ONE
DAY ONE HADITH
Diriwayatkan
dari Salman Al-Farisi RA, Rasul SAW pernah ditanya tentang hukum minyak samin, keju
dan bulu binatang lalu beliau menjawab:
الْحَلَالُ مَا
أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ
وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Perkara
halal adalah sesuatu yang nyatakan status halalnya oleh Allah dalam Quran-Nya.
dan perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun
perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan. [HR
Tirmidzi]
Catatan
Alvers
Dalam
momen peringatan kemerdekaan akhir-akhir ini banyak orang yang mempermasalahkan
hukum mengadakan upacara bendera, termasuk diantaranya masuk ke inbox kami.
Mereka berdalih dengan tiga perkara : 1. Upacara bendera tidak pernah dilakukan
oleh Rasul dan sahabat beliau. 2. Tidak boleh berdiri untuk menghormat orang
lain apalagi menghormat bendera. 3. Mengagungkan bendera termasuk perbuatan
syirik.
Alvers,
menjawab pertanyaan pertama. Pernyataan bahwa upacara bendera tidak pernah
dilakukan oleh Rasul dan sahabat beliau memang benar demikian, namun bukan
berarti bid’ah. Karena upacara bendera tidak termasuk urusan ritual ibadah atau
dalam bahasa hadits “Fi Amrina”.
Lebih
lanjut, Rasul tidak pernah melarang upacara bendera dan semacamnya sedangkan
sesuatu yang tidak disinggung oleh beliau termasuk kategori perkara yang
diperbolehkan. Rasul SAW bersabda :
الْحَلَالُ مَا
أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ
وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Perkara
halal adalah sesuatu yang nyatakan status halalnya oleh Allah dalam Quran-Nya.
dan perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun
perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan. [HR
Tirmidzi]
Hal
ini sesuai dengan kaidah fiqih syafi’iyyah yang berbunyi :
الأصل في الأشياء
الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
"hukum
asal dari segala sesuatu adalah mubah (boleh) hingga ada dalil yang
mengharamkannya." [Asybah Wan Nadha’ir]
Dari uraian
ini maka ketika itu saya jawab “mana dalil yang melarang upacara bendera?”
Pertanyaan
Kedua. Alvers, Statement tidak boleh berdiri untuk menghormat orang lain
apalagi menghormat bendera ini tidak “semua”nya benar. Mengapa demikian? Karena
ada hadits yang sejalan dengan statement tersebut namun pemahamannya tidaklah
demikian.
Hadits
yang sejalan yang saya maksudkan tadi adalah hadits berikut. Diriwayatkan dari
Abi Mijlaz bahwa Muawiyah keluar kemudian orang-orang berdiri untuk
menghormatinya maka Muawiyah berkata : Saya pernah mendengar Rasul SAW bersabda
:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ
يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa
suka orang-orang berdiri untuk (menghormati)nya, maka hendaklah dia bersiap
sedia dengan tempat duduknya di Neraka.” [HR Ahmad]
Dalam
versi riwayat Ibnu Abi Syaibah, Suatu ketika Muawiyah memasuki sebuah rumah
yang di dalamnya terdapat Abdullah bin Amir dan Abdullah bin Zubair. Lalu
Abdullah bin Amir berdiri (untuk menghormati kedatangannya) sedangkan Abdullah
bin Zubair tidak berdiri. Muawiyah berkata kepada Abdullah bin Amir : Duduklah
karena aku mendengar Rasul SAW bersabda : “Barangsiapa suka orang-orang berdiri
untuk (menghormati)nya, maka hendaklah dia bersiap sedia dengan tempat duduknya
di Neraka.” [HR Ibnu Abi Syaibah]
Hadits
lain yang sejalan dengan situasi di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat
Anas RA berikut :
لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ
أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ
لِذَلِكَ
Tidak
ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai melebihi Rasulullah SAW,
Anas berkata; Apabila mereka melihat Rasul, mereka tak berdiri karena mereka
tahu bahwa beliau tak menyukai yang demikian itu. [HR. Tirmidzi]
Namun
demikian alvers, Hadits ini tidak serta merta dipahami sebagai larangan untuk
berdiri dalam rangka menghormat orang lain akan tetapi hadits ini menunjukkan
akan kerendah hatian Rasul SAW yang tidak suka dihormati apalagi gila hormat
sehingga senang melihat orang lain berdiri menghormati beliau dan marah apabila
tidak demikian. Maka, di satu sisi hadits di atas melarang seseorang untuk gila
hormat dan menuntut orang lain agar menghormati dirinya dengan cara berdiri dan
di sisi lain tidak ada larangan untuk berdiri dalam rangka menghormat orang
lain. Adapun perintah Muawiyah kepada Abdullah bin Amir untuk tetap duduk dan tidak
berdiri hanyalah penjelasan terhadap suatu ilmu dan merupakan wujud rendah hati
muawiyah yang jauh dari sifat gila hormat. Jika kedua hal ini dipahami lalu
dijalankan maka akan indah kehidupan ini. Orang yang mulia tidak gila hormat
dan tidak senang orang lain berdiri untuknya sedang orang-orang di sekitarnya
mereka berdiri untuk memuliakannya tanpa diminta apalagi diperintah oleh orang
mulia tersebut.
Menurut
Al-Bujairimi, Perkataan ulama yang menganjurkan (sunnah) berdiri untuk
menghormati orang mulia tidaklah bertentangan dengan hadits di atas karena
hadits di atas ditujukan hanya kepada orang yang gila hormat dan senang orang
lain berdiri utnuk menghormati kedatangannya. Diriwayatkan bahwa Rasul
memerintahkan para sahabat agar tidak berdiri untuk menghormati kedatangan
beliau. Namun suatu ketika Nabi bertemu dengan hisan RA dan hisanpun berdiri
menghormati beliau sambil mendendangkan syairnya :
قيامي للعزيز علي
فرض :: وترك الفروض ما هو مستقيم
عجبت لمن له عقل
وفهم :: يرى هذا الجمال ولا يقوم
Wajib
atasku untuk berdiri menghormati orang mulia, sedangkan meninggalkan kewajiban
adalah hal yang tidak dibenarkan. Aku heran dengan orang yang berakal dan
memahami bahwa hal ini (berdiri) adalah baik namun ia tidak berdiri.
Lalu
Rasul membiarkan hisan berdiri sebagai pertanda ikrar bahwa apa yang dilakukan
oleh hisan bukanlah hal yang salah. Kemudian ini menjadi hujjah bagi ulama yang
mengatakan :
إن مراعاة الأدب
خير من امتثال الأمر
Menjaga
tatakrama itu (dengan berdiri) lebih baik daripada melakukan perintah (duduk). [I’anatut
Thalibin]
Lebih
jelas dalam urusan ini, Ketika Sa’ad bin Mu’adz RA mendekati pasukan kaum
Muslimin, Rasul SAW berkata kepada kaum Anshar :
قُومُوا
إِلَى سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah
untuk (menyambut) pemimpin kalian. [HR Bukhari]
Uraian
kedua ini untuk menjawab bolehnya berdiri sebagai bentuk penghormatan. Adapun masalah
menghormat bendera saya menguraikannya pada jawabn ketiga berikut.
Pertanyaan
Ketiga. Alvers, penanya memberikan statement bahwa mengagungkan bendera
termasuk perbuatan syirik. Menjawab pertanyaan ini haruslah diketahui bahwa menghormati
bendera dengan berdiri yang terjadi dalam upacara atau ditambah dengan isyarat
tangan adalah menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah
kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya, bukan sebagai sikap menyembah
bendera dan saya yakin setiap peserta upacara tidak ada yang berniat menyembah
bendera sehingga bisa serta merta dihukumi syirik.
Bendera
merah putih bukan hanya sebagai bendera, namun ia menjadi simbol perjuangan
dalam meraih kemerdekaan. Kalau bendera hanya diartikan sebagai kain maka mengapakah
Rasul memerintahkan para sahabat untuk mempertahankan tegaknya bendera
mati-matian. Rasul mengangkat Zaid bin Haritsah RA sebagai panglima sekaligus
pembawa benderanya. Beliau lalu bersabda:
إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ
فَجَعْفَرٌ وَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Kalau
Zaid terbunuh, maka Ja’far (yang menggantikannya). Jika Ja’far terbunuh, maka
Abdullah bin Rawahah (yang menggantikan).” [HR Bukhari]
Lebih
lanjut, dan lebih menarik kisahnya Imam Nasai menuturkan kejadian berikut :
فأخذ الراية زيد
فقاتل حتى قتل ثم أخذ الراية جعفر فقاتل حتى قتل ثم أخذ الراية عبد الله بن رواحة
فقاتل حتى قتل ثم أخذ الراية خالد بن الوليد ففتح الله عليه
Sesuai
dengan perintah beliau, maka Zaid membawa bendera lalu berperang hingga ia
tewas lalu bendera diambil alih oleh Ja’far lalu berperang hingga ia tewas lalu
bendera diambil alih Abdullah bin Rawahah lalu berperang hingga ia tewas lalu bendera
diambil alih oleh Khalid Bin Walid maka Allah memberikan kemenangan bagi kaum
muslimin [ HR An-nasai]
Lebih dahsyatnya
lagi coba lihat bagaimana para sahabat menegakkan benderanya. Ibnu Hisyam
menceritakan :
أن جعفر بن أبي
طالب أخذ اللواء بيمينه فقطعت فأخذه بشماله فقطعت فاحتضنه بعضديه حتى قتل «رحمه الله» تعالى
Sesungguhnya
Ja’far bin Abi Thalib memegang bendera dengan tangan kanannya hingga hingga
tengan kanannya terputus karena ditebas oleh pedang orang kafir, kemudian ia
terus mempertahankan tegaknya bendera dengan tangan kirinya hingga tengan kirinya
juga terputus, bahkan setelah kedua tangannya terputus ia merangkul tiang
bendera dengan kedua lengannya yang tersisa dan didekap di dadanya hingga beliau
tewas, semoga Allah merahmati beliau. [Sirah Nabawiyah] Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka
hati dan fikiran kita untuk membela tanah air dan mencintainya sebagai wujud
keimanan dan syukur kita kepada Allah swt yang telah memberikan kemerdekaaan
kepada bangsa kita.