. Tatkala Nabi SAW menceritakan kepada Aisyah mengenai bangunan ka’bah yang ada saat itu tidak sama dengan bentuk asli yang dibangun oleh Nabi Ibrahim, mulai dari bangunan hijr yang berada di luar bangunan ka’bah dan pintu ka’bah yang tinggi, maka Nabi SAW memberikan alasan mengapa beliau tidak merenovasi sehingga bisa dikembalikan ke bentuk semula. Beliau bersabda :

وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوبُهُمْ أَنْ أُدْخِلَ الْجَدْرَ فِي الْبَيْتِ وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِالْأَرْضِ

Kalaulah bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan masa jahiliyah, yang mana aku khawatir hati mereka mengingkari niscaya aku telah berpikir untuk memasukkan dinding (hijr) itu ke dalam bangunan Baitullah dan menjadikan pintu ka’bah rendah sampai ke tanah." [HR Bukhari]

 

Di situlah Nabi SAW memilih untuk mengalah dan tidak memaksakan kehendak dengan tidak membangun ulang bangunan ka’bah demi kedamaian dan ketentraman bersama. Kebenaran harus beriringan dengan kebijasanaan sebab kebenaraan tanpa kebijaksanaan akan menjadi kontra produktif. 

 

Perilaku mengalah itu bukanlah tanda kelemahan dan wujud dari kekalahan melainkan mengalah itu adalah bukti kebijaksanaan, kedewasaan, dan kekuatan seseorang dalam menghadapi realita kehidupan. Perilaku mengalah dalam berbagai sendi kehidupan, baik dalam keluarga maupun pekerjaan dan sendi kehidupan lainnya akan membawa kemaslahatan yang lebih besar dibandingkan dengan mengejar kemenangan dan terus mempertahankan egoisme. Jadi jangan pernah merasa hina ketika Anda mengalah, karena sejatinya, mengalah itu adalah jalan untuk meraih kemenangan dan kesuksesan yang hakiki yaitu perdamaian dan kerukunan bahkan meraih surga di akhirat kelak nanti.

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk bersikap bijaksana dalam menghadapi setiap problematika kehidupan dan menyadari bahwa mengalah meskipun terlihat kalah namun hakikatnya ia adalah kemenangan di sisi khalayak manusia dan di sisi Allah SWT.

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WA Auto Respon :  0858-2222-1979

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Thursday, August 28, 2025

TELADAN RENDAH HATI

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Iyadl bin Himar Al-Mujasyi’i RA, Rasul SAW Bersabda :

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain”. [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Mengenai tawadlu, Al-Hasan Al-Bashri berkata :

أَتَدْرُونَ مَا التَّوَاضُعُ ؟ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِكَ فَلَا تَلْقَى مُسْلِمًا إِلَّا رَأَيْتَ أَنَّ لَهُ عَلَيْكَ فَضْلاً

Tahukah kalian apakah Tawadlu (rendah hati) itu?.  Tawadlu adalah engkau keluar rumah lalu tidaklah kalian bertemu dengan muslim lain kecuali engkau melihat kelebihannya di atas dirimu. [Ihya Ulumiddin]

 

Dan Abdullah Ibnu Mas’ud RA berkata :

إِنَّ مِنْ رَأْسِ التَّوَاضُعِ أَنْ تَبْدَأَ مَنْ لَقِيتَ بِالسَّلَامِ، وَأَنْ تَرْضَى بِالدُّونِ مِنْ شَرَفِ الْمَجْلِسِ، وَتَكْرَهَ الْمِدْحَةَ وَالسُّمْعَةَ وَالرِّيَاءَ بِالْبِرِّ.

“Sesungguhnya di antara inti dari kerendahan hati adalah engkau memulai salam kepada orang yang engkau temui, engkau rela duduk di tempat yang rendah dari kemuliaan majelis, engkau tidak menyukai pujian, ketenaran, dan riya’ dalam kebaikan. [Az-Zudh, Hannad bin Sirry]

Dan dalam hadits utama, Rasul bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain”. [HR Muslim]

 

Perintah tawadlu’ berlaku kepada semua orang termasuk kepada Nabi SAW sehingga beliupun bertawadlu’ dan menjadi teladan dalam tawadlu’. Beliau bersabda : "Telah turun kepadaku seorang malaikat dari langit yang tidak pernah turun kepada seorang nabi sebelumku, dan tidak akan turun kepada seorang pun sesudahku. Malaikat itu adalah Isrāfīl, dan bersamanya ada Jibrīl. Ia berkata: 'Assalāmu ‘alaika yā Muhammad.' Lalu ia berkata: “Aku adalah utusan Tuhanmu kepadamu. Dia memerintahkanku untuk menawarkan kepadamu:

إِنْ شِئْتَ نَبِيًّا عَبْدًا , وَإِنْ شِئْتَ نَبِيًّا مَلَكًا

jika engkau mau, engkau menjadi nabi yang hamba (rendah hati, sederhana); dan jika engkau mau, engkau menjadi nabi yang raja.”

Maka aku memandang kepada Jibrīl, lalu Jibrīl memberi isyarat kepadaku agar aku rendah hati. Maka aku berkata: “Aku memilih menjadi nabi yang hamba.” Rasul SAW bersabda :

لَوْ أَنِّي قُلْتُ نَبِيًّا مَلَكًا , ثُمَّ شِئْتُ لَسَارَتِ الْجِبَالُ مَعِيَ ذَهَبًا.

'Seandainya aku memilih menjadi nabi yang raja, lalu aku menghendakinya, niscaya gunung-gunung akan berjalan bersamaku dalam keadaan berupa emas.” [HR Thabrani]

 

Menguatkan hal ini Nabi SAW bersabda : “Aku makan seperti seorang hamba sahaya makan, dan aku duduk seperti seorang hamba sahaya duduk. Aku hanyalah seorang hamba”. [HR Baihaqi] Dan tatkala ada yang bertanya mengenai pekerjaan Nabi di dalam rumah, maka Aisyah RA berkata : Beliau melayani keluarganya (melakukan pekerjaan rumah), maka apabila beliau mendengar adzan, beliau segera keluar (untuk shalat)." [HR Bukhari] “Beliau itu seperti orang pada umumnya, beliau membersihkan baju (dari kutu), memerah susu kambingnya, dan melayani keperluannya sendiri. [HR Ahmad]

 

Di antara Implementasi sifat tawadlu’ beliau adalah tidak suka mendapat pujian. Ada seseorang memanggil beliau :

يَا مُحَمَّدُ يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا وَخَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا

“Wahai Muhammad, wahai pemimpin kita dan anak dari pemimpin kami, orang terbaik kami dan anak dari  orang terbaik kami”

Lalu Rasul SAW bersabda : "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jangan sekali-kali kalian disesatkan oleh setan. Aku adalah Muhammad bin ‘Abdillāh, hamba Allah dan utusan-Nya. Demi Allah, aku tidak suka jika kalian mengangkat kedudukanku lebih tinggi dari derajat yang telah Allah berikan kepadaku." [HR Ahmad]

 

Beliau juga tidak suka diunggul-unggulkan dari nabi lain. Suatu ketika ada seorang muslim bertengkar dengan orang Yahudi. Muslim berkata : “Demi dzat yang memilih Muhammad di atas sekalian alam”. Yahudi berkata : “Demi dzat yang memilih Musa di atas sekalian alam”. Tidak terima dengan pernyataan bahwa Nabi musa lebih unggul dari Nabi Muhammad SAW maka orang muslim itu menempeleng wajah Yahudi. Lalu Yahudi lapor kepada Nabi SAW dan menceritakan duduk perkaranya. Lalu Nabi SAW bersabda :

لَا تُخَيِّرُونِي عَلَى مُوسَى

“Jangan kau lebih-lebihkan aku di atas Musa”. [HR Bukhari]

Hal ini beliau sabdakan meskipun nyata-nyata beliau adalah sayyidul Anbiya dan Allahpun menyatakan bahwa Allah memberi kelebihan pada sebagian nabi di atas nabi yang lain sebagaimana dalam surat Al-Baqarah : 253. Dalam hadits lain, “Janganlah kalian membanding-bandingkan di antara para nabi.” [Fathul Bari] Ini semua adalah wujud kerendahan hati beliau.

 

Suatu ketika Adi bin Hatim bertamu ke rumah Rasul SAW saat itu beliau sedang duduk di atas sebuah bantal dari kulit. Melihat ada tamu maka beliau mengambil bantal tersebut dan memberikannya kepada Adi. Maka adi-pun duduk di atasnya, sedangkan beliau duduk di lantai. Melihat hal ini, adi merasa segan (haru), dan ia menyadari bahwa

لَيْسَ يُرِيدُ عُلُوًّا فِي الدُّنْيَا وَلَا فَسَادًا

beliau tidaklah menginginkan kedudukan tinggi di dunia dan tidak pula melakukan kerusakan.” [HR Baihaqi]

 

Beliau juga tidak segan untuk mendatangi rumah para sahabat. Satu ketika beliau berkunjung ke rumah Abdullah bin Amr. Setelah masuk ke rumahnya, Abdullah menyodorkan bantal untuk alas duduk namun beliau tidak memakainya dan memilih duduk di atas lantai sehingga bantal tersebut berada di antara Nabi dan Abdullah. [HR Bukhari]

 

Sebagai pimpinan dan manusia mulia, beliau juga tidak malu-malu dan segan untuk melayani para sahabat. Di satu perjalanan di mana para sahabat kehausan, Nabi SAW menuangkan air sedangkan Abu Qatadah membagi-bagi air tersebut kepada para sahabat sehingga tidak tersisa selain Abu Qatadah dan beliau. Lalu beliau menuangkan air sambil bersabda : "Silahkan kamu meminumnya." Abu Qatadah menjawab; "Saya tidak akan minum hingga engkau minum dahulu wahai Rasulullah!." Beliau bersabda:

إِنَّ سَاقِيَ الْقَوْمِ آخِرُهُمْ شُرْبًا

"Yang memberi minum adalah yang terakhir kali minum."

Maka Abu Qatadah minum dan beliau juga minum."[HR Muslim]

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk ber-tawadlu sebab jika beliau yang mulia dan memiliki derajat yang tertinggi saja mau ber-tawadlu lalu kenapa kita yang hina dan tidak memiliki derajat setinggi beliau bisa enggan ber-tawadlu dan lebih cenderung sombong?

 

Salam Satu Hadits,

Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WA Auto Respon :  0858-2222-1979

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Monday, August 18, 2025

SEDEKAH SAAT SEHAT

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW Bersabda :

 أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ

(Sedekah yang paling Afdhal adalah) engkau bersedekah saat kondisi sehat dan ingin menumpuk harta, ingin kaya dan takut fakir. [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Seorang milliarder asal Sydney, Australia bernama Ali Banat bergaya hidup mewah. Ia memiliki mobil sport seharga US$ 600.000 atau sekitar Rp 8,7 miliar dan gelang US$ 60.000 atau sekitar Rp 870 juta. Namun selanjutnya ia melakukan sedekah besar-besaran, mengorbankan seluruh hartanya untuk didonasikan bagi kaum miskin di Afrika. Ia juga membuat proyek galang dana online bernama “Muslim Around the World Project” (MATW Project) untuk membangun ‘kampung miskin’ di sebuah wilayah terpencil bernama Togo, Afrika Barat. Kampung itu berisi rumah, sekolah, masjid dan fasilitas penunjang kesejahteraan hidup lainnya untuk warga di sana yang ia sebut sebagai “saudara”. Berkat aksi kemanusiaanya itu, Ali Banat menjadi sosok filantropis terkenal di dunia.

 

Langkah ini dilakukan Banat setelah ia jatuh sakit dan dokter menyatakan Ali Banat mengidap kanker dan hanya punya waktu tujuh bulan untuk bertahan hidup. Banat menyebut kanker yang menggerogoti seluruh badannya sebagai hadiah dari Allah. Ia berkata : "Ini hadiah karena Allah memberi kesempatan bagi saya untuk berubah." kanker telah membukakan matanya sehingga ia menyadari betapa besarnya besarnya karunia dia terima selama ini, seperti menghirup udara secara gratis, sesuatu yang tak terlintas di benaknya selama ini. "Saya ingin meninggalkan dunia tanpa satu pun harta benda," katanya. Dan iapun meninggal dunia pada 2018 silam tepat pada bulan mulia, Ramadhan. [pikiran-rakyat com] Luar biasa , kisah yang bisa menjadi inspirasi kita ini.

 

Sedekah pada saat kapanpun adalah baik namun demikian ada sedekah yang lebih baik dari lainnya. Satu ketika sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, Apakah sedekah yang paling afdhal?” maka Rasul SAW menjawab sebagaimana pada hadits utama : “(Sedekah yang paling Afdhal adalah) engkau bersedekah saat kondisi sehat dan ingin menumpuk harta, ingin kaya dan takut fakir”. [HR Bukhari]

 

Dalam riwayat lain, Rasul SAW bersabda :

أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ تَأْمُلُ الْبَقَاءَ وَتَخْشَى الْفَقْرَ

“(Sedekah yang paling Afdhal adalah) engkau bersedekah saat kondisi sehat dan ingin hidup selamanya, ingin kaya dan takut fakir”. [HR Abu Dawud]

 

Dalam riwayat lain, Rasul SAW bersabda :

أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَأْمُلُ الْعَيْشَ وَتَخْشَى الْفَقْرَ

“(Sedekah yang paling Afdhal adalah) engkau bersedekah saat kondisi sehat dan bersifat pelit serta takut fakir”. [HR An-Nasa’i]

 

Mengapa saat sehat, sedekah menjadi terbaik? Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: (1) Karena harta itu terasa berat bagi jiwa untuk dikeluarkan pada waktu itu sehingga menjadi sesuatu yang dicintai sedangkan Allah Ta’ala berfirman:

لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. [QS Āli ‘Imrān : 92].

 

(2) Karena dalam keadaan sehat biasanya seseorang merasa berat untuk mengeluarkan harta, disebabkan tipu daya setan yang menakutinya dengan kefakiran, dan memperindah angan-angan panjang umur serta kebutuhan kepada harta. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ

Setan menjanjikan kamu dengan kemiskinan. [QS al-Baqarah : 268].

 

Juga, kadang setan memperindah baginya (pemikiran) untuk berbuat curang dalam wasiat atau menarik kembali wasiatnya, maka yang lebih utama adalah sedekah segera (langsung dikeluarkan saat hidup). Sebagian salaf berkata tentang orang-orang yang bergelimang kemewahan: "Mereka bermaksiat kepada Allah dalam harta mereka sebanyak dua kali: (pertama) mereka bakhil dengan hartanya ketika harta itu masih di tangan mereka, maksudnya ketika masih hidup; dan (kedua) mereka berlebihan ketika harta itu telah keluar dari tangan mereka, maksudnya setelah (dekat dengan) kematiannya (dengan banyak berwasiat)." [Fathul Bari]

 

Dengan demikian, sedekah terbaik adalah saat kondisi sehat dan merasa hidupnya masih akan lama, ingin lebih kaya, dan takut fakir jika bersedekah. Rasul SAW membuat perumpamaan : 

مَثَلُ الَّذِي يَعْتِقُ عِنْدَ الْمَوْتِ كَمَثَلِ الَّذِي يُهْدِي إِذَا شَبِعَ

Perumpamaan orang yang memerdekakan budak saat menjelang kematiannya adalah seperti orang yang memberi hadiah setelah ia kenyang. [HR Abu Dawud]

 

Sama-sama baiknya, namun sedekah di saat sehat memiliki pahala yang jauh lebih besar daripada sedekah di saat sudah mendekati ajal. Rasul SAW bersabda :

لَأَنْ يَتَصَدَّق الرَّجُل فِي حَيَاته وَصِحَّته بِدِرْهَمٍ خَيْر لَهُ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّق عِنْد مَوْته بِمِائَةٍ

Seseorang bersedekah dengan satu dirham di masa hidup dan sehatnya itu lebih baik baginya daripada bersedekah seratus dirham di saat (dekat dengan) kematiannya. [HR Abu Dawud]

 

Saya menyebutkan kisah di atas sebagai inspirasi untuk bersedekah kapanpun, baik diwaktu sehat maupun ketika sakit dan divonis mati. Hal ini dikarenakan banyak juga orang yang sudah divonis akan mati dalam waktu dekat namun ia menghabiskan hartanya untuk pengobatan yang mahal ataupun untuk foya-foya supaya mati dalam keadaan bahagia menurut versinya sendiri. Sekali lagi, saya tidak bermaksud untuk mengecilkan nilai sedekah dalam kisah di atas. Kisah tersebut juga memotivasi kita agar bersedekah tidak menunggu divonis karena kematian tidak selalu terdeteksi oleh dokter bahkan datang secara tiba-tiba.

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita agar berbagi kebahagiaan kepada orang lain dengan bersedekah di saat sehat dan tidak menunggu kaya atau bahkan menunggu dekat dengan ajal.

 

Salam Satu Hadits,

Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WA Auto Respon :  0858-2222-1979

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Tuesday, August 12, 2025

NABI DARI YAMAN?

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW Bersabda :

الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ

“Iman itu Yamani dan Hikmah itu Yamaniyah.” [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Beredar potongan video di medsos dengan caption “Sholawat Yamani tidak sesuai syariat”, terdapat seorang muballigh berkata: “Ada shalawat yang sampai sekarang saya berpikir ini bagaimana, yaitu :

صَـــلاَةُ  اللهْ عَلـَى طَهَ اليَمَانِي      شَفِيْعِ الخَـْلِق فِيْ يَوْمِ القِـيَامَة

Semoga shalawat takdzim Allah selalu tercurah kepada Thaha Al-yamani, pemberi syafaat makhluq pada hari kiamat. Kenapa disebutkan dengan redaksi Al-Yamani (Nabi sebagai orang Yaman), kenapa bukan Al-Makky (orang Mekkah)? Coba Anda pikir! Mulai dari dulu dinyatakan bahwa “lahirnya nabi di Mekkah dan hijrahnya ke Madinah” dimanapun keterangan, baik itu di kitab Taurat maupun kitab lainnya demikian. Tapi kenapa pada redaksi shalawat itu disebut Thaha Al-Yamani (Nabi Muhammad SAW adalah orang yaman)? Yang benar kan (Al-Makky, orang Mekkah)? Loh Anda kok bingung? Apakah Anda baru menyadari kejanggalan ini? Wah... ini akan menjadi viral lagi ini! Kenapa para kyai diam (tidak meluruskan hal ini?)”.

 

Begitu mendegar potongan videonya, saya langsung berpikir mengenai motivasinya apakah ini startegi menjadi viral seperti yang dikatakan oleh peribahasa “Khalif Tu’raf” (Nyeleneh-lah niscaya kau menjadi viral) ataukah merupakan gambaran dari gegabahnya sang muballigh karena ia tidak mempelajari secara mendalam apa yang akan disampaikannya? Ataukah ada motif lain? Yang jelas apapun motifnya, jika statement tersebut tidak diluruskan maka akan banyak yang salah paham sehingga akan menuduh bahwa shalawat tersebut adalah sesat sebagaimana ditulis dalam caption atau bahkan bisa memperuncing perdebatan yang ada selama ini.

 

Perkataan “Thaha Al-yamani”, itu jelas yang dimaksudkan dari kata “Thaha” pada redaksi shalawat itu adalah Nabi Muhammad SAW, terlepas dari perdebatan mengenai maksud dari Thaha itu sendiri. Lantas bagaimana maksud dari kata Yamani? Kata yamani itu merupakan nisbat kepada Yaman dan yang dimaksudkan dengan Yamani adalah Makkah dan Madinah itu sendiri. Mengapa demikian? Boleh jadi penulis shalawat tersebut berpendapat demikian dengan mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa kata “Yamani” sebagaimana dalam hadits diatas berarti Mekkah Madinah. Imam Nawawi mengutip alasan dari pendapat tersebut, yaitu :

وَنَسَبَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ لِكَوْنِهِمَا حِينَئِذٍ مِنْ نَاحِيَة الْيَمَنِ ، كَمَا قَالُوا الرُّكْنُ الْيَمَانِيُّ وَهُوَ بِمَكَّة لِكَوْنِهِ إِلَى نَاحِيَة الْيَمَنِ

Rasul SAW menisbatkan Mekkah dan madinah kepada Yaman karena saat itu (ketika Nabi SAW bersabda) Mekkah dan Madinah berada pada arah Yaman. Hal ini sebagaimana orang-orang menamakan salah satu rukun atau pojok dari bangunan ka’bah dengan nama “Rukun Yamani” padahal ia ada di Mekkah, Hal itu dikarenakan rukun Yamani itu berada pada posisi arah Yaman. [Syarah An-Nawawi]

 

Yaqut Al-Hamawy mengutip perkataan Al-Mada’iny yang berkata :

تِهَامَةُ مِنَ الْيَمَنِ .... وَمَكَّةُ مِنْ تِهَامَةَ

"Tihamah termasuk wilayah Yaman, ... dan Makkah termasuk wilayah Tihamah." [Mu’jamul Buldan]

 

Maka dengan demikian, sah-sah saja mengatakan Rasulullah Al-Yamani (dari Yaman) atau Rasulullah At-tihami (dari tihamah) sebagaimana qashidah “ Shallu Alal Mab’uts min Tihamah”. (Bershalawatlah kepada Nabi, utusan yang berasal dari Tihamah).

 

Jadi dari keterangan ini menjadi jelas bahwa pengarang shalawat tersebut tidak ingin memalsukan asal muasal Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Mekkah kemudian menjadi dari Yaman. Karena mengerti makna yang seperti ini maka para kyai diam diam saja dan tidak memprotes redaksi shalawat ini sebagaimana dipertanyakan oileh muballigh diatas.

 

Hadits utama di atas merupakan hadits shahih. Hadits tersebut tercantum dalam Shahih bukhari dalam Bab Firman Allah yang menjelaskan bahwa manusia itu tercipta dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Dan pada Bab kedatangan Asy’ariyyin dan penduduk Yaman. Hadits tersebut juga tercantum dalam Shahih Muslim dalam Bab Keutamaan yang Berbeda-beda di Antara Orang-Orang Beriman dan Keunggulan Penduduk Yaman dalam Hal Itu. Dan juga dalam Sunan Turmudzi dalam Bab Keutamaan Yaman.

 

Redaksi lengkapnya dari hadits utama di atas adalah:

أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوبًا الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَصْحَابِ الْإِبِلِ وَالسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ

“Telah datang penduduk Yaman kepada kalian, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Iman itu ada pada orang Yaman. Hikmah itu juga ada pada orang Yaman. Sedangkan kesombongan itu berada pada para pemilik unta sedangkan ketenangan dan kewibawaan berada pada pemilik kambing.” [HR Bukhari]

 

Ketika mensyarahi hadits tersebut, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : Ada tiga pendapat dalam menafsiri kata Yamani ini, yaitu (1): adalah

أَنَّ مَبْدَأَ الْإِيمَانِ مِنْ مَكَّةَ لِأَنَّ مَكَّةَ مِنْ تِهَامَةَ وَتِهَامَةُ مِنَ الْيَمَنِ

bahwa asal mula iman berasal dari Makkah, karena Makkah termasuk wilayah Tihāmah, dan Tihāmah termasuk bagian dari Yaman.

 

(2) Yang dimaksud dengan Yaman adalah (arah) Yaman yaitu Makkah dan Madinah, karena ucapan ini disampaikan ketika beliau berada di Tabuk. Maka pada saat itu, Madinah, jika dibandingkan dengan tempat beliau berada, berada di arah Yaman. [Fathul Bari]

 

Imam Nawawi juga mendatangkan keterangan yang sama dan beliau menambahkan pada pendapat keduan ini  “Diriwayatkan dalam hadis bahwa Nabi mengucapkan perkataan ini ketika beliau berada di Tabuk, sedangkan Makkah dan Madinah ketika itu berada di antara beliau dan Yaman. Maka beliau menunjuk ke arah Yaman, sementara yang beliau maksud adalah Makkah dan Madinah. Beliau bersabda, "Iman itu dari Yaman", dan beliau menisbatkan keduanya kepada Yaman karena pada saat itu keduanya berada di arah Yaman. {Syarah An-Nawawi]

 

(3) Pendapat ini dipilih oleh Abu ‘Ubayd (W 224 H) — bahwa yang dimaksud dengan sabda itu adalah kaum Anshar, karena mereka pada asalnya berasal dari Yaman, maka iman dinisbatkan kepada mereka karena mereka adalah para penolong Nabi. [Fathul Bari]

 

Ibnus Shalah (W 642 H) berkata: “Seandainya mereka memperhatikan lafadh hadits tersebut, tentu mereka tidak memerlukan takwil seperti itu sebab sabda beliau ‘Telah datang kepada kalian penduduk Yaman’ adalah khithab (seruan) kepada orang-orang yang hadir, dan di antara mereka ada kaum Anṣār. Maka sudah pasti bahwa yang datang itu adalah selain mereka (orang anshar). Makna hadits tersebut adalah memuji orang-orang yang datang itu dengan sifat kekuatan iman dan kesempurnaannya, dan tidak memiliki pengertian pembatasan.

 

ثُمَّ الْمُرَاد الْمَوْجُودُونَ حِينَئِذٍ مِنْهُمْ لَا كُلُّ أَهْلِ الْيَمَنِ فِي كُلّ زَمَانٍ

Selanjutnya, yang dimaksud adalah orang-orang dari Yaman yang hadir saat itu, bukan semua penduduk Yaman pada setiap zaman.” [Fathul Bari]

 

Ibn Ḥajar sendiri setelah itu menjelaskan bahwa tidak ada halangan untuk memahami sabda Nabi iman itu dari Yaman dengan makna yang lebih luas daripada penjelasan Abu ‘Ubaid dan Ibnus Shalah di atas. Kata Yaman mencakup kepada orang yang dinisbatkan ke Yaman baik karena tempat tinggal (bis sukna) maupun karena keturunan/suku (bil qabilah). Akan tetapi makna yang lebih kuat (adzhar) adalah mereka yang dinisbatkan ke Yaman karena bertempat tinggal di sana. [Fathul Bari]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita agar mendalami ilmu pengetahuan agama sehingga tidak mudah terprofokasi dengan retorika yang menjerumuskan dalam perpecahan.

 

Salam Satu Hadits,

Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WA Auto Respon :  0858-2222-1979

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]