Monday, June 13, 2022

MEMBANGUN RUMAH LAYAKNYA SURGA

(Kata Sambutan ODOH 6)

Di bahasa Inggris dikenal home dan house yang keduanya bermakna rumah.

Apakah perbedaan keduanya? House mengacu pada bangunan fisik, berbeda dengan

penggunaan kata home. Home lebih mengacu pada sebuah tempat seseorang bisa

merasakan rasa nyaman dan terikat secara emosional.

Menurut saya, rumah tidak hanya mengacu kepada bangunan saja, tetapi juga

mengacu kepada suasana di dalamnya. Lihat saja rumah sakit! Bangunannya bagus

dan mewah. Orang tidak suka tinggal di sana meskipun gratis. Saya pernah melihat

rumah besar dan megah. Seandainya punya uang, saya ingin membangun rumah

seperti itu. Sayangnya, rumah itu sepi. Rumah sebesar itu diiisi penjaga dan pembantu.

Sementara, pemiliknya sibuk entah ke mana.

Di dalam agama Islam, rumah tidak hanya mengacu kepada bangunan fisik saja,

tetapi lebih pada suasana dan terbentuknya keluarga. Di dalamnya ada visi dan misi

hidup yang luhur. Saya jadi ingat agar kita menjaga diri dan keluarga kita dari api

neraka. Itulah sebabnya, berbicara rumah, tidak bisa dilepaskan dengan berbicara

keluarga dan berumah tangga. Untuk itu, kita perlu menikah terlebih dahulu.

Untuk menikah perlu persiapan. Pernikahan merupakan pertemuan antara

seorang pria dan wanita. Pertemuan dua pribadi yang berbeda. Perbedaan dari latar

belakang sosial, psikologi, budaya, dan lainnya akan menjadi hal menarik ketika

dipertemukan. Itulah sebabnya, Allah menyatakan bahwa pernikahan merupakan

tanda-tanda kekuasaan-Nya. Simak saja Al Quran surat Ar Rum ayat 21.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih

dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir” 


Pernikahan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Siapa jodoh kita, tempatnya di

mana, dengan cara apa kita bisa menikah, berapa jumlah anak kita, bagaimana rupa

anak kita, semuanya adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Saya dikaruniai tiga anak.

Semuanya dari rahim yang sama. Ternyata wajahnya berbeda-beda meskipun ada

garis kemiripannya. Ada anak yang merupakan gabungan dari wajah saya dan wajah

istri; ada yang dominan wajah saya, ada yang dominan wajah istri saya. Saat anak saya

bersama keluarga besar saya, wajah mereka mirip. Anehnya, saat mereka berkumpul

dengan keluarga besar istri saya, wajah mereka juga mirip. Padahal, wajah saya dan

istri saya tidak mirip. Mata saya sipit, sementara mata istri saya lebar; hidung istri saya

mancung dan kecil, sementara hidung saya sedikit besar. Ini berlum berbicara tentang

sifat, kemampuan, kebiasaan, gaya berbicara, gaya berjalan, sungguh semuanya

merupakan kebesaran Allah.

Supaya tenteram, kita perlu menikah. Saya sering bepergian. Semua pulau

besar di Indonesia sudah pernah saya kunjungi. Sering kali, perjalanan ke suatu daerah

memakan waktu yang tidak singkat. Pernah saya pergi ke Sumatra, dijemput oleh travel

pukul 2 atau 3 untuk berangkat ke bandara. Perjalanan ke bandara, menunggu

penerbangan, naik pesawat, ditambah perjalanan darat , ternyata sampai di tujuan

pukul 4 pagi hari berikutnya. Istirahat beberapa jam, dilanjutkan dengan kegiatan.

Dalam kondisi semacam ini, kata pulang atau rumah merupakan saat-saat yang saya

tunggu. Kelelahan selama perjalanan, bisa hilang atau reda setelah tiba di rumah,

bertemu istri dan anak. Ada rasa tentram yang tidak bisa saya jelaskan setelah di

rumah.

Saya pernah mengikuti penataran selama 26 hari di Balai Bahasa Jakarta.

Panitianya begitu baik. Mereka paham betul bahwa para peserta datang dari seluruh

Indonesia yang memiliki keragaman budaya. Oleh karena itu, materi dan penyajinya

pun dipilih. Tidak hanya itu, makanan yang disajikan setiap hari berganti-ganti. Tetapi

tetap saja, semakin lama, saya dilanda kebosanan. Mandi tidak terasa segar dan yang

tidak bisa dibohongi adalah saya rindu pada masakan istri di rumah dan ingin pulang.

Rumah menjadi tempat yang tenteram.


Bila ingin mengenal arti mencintai-dicintai dan menyayangi-disayangi,

menikahlah. Mengapa? Karena dengan menikah kita akan belajar mencintai-dicintai

dan menyayangi-disayangi istri atau suami beserta keluarga besar mereka, juga anak-

anak kita.

Pernikahan merupakan proses belajar yang tidak pernah berhenti. Kita akan

belajar mengenal pasangan kita yang jelas berbeda jenis kelaminnya, berbeda

kebiasaan, selera, etika, norma, adat, organisasi, dan pikiran. Pengenalan ini tidak

hanya dalam hitungan satu dua hari, minggu, atau bulan. Kita perlu mengenal

pasangan kita seumur pernikahan kita. Tidak hanya mengenal, kita perlu menyesuaikan

diri. Penyesuaian diri ini bisa memberi dan menerima, menambah dan mengurangi.

Pasangan bisa menjadi karunia bisa menjadi cobaan buat kita.Tidak hanya pasangan

yang menjadi karunia atau cobaan, anak juga bisa mempunyai kedudukan yang sama.

Saya harus menyesuaikan diri dengan istri, demikian juga sebaliknya. Waktu

kecil, saya sering senang ketika menerima pemberian. Setelah menikah, barulah

merasakan bahwa kebahagiaan itu ketika berbagi. Saat menerima hadiah makanan

atau kue yang enak, yang justru teringat adalah istri dan anak. Kita merasa senang

kalau bisa membawa oleh-oleh ke rumah.

Untuk menikah, tidak perlu harus menunggu mapan dulu. Kita bisa kaya dengan

menikah. Jika kita miskin, Allah akan menjadikan kita mampu dengan karunia-Nya,

bukankah Allah Mahaluas dan Maha Mengetahui. Hal ini dapat kita baca di Al Quran

surat An Nur ayat 32 dan surat An-Nahl ayat 72. Sebelum menikah, gaji saya cukup

untuk keperluan saya selama sebulan, tanpa bisa menabung. Setelah menikah, dengan

penghasilan yang sama, ternyata saya bisa menabung. Setelah itu, penghasilan pun

semakin bertambah dan bertambah.

Setelah menikah, ternyata banyak hal yang saya pelajari. Saya belajar

memperbaiki diri melalui pergauan saya dengan istri. Saya banyak belajar bagaimana

cara mendidik anak dan menata hati melalui anak-anak saya. Saya merasa bahwa

rumah tangga benar-benar sekolah buat saya yang tidak pernah selesai untuk terus

belajar dan belajar lagi.


Saya merasakan bahwa betapa saya menikah tanpa persiapan dan pemahaman

tentang bagaimana berrumah tangga yang ideal menurut agama Islam. Saya menikah

tanpa mengetahui bagaimana membuat visi dan misi, mewujudkannya dalam

kehidupan sehari-hari bersama istri dan anak. Saya merasa sangat terlambat menjadi

imam, ayah, dan suami yang baik. Saya tidak ingin hal ini terjadi pada orang lain.

Sebelum berumah tangga, kita bisa belajar bagaimana membangun mimpi dan

mewujudkannya sesuai dengan tuntunan agama Islam.

Bagi calon pengantin dan yang sudah berumah tangga, buku ini sangat menarik

untuk dibaca. Buku ini tidak hanya membahas persiapan kita sebelum menikah, tetapi

juga bagaimana membina rumah tangga yang tenang, penuh cinta, kasih, dan sayang.

Buku yang ditulis ahlinya ini membahas problematika dalam rumah tangga beserta

pemecahannya. Tidak hanya itu, buku ini juga membicarakan bagaimana

merencanakan buah hati sebagai investasi dan penerus generasi pejuang umat.

Semoga yang membaca buku ini dikaruniai rumah tangga yang penuh dengan

kedamaian, ketenangan, kelembutan, cinta, kasih, sayang, dan kebahagiaan. Semoga

Dr. H. Fathul Bari, S.S., M.Ag. yang sudah berbagi ilmu melalui buku ini dibalas oleh

Allah SWT dengan kesehatan, pahala yang berlimpah, rejeki yang barokah, keluarga

yang sakinah, mawadah, warohmah, dan jannah. Aamiin.


Prof. Dr. Wahyudi Siswanto

Guru Besar UM Malang

0 komentar:

Post a Comment