إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Wednesday, April 5, 2023

URGENSI ILMU SHARAF

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry RA, Rasul SAW bersabda :

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Tuntunlah “mawta” kalian dengan bacaan “Lailaha Illallah” [HR Al-Hakim]

 

Catatan Alvers

 

Pernah viral kesalahan seseorang dalam mentashrif lafadz kafir. Ia berkata bahwa kata kafir berasal dari tashrif “kaffaro - yukaffiru – kufron”. Statement ini dilontarkan oleh seorang pemuka masyarakat bahkan memiliki jabatan yang tinggi dalm mejelis ulama yang semestinya kesalahan seperti itu tidak terjadi. Oleh Karena itulah kesalahan ini menjadi viral dan akhirnya mendapat bulliyan dan netizen saat itu. Menyindir kesalahan fatal tersebut seorang netizen mentashrif juga kata “Taba – Yatubu – Youtuban”.

 

Di sinilah pentingnya belajar ilmu agama sedini mungkin. Sayyidina Umar RA berkata :

تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا

Belajarlah sebelum kalian dijadikan sebagai orang yang terpandang atau dimuliakan. [Shahih Bukhari]

 

Agama islam itu bersumber dari Al-Quran dan hadits yang berbahasa Arab. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firman-Nya :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Quran yang berbahasa arab supaya kalian memahaminya. [QS Yusuf : 2]

 

Ibnu Katsir menjelaskan :

وذلك لأَنَّ لُغَةَ الْعَرَبِ أَفْصَحُ اللُّغَاتِ وَأَبْيَنُهَا وَأَوْسَعُهَا، وَأَكْثَرُهَا تَأْدِيَةً لِلْمَعَانِي الَّتِي تَقُوْمُ بِالنُّفُوْسِ

“Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab merupakan bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia[Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]

 

Lebih lanjut beliau mengatakan : “Oleh karena itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad SAW), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” [Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]

 

Dengan demikian merupakan satu keniscayaan bagi orang yang hendak mempelajari agama Islam agar dia menguasai bahasa Arab. Mujahid Berkata :

لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي كِتَابِ اللهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَالِماً بِلُغَاتِ الْعَرَبِ

Seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak diperbolehkan ia berkata mengenai Kalamullah jika ia tidak mengetahui “Lughat” (bahasa) Arab. [Al-Itqan]

Bahasa Arab bisa dipahami dengan mempelajari ilmu-ilmu bahasa, diantaranya adalah Nahwu Sharaf. Dan dari keduanya, Ilmu Nahwu yang lebih penting didahulukan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi (w 890 H/1485 M) dalam nadzamnya :

وَالنَّحْوُ أَوْلٰى أَوَّلًا أَنْ يُعْلَمَا  ::  إِذِ الْكَلَامُ دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا

Ilmu nahwu itu lebih berhak pertama kali untuk dipelajari, karena kalam arab tanpa nahwu, tidak akan bisa dipahami. [Nadzam Imrithy]

 

Namun pendapat lain mengatakan :

إِنَّ الصَّرْفَ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَالنَّحْوُ أَبُوْهَا فَعَلَيْكَ أَنْ تُقَدِّمَ الْأُمَّ عَلَى الْأَبِ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ

Ketahuilah, bahwa shorof adalah induk dari segala ilmu dan nahwu adalah ayahnya. Hendaklah kamu mendahulukan ibu atas ayah, karena surga dibawah telapak kaki ibu.[ kitab al qowa’id aAs Shorfiyah]

 

Senada dengan pendapat ini, Ibnu Faris berkata :

وَمَنْ فَاتَهُ عِلْمُهُ فَاتَهُ الْمُعْظَمُ

Barang siapa yang tidak menguasai ilmu sharaf maka ia akan kehilangan sebagian besar ilmu. [Al-Itqan]

 

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut maka ilmu nahwu dan sharaf adalah sama-sama penting untuk dipelajari. Ilmu Nahwu terfokus mempelajari seputar struktur (susunan kalimat serta harakat) sementara Ilmu Sharaf fokus untuk mempelajari berbagai perubahan bentuk kata ke bentuk yang lainnya. Baik perubahan harakat (Nahwu) atau perubahan bentuk kata (sharaf) sama-sama mempengaruhi terhadap perubahan makna.

 

Tidak hanya bentuk kata yang berubah menjadikan makna yang berbeda, satu kata dalam satu bentuk bisa memiliki makna yang berbeda yang diketahui dengan ilmu sharaf. Semisal kata “wajada” itu merupakan kalimat yang mubham (samar) jika kita mentashrifnya maka baru akan menjadi jelas maksudnya dengan mengetahui mashdarnya. Lafadz tersebut sama-sama dibaca “wajada” namun jika mashdarnya berupa “wijdan” maka artinya tergelincir, jatuh dari kendaraan, atau jika mashdarnya berupa “wujudan” maka artinya menemukan, atau jika mashdarnya berupa “mawjidatan” maka artinya marah, jika mashdarnya berupa “wujdan” maka artinya kaya atau jika mashdarnya berupa “wajdan” maka artinya cinta. [Al-Isra’ilyyat wal Mawdlu’at fi kutubit tafsir]

 

Ada orang yang berpendapat bahwa mempelajari ilmu sharaf itu tidaklah penting karena kita cukup menukil kalimat-kalimat dari orang arab tanpa menambah atau menguranginya. Statement seperti ini tampaknya benar jika kalimat tersebut digunakan tanpa ada perubahan bentuk sama sekali, namun jika seseorang ingin mengubah kalimat tersebut dalam bentuk tashgir misalnya, atau bentuk jamak atau nisbah maka di sini diperlukan ilmu sharaf. Apa saja huruf ashal dari kalimat tadi, huruf tambahannya apa saja dan adakah huruf yang dibuang atau diganti dari kalimat tadi. Sebut satu misal, tanyakan kepada ahli nahwu yang taka mengerti sharaf bagaimana bentuk tashgir dari kata “idltiraab”?.

 

Dalam teori nahwu, jika ada kalimat yang terdiri dari lima huruf dan ada huruf tambahannya seperti kata “munthaliqun” maka ketika membuat bentuk tashgir, huruf tambahannya harus dibuang.  Huruf tambahannya adalah mim dan nun, hanya saja huruf mim merupakan huruf tambahan yang mendatangkan makna sehingga yang dibuang hanya huruf nun saja. Maka bentuk tashgirnya sesuai kaidah adalah “Muthayliqun”.

 

Dengan teori seperti ini maka ahli nahwu mengatakan bahwa huruf tambahan [ada kata “idltiraab” adalah alif saja, maka alif saja yang dibuang sehingga dalam bentuk tashgirnya menjadi “dluthayribun”.  Sang ahli nahwu lupa bahwa pada kata “idltiraab” terdapat huruf yang diganti yaitu huruf dlad yang aslinya adalah huruf ta’ maka semestinya dalam bentuk tashgir huruf gantian dikembalikan ke huruf asalnya yaitu ta’ sehingga tashgirnya menjadi “Dlutayribun”.

 

Maka Ibnul Atsir al-Katib berkata :

فَإِنَّ هَذَا لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا التَّصْرِيْفِيُّ

 

 

Maka sesungguhnya hal ini tidaklah diketahui kecuali oleh ahli ilmu sharaf. [Al-Mataslus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]

 

Az-Zamakhsyari berkata : termasuk contoh bid’ah (kekeliruan) dalam tafsir adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat :

يَوْمَ نَدْعُواْ كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

artinya adalah : “Hari dimana kami memanggil setiap orang dengan nama ibunya bukan dengan nama ayahnya”.

Karena kata “Imam” pada ayat tersebut merupakan bentuk jamak

dari kata “umm” (ibu).

 

Beliau berkata :

وَهَذَا غَلَطٌ أَوْجَبَهُ جَهْلُهُ بِالتَّصْرِيْفِ، فَإِنَّ "أُمَاً" لَا تُجْمَعُ عَلَى إِمَامٍ".

Ini adalah kesalahan yang disebabkan oleh kejahilannya akan ilmu sharaf karena lafadz “Umm” tidak dijamakkan dengan lafadz “Imam” (namun jamaknya dalaha lafadz “ummahat”). [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]

 

Dalam bacaan Al-qur’an (qira’at), Abu ustman al-Mazani menyalahkan satu bacaan dalam qira’at Imam Nafi’ bin Abi nu’aim yang beliau merupakan kategori imam qira’ah sab’ah dimana imam nafi’ membaca kata”Ma’ayis” dengan kata “Ma’aais”. Hal ini dikarenakan kata”Ma’ayis” tidak boleh ya’nya diganti dengan hamzah menurup ijma’ para ulama bahasa Arab karena ya’ dalam kalimat tersebut bukan gantian dari hamzah. [Al-Matsalus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]

 

Ilmu sharaf juga mewarnai pemahaman dalam hadits. Saya kemukakan hadits talqin sebagaimana hadits utama di atas. Kata “Mawta” dalam hadits tersebut diartikan sebagai “muhtadlar” yakni orang yang hendak meninggal dengan merujuk kepada bentuk mufrad “mayyitun” yang bermakna demikian. Hal ini sebagaimana pendapat mayoritas ulama yang mengartikan hadits tersebut sebagai anjuran talqin (menuntun kalimat tahlil) kepada orang yang hendak meninggal. Dan bisa juga kata “Mawta” tersebut diartikan sebagai orang yang sudah meninggal atau dikubur dengan merujuk kepada bentuk mufrad “maytun”. Hal ini lazim disebut “talqin ba’dad dafn” sebab kata “mawta” merupakan jamak dari mufrad “mayyitun” dan bisa juga dari mufrad “maytun” sebagaimana dikatakan oleh Abu Amr :

وَتَسْأَلُنِي تَفْسِيْرَ مَيْتِ وَمَيِّتٍ :: فَدُوْنَكَ قَدْ فَسَّرْتُ إِنْ كُنْتَ تَعْقِلُ

فَمَنْ كاَنَ ذَا رُوْحٍ فَذَلِكَ مَيِّتٌ :: وَمَا الْمَيْتُ إِلَّا مَنْ إِلَى الْقَبْرِ يُحْمَلُ

Engkau meminta penjelasan kata “maytun” dan “mayyitun” dan berikut penjelasannya. Orang yang masih memiliki ruh (hampir mati) maka disebut dengan “mayyitun”. Adapun yang disebut “maytun” adalah orang yang dibawa ke kuburan (orang yang sudah hilang ruhnya). [Tafsir An-Nasafi]

Dan wawasan ini bukan hanya teori sharaf namun juga dikatakan oleh para ulama. Zainul Arab berkata :

وَلَا بَأْسَ بِإِطْلَاقِ كِلَيْهِمَا

Kata “mawta” pada hadits talqin boleh diartikan dengan keduanya (Talqin utk orang yang mau meninggal dan talqin di atas kubur). [Mirqatul Mafatih]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk semakin semangat mempelajari ilmu sharaf sebagai dasar pijakan kita dalam memahami perkataan para ulama dalam menafsiri al-Quran dan hadits.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Sunday, April 2, 2023

HABIBI YAA MUHAMMAD (2)

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abud Darda’RA, Ia berkata :

أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ

Aku telah diwasiati oleh habibi (kekasihku) dengan tiga perkara. [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Lirik : Shalatuw wa salam 'alayka ya Nabi

صَلَاةٌ وَسَلَامْ عَلَيْكَ يَا نَبِيّ

(Shalawat dan salam semoga tercurah kepadamu wahai Nabi)

 

Lagu ini mengajak kita untuk bershalawat serta bersalam kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Subhanallah, betapa besarnya pahala orang yang mengajak jutaan orang untuk bershalawat dan menjadikan banyak orang cinta shalawat dan meninggalkan lagu-lagu cinta dan nafsu birahi. Di sinilah atensi saya dalam artikel ini.

 

Apakah shalawat itu? Imam Qalyubi berkata :

اَلصَّلَاةُ مِنَ اللهِ رَحْمَةٌ وَمِنَ الْمَلَائِكَةِ اِسْتِغْفَارٌ وَمِنْ غَيْرِهِمَا دُعَاءٌ

Shalawat itu kalau dari Allah berarti rahmat, dan kalau dari malaikat berarti istighfar (memohon ampunan) dan dari selain keduanya adalah doa. [Hasyiyata Qalyubi Wa Umayrah]

 

Beliau menjelaskan lebih lanjut : “Yang dimaksud dengan shalawat dari manusia adalah setiap lafadz yang mengandung permohonon semisal rahmat, ampunan dan keridloan. Makna shalawat kita kepada Nabi SAW adalah permohonan kepada Allah agar melimpahkan rahmat kepada nabi SAW, adakalanya karena untuk menambah ketinggian derajat beliau mengingat ketinggian derajat beliau itu tiada batasnya, atau adakalanya menghasilkan pahala untuk kita dengan shalawat tersebut, atau adakalanya menjelaskan sang “Thalib” (Allah yang memerintahkan kita bershalawat) dan memuliakan sang “Mathlub” (Nabi yang menjadi objek shalawat) maka shalawat itu hakikatnya bukan dari kita (tetapi dari Allah) dan Shalawat itu tidak bisa kemasukan riya’ (karena bukan amalan kita) berbeda dengan amalan lainnya. Adapun salam maka artinya adalah selamat dari berbagai kekurangan… Menggabungkan antara shalawat dan salam dilakukan karena untuk terlepas dari hukum makruh menyebutkan salah satu saja di antara keduanya, baik secara ucapan maupun tulisan. Dan dalam satu pendapat disebutkan dalam ucapan maupun niat, dan ada pendapat lain yang mengatakan dalam pengucapan saja”. [Hasyiyata Qalyubi Wa Umayrah]

 

Lirik : Habibi yaa Muhammad Atayta bissalami wal huda, Muhammad

حَبِيْبِي يَا مُحَمَّدْ أَتَيْتَ بِالسَّلَامِ وَالْهُدَى مُحَمَّدْ

(Kekasihku, Ya Muhammad! Engkau datang dengan (1) kedamaian dan (2) petunjuk)

 

(1) Rasul SAW seringkali mendamaikan perselisihan. Sebutlah kasus perselisihan para pemuka suku Arab atas permasalahan siapa yang berhak memasang hajar aswad ketika renovasi ka’bah. Beliau menggelar sorban dan meletakkan batu Hajar Aswad di atasnya lalu meminta masing-masing pimpinan suku memegang setiap ujung sorban dan mengangkatnya bersamaan sampai ke tempat Hajar Aswad. Begitu pula beliau mendamaikan suku aus dan khazraj di madinah. Lantas kenapa kaum muslimin berperang? Baiklah coba periksa “ayat perang “ pertama yang turun [At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an]. Allah SWT berfirman :

 أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا

Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya [QS Al-Hajj : 39]

 

Pada ayat tersebut secara gamblang disebutkan alasan Allah mengijinkan perang yaitu karena kaum muslimin telah dianiaya. Maka ijin perang ini merupakan bentuk pertahanan bukan untuk menyerang dan menganiaya orang lain.

 

(2) Nabi SAW datang dengan membawa agama islam sebagai petunjuk. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWt dalam firman-Nya :

 وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya engkau menunjukkan kepada jalan yang lurus. [QS As-Syura : 52]

 

Lirik : Ya man hallayta hayatana bil iman

يَا مَنْ حَلَّيْتَ حَيَاتَنَا بِالْإِيْمَان

(Wahai engkau yang menghiasi hidup kami dengan iman)

 

Rasul SAW memerintahkan agar kita beriman. Suatu ketika delegasi Abdul Qays datang kepada Rasul SAW untuk meminta petunjuk atas amalan yang bisa menjadikan mereka masuk surga. Beliau berpesan 4 perkara dan ketika itu beliau bersabda :

آمُرُكُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ

Aku memerintahkan kalian agar beriman kepada Allah [HR Bukhari]

 

Iman itu adalah perhiasan yang sesungguhnya. Allah SWT berfirman :

وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ 

Dan pakaian berupa (iman) taqwa itulah yang terbaik [QS Al-A’raf : 26]

Dan dalam ayat lain, Allah SWT berfirman :

 

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ

Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu sebagai perhiasan dalam hatimu …  [QS Al-Hujurat : 7]

 

Dan diantara doa beliau adalah :

اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ

Ya Allah hiasilah kami dengan perhiasan iman. [HR An-Nasa’i]

 

Lirik : Ya man bijamalika 'allamtal ihsan

يَا مَنْ بِجَمَالِكْ عَلَّمْتَ الْإِحْسَان

(Wahai engkau yang mengajarkan ihsan “kebaikan” dengan keindahan perilakumu)

 

Rasul SAW mengajarkan kebaikan dengan uswah hasanah, teladan yang baik. Ketika gigi beliau pecah, dahi terluka sehingga darah mengalir di wajahnya (karena dilempari batu) maka ada yang berkata “Wahai Rasulallah, doakan saja mereka itu dengan kejelekan!” maka beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusku tidak untuk mencela atau melaknat akan tetapi Allah mengutusku untuk mengajak dan mengasihi mereka". Lalu beliau berdoa :

اللهم اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

 

Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena seseungguhnya mereka itu tidak mengetahui (kebenaran) . [HR Baihaqi]

 

Ihsan atau berbuat baik itu dikatakan oleh Nabi Isa AS :

لَيْسَ الْإِحْسَانُ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ، تِلْكَ مُكَافَأَةٌ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَكِنَّ الْإِحْسَانَ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ

Ihsan itu bukanlah engkau berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu, itu namanya membalas kebaikan. Akan tetapi yang dinamakan ihsan itu berbuat baik kepada orang yang telah berbuat jelek kepadamu [Tafsir Ibnu Katsir]

 

Ihsan itu adalah akhlak terpuji. Suatu ketika Rasul SAW bertanya kepada para sahabat. Maukah kalian aku tunjukkan kepada “Makarimil Akhlaq” (Budi pekerti yang baik) di dunia dan di akhirat? Mereka menjawab “Ya, wahai Rasulallah SAW”. Lalu beliau bersabda :

صِلْ مَنْ قَطَعَكَ، وَأَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ وَاعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَكَ

Sambunglah (silaturrahmi) dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, Berilah kepada orang yang menghalangi pemberian kepadamu dan maafkanlah orang yang telah mendzalimimu. [HR Baihaqi]

 

Lirik : "Ya man nawwarta qulubana bil quran

يَا مَنْ نَوَّرْتَ قُلُوْبَنَا بِالْقُرْآن

(Wahai engkau yang menerangi hati kami dengan Quran)

 

Al-Qur’an itu disebut sebagai “nur” (cahaya). Allah SWT berfirman :

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا 

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada cahaya (al-Qur’an) yang telah Kami turunkan [QS At-Taghabun : 8]

 

 

Dan cahaya Qur’an menerangi jiwa manusia. Hal ini sebagaimana doa (penghilang kesusahan)  yang diajarkan oleh Nabi SAW berbunyi :

اللهم ... أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي

Ya Allah, Jadikanlah al-Qur’an sebagai penyejuk hati dan cahaya di dada kami. [HR Ahmad]

 

Lirik : Shallallahu 'ala Khatamil Anbiya'

صَلَّى الله عَلَى خَاتَمِ الْأَنْبِيَاء

"Semoga rahmat Allah tercurahkan kepada pungkasan para Nabi"

 

Nabi Muhammad SAW sebagai “Khatamil Anbiya'” dinyatakan sendiri oleh beliau dalam sabdanya :

وَأَنَا خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ لَا نَبِيَّ بَعْدِيْ

Aku adalah pungkasan para nabi, tiada nabi setelahku. [HR Al-Hakim]

 

Al-Munawi berkata : adapun Nabi Isa AS maka ia turun (di akhir zaman) dengan membawa syariatnya Nabi Muhammad SAW. [Faidlul Qadir]

 

Dan juga ditegaskan dalam firman Allah :

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalia, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi... [QS Al-Ahzab : 40]

An-Naisaburi berkata : Lafadz tersebut dibaca dengan fathah “Khatam” sebagai mana qira’at Ashim dan bermakna “at-Thaba’” (stempel). Dan juga dibaca dengan kasrah “Khatim” sebagaimana qira’at imam lainnya (yang berarti pamungkas). [Tafsir Ghara’ibul Qur’an]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk menjadikan apapun yang kita lihat dan yang kita dengar sebagai sarana semakin menambah kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]