إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Thursday, November 17, 2022

SSST.. JANGAN KERAS-KERAS

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Amr bin Al-Ash RA berkata bahwa diantara sifat Rasul SAW yang disebutkan dalam kitab taurat adalah :

لَيْسَ بِفَظٍّ وَلَا غَلِيظٍ وَلَا سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ

Nabi SAW bukanlah orang yang berperangai buruk, juga bukan berwatak keras dan bukan orang yang suka teriak-teriak di pasar." [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Orang Arab dahulu bangga dengan suara yang keras. Siapa yang lebih keras suaranya itulah yang lebih mulia. Al-Qurtubi berkata :

فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ أَشَدَّ صَوْتاً كاَنَ أَعَزَّ، وَمَنْ كَانَ أَخْفَضَ صَوْتاً كَانَ أَذَلّ

Siapa yang suaranya lebih keras maka ia lebih mulia dan sebaliknya siapa yang suaranya lebih pelan maka ia lebih hina. [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an]

 

Rasul SAW tidaklah demikian. Dalam hadits utama di atas disebutkan bahwa beliau itu bukan orang yang suka teriak-teriak (di pasar). Menurut Mulla Aly Al-Qari maksudnya adalah Rasul bukanlah orang yang suka berkata-kata dengan suara keras di tempat manapun termasuk di pasar, adapun lafadz “di pasar” itu untuk mengecualikan keberadaan beliau yang berkata-kata dengan suara keras saat membaca Al-Quran (ketika menjadi imam sholat) atau ketika khutbah di masjid. [Mirqatul Mafatih]

 

Tidak hanya orang arab, terkadang kita juga mengira demikian. Dalam satu perdebatan maka suara yang lebih keras menunjukkan yang lebih berkuasa. Dalam ajaran Islam, kebiasaan seperti ini merupakan perilaku yang tak terpuji. Luqman Al-Hakim menasehati anaknya yang diabadikan dalam Al Qur’an :

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“dan lirihkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” [QS Luqman: 19].

 

Maksudnya orang yang mengeraskan suaranya diserupakan seperti keledai karena keledai itu suaranya keras dan melengking. Dan Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut sangat tercela. Hal ini berlaku umum, maksudnya di depan siapa saja maka akhlaknya adalah tidak mengeraskan suara, apalagi depan orang mulia seperti Nabi SAW.

 

Ibn Abu Mulaikah berkata, "Hampir saja dua orang pilihan, Abu Bakar dan Umar, binasa tatkala utusan Bani Tamim menemui Nabi SAW, salah satu diantara dua sahabat pilihan itu menunjuk Aqra' bin Habis At Tamimi Al Hanzhali, saudara Bani Mujasyi', sedang lainnya menunjuk lainnya. Maka Abu Bakar berkata kepada Umar,

مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي

'Kamu inginnya menyelisihiku saja!"

Umar mengelak seraya mengatakan, "Aku sama sekali tak berniat menyelisihimu!

Suara keduanya terus semakin gaduh di sisi Nabi SAW, sehingga turunlah ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadarinya. [QS Al-Hujurat : 2]

Dan ayat selanjutnya, yaitu : “Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”. [QS Al-Hujurat : 3]

 

Ibnu Abi Mulaikah menceritakan bahwa "pasca turunnya ayat tersebut, ketika sahabat Umar berbicara dengan Nabi SAW maka ia berbicara seperti orang yang sedang membicarakan satu rahasia, sampai Nabi tidak mendengarnya dan beliau meminta mengulanginya." [HR Bukhari] Demikian pula Abu Bakar, ia berkata :

لَا أُكَلِّمُكَ إِلَّا كَأَخِي السِّرَارِ حَتَّى أَلْقَى اللهَ عَزَّ وَجَلَّ

Aku tidak akan berbicara kepadamu kecuali seperti orang yang membicarakan rahasia, sampai aku (wafat) bertemu dengan Allah Azza Wa Jalla. [HR Baihaqi]

 

Hal serupa terjadi pada Tsabit bin Qais. Suatu ketika ia ditemukan sedang duduk di rumahnya sambil menundukkan kepalanya. Ia khawatir seluruh amalnya terhapus

karena ia pernah bersuara keras melebihi suara Nabi SAW dan ia masuk neraka karenanya. Mendengar kisahnya maka Nabi SAW menyuruh orang untuk menyampakan kepadanya :

اذْهَبْ إِلَيْهِ فَقُلْ لَهُ إِنَّكَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلَكِنْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

 "Temuilah Tsabit dan katakan kepadanya bahwa dia bukan termasuk penghuni neraka namun menjadi penghuni surga".  [HR Bukhari]

 

Dan sekarang, seperti itu pula tatakrama seseorang jika ia sedang berbicara dengan ulama. Al-Qurtubi berkata :

وَكَرَّهَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ رَفْعَ الصَّوْتِ فِي مَجَالِسِ الْعُلَمَاءِ تَشْرِيْفاً لَهُمْ؛ إِذْ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

Dan sebagian ulama memakhruhkan untuk mengeraskan suara di majlis para ulama untuk memuliakan mereka karena ulama itu adalah pewaris para nabi. [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an]

 

Demikian pula kita dilarang mengeraskan suara ketika berada di Masjid. Sering kita jumpai di pesarean, satu kelompok jamaah adu keras dengan jamaah lain dalam pembacaan tahlil dan dzikir. Bahkan di masjidil haram, seringkali satu jamaah adu keras dengan rombongan jamaah lain ketika sedang membaca dzikir atau doa thawaf ataupun sa’i dan itu sangat mengganggu jama’ah lainnya. Seakan mereka bangga, suara kerasnya menunjukkan kemuliaan kelompok mereka. Tentu hal ini dikecualikan syariat “Al-Ajju” (mengeraskan bacaan talbiyah). Apakah mereka tidak pernah tahu bahwa Nabi SAW bersabda:

أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ

“Ingatlah bawha sesungguhnya setiap kalian sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka jangan saling mengganggu satu sama lain, dan jangan meninggikan suara satu sama lain dalam membaca (Al Qur’an)”  [HR Abu Daud]

 

Sahabat Umar RA pernah memarahi dua orang yang berasal dari luar madinah, yaitu dari thaif. Ia berkata :

لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Seandainya kalian berasal dari penduduk sini (madinah) maka aku akan hukum kalian berdua, sebab kalian telah mengeraskan suara di Masjid Rasul SAW." [HR Bukhari]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk tidak mengeraskan suara ketika berbicara terlebih ketika berada di hadapan para ulama ataupun di masjid.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Wednesday, November 16, 2022

JANGAN PERMAINKAN THALAQ

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ

Tiga perkara yang sungguhannya dipandang serius dan main-mainnya juga dianggap serius, yaitu nikah, thalaq dan ruju' [HR Abu Dawud]

 

Catatan Alvers

 

Jika rumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi maka jalan keluarnya adalah perceraian. Perceraian yang berasal dari inisiatif suami dalam islam dikenal dengan istilah “thalaq”. Thalaq dalam bahasa Arab diartikan sebagai “melepaskan ikatan” sedangkan dalam syariat didefinisikan sebagai melepaskan tali ikatan nikah dengan lafadz. [Fathul Mu’in] Adapun tahalaq dengan tulisan seperti WA atau sarana medsos lainnya maka akan jatuh sah sebagai thalaq jika diniati.

كَتْبُ الطَّلَاقِ وَلَوْ صَرِيحًا كِنَايَةٌ وَلَوْ من الْأَخْرَسِ فَإِنْ نَوَى بِهِ الطَّلَاقَ وَقَعَ وَإِلَّا فَلَا

Menulis thalaq walau berupa kalimat yang jelas itu dihukumi sebagai thalaq kinaha maksudnya jika disertai niat dari suami maka jatuh thalaq, namun jika tidak ada niat maka tidak jatuh thalaq. [Asnal Mathalib]

 

Thalaq itu hukumnya berbeda-beda. Thalaq bisa dihukumi wajib seperti kasus suami yang bersumpah (dengan sumpah ila’) tidak akan menggauli istri seumur hidup atau lebih dari empat bulan, atau dihukumi sunnah bila suami tidak mampu lagi menunaikan kewajibannya kepada istri, atau istrinya berperangai buruk, atau dihukumi makruh jika dilakukan tanpa alasan atau dihukumi haram seperti berlaku pada kasus thalaq bidl’i, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami ketika istrinya sedang haid atau nifas atau ketika istri dalam keadaan suci namun telah digaulinya pada masa sucinya tersebut. [Lihat I’anatut Thalibin]

 

Rasul SAW sendiri juga pernah menceraikan istrinya. Dalam Shahih Bukhari dikisahkan bahwa Rasul SAW menceraikan Umaimah binti Syarahil. Hal itu terjadi ketika barusan menjadi istri Rasul SAW, beliau pun mendekatinya seraya menjulurkan tangan beliau kepadanya namun Umaimah menjauh seolah-olah tak menyukainya, ia lalu berkata “Aku berlindung kepada Allah darimu”. Maka beliaupun bersabda “Sesungguhnya engkau telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Agung”. Maka Rasul SAW keluar dari kamarnya dan berkata :

يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا

Wahai Abu Usaid pakaikanlah ia dengan dua baju dari Persia dan kembalikanlah ia kepada keluarganya”. [HR Bukhari]

 

Rasulullah SAW pernah mentalaq Hafshah binti Umar RA karena membocorkan satu rahasia [Lihat QS At-Tahrim : 3-5] , kemudian beliau merujuknya. Rasul SAW bersabda :

قَالَ لِي جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ : رَاجِعْ حَفْصَةَ ، فَإِنَّهَا صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ وَإِنَّهَا زَوْجَتُكَ فِي الْجَنَّةِ

Jibril berkata kepadaku, Rujuklah Hafshah, sesungguhnya dia adalah orang yang senang berpuasa dan bangun malam.’ ” [HR. Al-Hakim]

 

Perceraian membawa resiko yang amat besar seperti dapat memutuskan tali ikatan keluarga, memanaskan hati, menampakkan aib yang tertutup, kebingungan anak-anak bahkan berkurangnya kasih sayang kepada mereka lalu pada akhirnya bisa mengakibatkan anak frustasi. Maka dari itu, dalam islam meskipun cerai diperbolehkan namun hal itu tidak disukai. Rasul SAW bersabda :

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

"Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Ta’alaa adalah menjatuhkan thalaq" [HR Abu dawud]

 

Mengingat bahwa pernikahan adalah hal yang sakral dan pernikahan adalah hal yang berdampak besar maka keduanya tidak bisa dijadikan objek main-main sehingga dalam hadits utama di atas diriwayatkan bahwa ada tiga perkara yang sungguhannya dipandang serius dan main-mainnya juga dianggap serius, yaitu nikah, thalaq dan ruju.' [HR Abu Dawud]

 

Thalaq dengan main main itu digambarkan sebagaimana Syeikh Zainuudin Al-Malibari berkata :

وَيَقَعُ طَلَاقُ الْهَازِلِ بِهِ بِأَنْ قَصَدَ لَفْظَهُ دُوْنَ مَعْنَاهُ أَوْ لَعِبَ بِهِ بِأَنْ لَمْ يَقْصِدْ شَيْئًا

Kata-kata thalaq dari suami yang bermain-main itu jatuh sebagai thalaq yang sah jika disengaja mengucapkan lafadznya namun tidak disengaja pada maknanya (tidak disengaja untuk bercerai) atau tidak bertujuan apa-apa. [Fathul Muin]

 

Syeikh Zainuudin melanjutkan : Tidak jatuh sebagai thalaq pada kasus seorang yang menirukan orang lain yang mengucapkan kata thalaq, atau guru fikih yang sedang mencontohkan kata thalaq, atau mengucapkan dengan perkataan namun sangat lirih sehingga tidak terdengar di telinga sendiri. Ulama sepakat akan jatuhnya thalaq dari suami yang sedang marah meskipun ia mengakui saat itu ia kehilangan kesadarannya. [Fathul Muin]

 

Alkisah, Isa bin Musa al-Hasyimi (104-167 H), sangat mencintai istrinya suatu ketika ia berkata kepada istri:

أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِنْ لَمْ تَكُوْنِي أَحْسَنَ مِنَ الْقَمَرِ

"Kamu tertalak tiga, jika kamu tidak lebih indah dari rembulan untukku."   

Mendengar hal ini, istrinya berkata : "Kau telah menceraikan aku."

sambil bangkit dan menutup dirinya. Kejadian ini membuat Isa bin Musa merasa berat hati. Pagi pun tiba, ia bergegas menuju rumah Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur (94-158 H) untuk menceritakan kejadian yang tengah dialaminya. Al-Mansur menghadirkan para ahli fiqih untuk meminta fatwa atas masalah yang dialami Isa tersebut. Semua fuqaha sepakat memfatwakan bahwa Si Istri telah tertalak, kecuali satu ulama bermazhab Hanafi.  Setelah diam berfikir, lalu ia memberikan jawaban dengan membacakan surat At-tin : 1-4. Lalu ia berkata :

يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ، فَالْإِنْسَانُ أَحْسَنُ الْأَشْيَاءِ وَلَا شَيْئَ أَحْسَنُ مِنْهُ

"Wahai Amirul Mukminin, manusia adalah makhluk yang paling indah dan tak ada satupun yang melebihinya."

 

Mendengar jawaban ini, Al-Manshur menyetujui pendapat terakhir ini dan menyuruh isa kembali ke istrinya. Dan ia menyampaikan surat nasehat untuk istri Isa, "Taatilah suamimu dan jangan engkau mendurhakainya. Suamimu tidak menceraikanmu."   [Tafsir Al-Qurthubi]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk tidak mempermainkan hal yang sakral termasuk urusan thalaq. Semoga keluarga kita semua menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Monday, November 14, 2022

JANGAN BALAS KEJELEKAN

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dalam As-Syama’il Al-Muhammadiyah bahwa Aisyah RA berkata :

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُنْتَصِرًا مِنْ مَظْلَمَةٍ ظُلِمَهَا قَطُّ

Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasul SAW membalas atas kedzaliman yang menimpa pribadi beliau. [HR Tirmidzi]

 

Catatan Alvers

 

Kebanyakan orang mengira bahwa “husnul khuluq” (budi pekerti) itu adalah berbuat baik kepada orang lain. Mereka lupa bahwa hal itu tidaklah cukup, tetapi ada yang lain dan ini justru lebih penting. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali :

فَإِنَّ حُسْنَ الْخُلُقِ اِحْتِمَالُ الْأَذَى

Sesungguhnya budi pekerti itu menerima (dengan sabar) perbuatan jelek orang lain (kepada kita). [Ihya Ulumiddin]

 

Rasul SAW tidak membalaskan kedzaliman yang menimpa pribadi beliau, Sebagaimana hadits utama di atas. Al-Qurtubi meriwayatkan bahwa ketika terjadi perang uhud, gigi Rasul SAW terlepas dan wajah beliau terluka dan hal ini menjadikan para sahabat merasa berat sekali. Mereka berkata : Doakan saja mereka agar segera binasa! Maka beliau menjawab :

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَلَكِنِّي بُعِثْتُ دَاعِيًا وَرَحْمَةً، اَللهم اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Aku tidaklah diutus untuk melaknat (mendoakan jelek) namun aku diutus untuk mengajak mereka dan menebarkan kasih sayang. Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui (kebenaran) [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an]

 

Rasul SAW tidak ingin membalas kejelekan dengan kejelekan walaupun sekedar dengan doa kejelekan, karena mendoakan jelek kepada orang yang berbuat jelek kepada kita itu artiya kita membalas kejelekan dengan kejelekan. Rasul SAW bersabda :

مَنْ دَعَا عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ فَقَدِ انْتَصَرَ

Barang siapa mendoakan jelek kepada orang yang mendzaliminya maka sungguh ia telah membalasnya. [HR Tirmidzi]

 

Rasul SAW adalah pribadi yang bersabar atas perbuatan jelek orang lain. Anas bin Malik RA berkata;  Aku berjalan bersama Rasulullah SAW, ketika itu beliau mengenakan kain (selimut) Najran (daerah antara hijaz dan yaman) yang kasar ujungnya, lalu ada seorang Arab badui (pedalaman) yang menemui beliau dan Ia langsung menarik beliau dengan keras. Hingga Aku melihat permukaan bahu beliau membekas lantaran ujung selimut akibat tarikan Arab badui yang kasar tadi. Arab badui tersebut berkata;

مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ

"Berikan kepadaku dari harta Allah yang ada padamu",

maka beliau menoleh kepadanya diiringi senyum serta menyuruh salah seorang sahabat untuk memberikan sesuatu kepadanya." [HR Bukhari]

 

Perilaku seperti ini bukanlah pekerti khusus untuk beliau karena beliau juga menganjurkan kepada para sahabat. Ada seorang lelaki mendatangi Rasul SAW guna mengadukan kedzaliman yang menimpanya. Rasul SAW mempersilahkan orang tersebut agar duduk. Ia ingin membalaskan kedzalimannya lalu beliau bersabda :

 إِنَّ الْمَظْلُوْمِيْنَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya orang-orang yang didzalimi, mereka itulah orang-orang yang beruntung pada hari kiamat kelak.

Setelah mendengar hadits ini maka ia tidak lagi ingin membalaskan dendamnya kepada orang yang telah mendzaliminya. [Ihya Ulumiddin]

 

Suatu ketika ada seorang lelaki berkata kepada Rasul SAW: “Sesungguhnya aku mempunyai kerabat, aku selalu menyambung tali silaturahim dengan mereka tetapi mereka selalu memutuskannya, aku berbuat baik kepada mereka akan tetapi mereka berbuat jelek kepadaku, aku berlaku bijak (dalam berucap) akan tetapi mereka berlaku bodoh (dengan perkataan jelek mereka)”. Rasul SAW kemudian bersabda :

لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

Jika demikian keadaannya maka engkau seakan-akan memberi makanan kepada mereka berupa abu yang panas dan Allah senantiasa akan memberikan pertolongan kepadamu atas mereka selama kau dalam keadaan seperti itu. [HR Muslim]

 

Mengapa Rasul Saw menjawab demikian? Rasul SAW menyamakan perbuatan baik yang mereka terima seperti makanan, namun karena mereka tidak mau membalas kebaikannya maka makanan tadi diserupakan dengan abu yang panas yang membahayakan diri mereka sendiri. Dan di sisi lain, sama sekali tidak ada bahaya yang mengenai orang yang memberikannya.

 

Ulama terdahulu meneladani perilaku Nabi SAW ini dengan baik. Dikisahkan bahwa pada suatu hari Ibrahim bin adham sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat. Di tengah jalan, Ibrahim bertemu dengan seorang tentara. Tentara itu berkata : Apakah kamu seorang hamba? Ibrahim menjawab : Iya. Tentara bertanya : Dimana letak pemukiman? Ibrahim menunjuk ke arah kuburan. Merasa dipermainkan maka tentara itu memukul kepala ibrahim hingga berdarah. Beberapa saat kemudian banyak orang berdatangan dan memberi tahu bahwa orang yang dipukul itu adalah Syeikh Ibrahim bin Adham. Mengetahui hal itu maka sang tentara langsung turun dari kudanya dan bersimpuh, mencium tangan dan kaki syeikh ibrahim sembari meminta maaf kepadanya. Syeikh Ibrahim berkata : Ketika tentara itu memukul kepalaku maka saat itu aku memohonkan surga untuknya. Orang-orang bertanya kepo : “Mengapa bisa demikian, bukankah engkau didzalimi?”

Syeikh Ibrahim menjawab :

عَلِمْتُ أَنَّنِي أُؤْجَرُ عَلَى مَا نَالَنِي مِنْهُ فَلَمْ أُرِدْ أَنْ يَكُوْنَ نَصِيْبِي مِنْهُ الْخَيْرَ وَنَصِيْبُهُ مِنِّي الشَّرَّ

Aku manyadari bahwa aku mendapat pahala dari perbuatannya maka dari itu aku tidak ingin (aku saja yang) mendapatkan kebaikan darinya sementara ia mendapatkan kejelekan dariku. [Ihya Ulumiddin]

 

Bersabar atas perbuatan jelek orang lain dan memaafkannya merupakan salah satu puncak kemuliaan budi pekerti. Rasul SAW bersabda kepada Uqbah bin Amir RA :  

يَا عُقْبَةُ ، أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَخْلَاقِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ . تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ

Wahai Uqbah, maukah aku beritahu akhlak terbaik dari penduduk dunia akhirat? Yaitu engkau menyambung tali silaturahim kepada kerabat yang memutuskan hubungannya denganmu, engkau memberi kepada orang yang menghalangi pemberiannya kepadamu dan engkau memaafkan orang yang mendzalimimu. [HR Al-Hakim]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk senantiasa berbuat baik kepada orang lain dan bersabar atas perbuatan jelek mereka bahkan dengan ikhlas memaafkan setiap perbuatan jeleknya.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]