Wednesday, April 5, 2023

URGENSI ILMU SHARAF

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry RA, Rasul SAW bersabda :

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Tuntunlah “mawta” kalian dengan bacaan “Lailaha Illallah” [HR Al-Hakim]

 

Catatan Alvers

 

Pernah viral kesalahan seseorang dalam mentashrif lafadz kafir. Ia berkata bahwa kata kafir berasal dari tashrif “kaffaro - yukaffiru – kufron”. Statement ini dilontarkan oleh seorang pemuka masyarakat bahkan memiliki jabatan yang tinggi dalm mejelis ulama yang semestinya kesalahan seperti itu tidak terjadi. Oleh Karena itulah kesalahan ini menjadi viral dan akhirnya mendapat bulliyan dan netizen saat itu. Menyindir kesalahan fatal tersebut seorang netizen mentashrif juga kata “Taba – Yatubu – Youtuban”.

 

Di sinilah pentingnya belajar ilmu agama sedini mungkin. Sayyidina Umar RA berkata :

تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا

Belajarlah sebelum kalian dijadikan sebagai orang yang terpandang atau dimuliakan. [Shahih Bukhari]

 

Agama islam itu bersumber dari Al-Quran dan hadits yang berbahasa Arab. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firman-Nya :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Quran yang berbahasa arab supaya kalian memahaminya. [QS Yusuf : 2]

 

Ibnu Katsir menjelaskan :

وذلك لأَنَّ لُغَةَ الْعَرَبِ أَفْصَحُ اللُّغَاتِ وَأَبْيَنُهَا وَأَوْسَعُهَا، وَأَكْثَرُهَا تَأْدِيَةً لِلْمَعَانِي الَّتِي تَقُوْمُ بِالنُّفُوْسِ

“Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab merupakan bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia[Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]

 

Lebih lanjut beliau mengatakan : “Oleh karena itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad SAW), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” [Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]

 

Dengan demikian merupakan satu keniscayaan bagi orang yang hendak mempelajari agama Islam agar dia menguasai bahasa Arab. Mujahid Berkata :

لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي كِتَابِ اللهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَالِماً بِلُغَاتِ الْعَرَبِ

Seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak diperbolehkan ia berkata mengenai Kalamullah jika ia tidak mengetahui “Lughat” (bahasa) Arab. [Al-Itqan]

Bahasa Arab bisa dipahami dengan mempelajari ilmu-ilmu bahasa, diantaranya adalah Nahwu Sharaf. Dan dari keduanya, Ilmu Nahwu yang lebih penting didahulukan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi (w 890 H/1485 M) dalam nadzamnya :

وَالنَّحْوُ أَوْلٰى أَوَّلًا أَنْ يُعْلَمَا  ::  إِذِ الْكَلَامُ دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا

Ilmu nahwu itu lebih berhak pertama kali untuk dipelajari, karena kalam arab tanpa nahwu, tidak akan bisa dipahami. [Nadzam Imrithy]

 

Namun pendapat lain mengatakan :

إِنَّ الصَّرْفَ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَالنَّحْوُ أَبُوْهَا فَعَلَيْكَ أَنْ تُقَدِّمَ الْأُمَّ عَلَى الْأَبِ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ

Ketahuilah, bahwa shorof adalah induk dari segala ilmu dan nahwu adalah ayahnya. Hendaklah kamu mendahulukan ibu atas ayah, karena surga dibawah telapak kaki ibu.[ kitab al qowa’id aAs Shorfiyah]

 

Senada dengan pendapat ini, Ibnu Faris berkata :

وَمَنْ فَاتَهُ عِلْمُهُ فَاتَهُ الْمُعْظَمُ

Barang siapa yang tidak menguasai ilmu sharaf maka ia akan kehilangan sebagian besar ilmu. [Al-Itqan]

 

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut maka ilmu nahwu dan sharaf adalah sama-sama penting untuk dipelajari. Ilmu Nahwu terfokus mempelajari seputar struktur (susunan kalimat serta harakat) sementara Ilmu Sharaf fokus untuk mempelajari berbagai perubahan bentuk kata ke bentuk yang lainnya. Baik perubahan harakat (Nahwu) atau perubahan bentuk kata (sharaf) sama-sama mempengaruhi terhadap perubahan makna.

 

Tidak hanya bentuk kata yang berubah menjadikan makna yang berbeda, satu kata dalam satu bentuk bisa memiliki makna yang berbeda yang diketahui dengan ilmu sharaf. Semisal kata “wajada” itu merupakan kalimat yang mubham (samar) jika kita mentashrifnya maka baru akan menjadi jelas maksudnya dengan mengetahui mashdarnya. Lafadz tersebut sama-sama dibaca “wajada” namun jika mashdarnya berupa “wijdan” maka artinya tergelincir, jatuh dari kendaraan, atau jika mashdarnya berupa “wujudan” maka artinya menemukan, atau jika mashdarnya berupa “mawjidatan” maka artinya marah, jika mashdarnya berupa “wujdan” maka artinya kaya atau jika mashdarnya berupa “wajdan” maka artinya cinta. [Al-Isra’ilyyat wal Mawdlu’at fi kutubit tafsir]

 

Ada orang yang berpendapat bahwa mempelajari ilmu sharaf itu tidaklah penting karena kita cukup menukil kalimat-kalimat dari orang arab tanpa menambah atau menguranginya. Statement seperti ini tampaknya benar jika kalimat tersebut digunakan tanpa ada perubahan bentuk sama sekali, namun jika seseorang ingin mengubah kalimat tersebut dalam bentuk tashgir misalnya, atau bentuk jamak atau nisbah maka di sini diperlukan ilmu sharaf. Apa saja huruf ashal dari kalimat tadi, huruf tambahannya apa saja dan adakah huruf yang dibuang atau diganti dari kalimat tadi. Sebut satu misal, tanyakan kepada ahli nahwu yang taka mengerti sharaf bagaimana bentuk tashgir dari kata “idltiraab”?.

 

Dalam teori nahwu, jika ada kalimat yang terdiri dari lima huruf dan ada huruf tambahannya seperti kata “munthaliqun” maka ketika membuat bentuk tashgir, huruf tambahannya harus dibuang.  Huruf tambahannya adalah mim dan nun, hanya saja huruf mim merupakan huruf tambahan yang mendatangkan makna sehingga yang dibuang hanya huruf nun saja. Maka bentuk tashgirnya sesuai kaidah adalah “Muthayliqun”.

 

Dengan teori seperti ini maka ahli nahwu mengatakan bahwa huruf tambahan [ada kata “idltiraab” adalah alif saja, maka alif saja yang dibuang sehingga dalam bentuk tashgirnya menjadi “dluthayribun”.  Sang ahli nahwu lupa bahwa pada kata “idltiraab” terdapat huruf yang diganti yaitu huruf dlad yang aslinya adalah huruf ta’ maka semestinya dalam bentuk tashgir huruf gantian dikembalikan ke huruf asalnya yaitu ta’ sehingga tashgirnya menjadi “Dlutayribun”.

 

Maka Ibnul Atsir al-Katib berkata :

فَإِنَّ هَذَا لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا التَّصْرِيْفِيُّ

 

 

Maka sesungguhnya hal ini tidaklah diketahui kecuali oleh ahli ilmu sharaf. [Al-Mataslus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]

 

Az-Zamakhsyari berkata : termasuk contoh bid’ah (kekeliruan) dalam tafsir adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat :

يَوْمَ نَدْعُواْ كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

artinya adalah : “Hari dimana kami memanggil setiap orang dengan nama ibunya bukan dengan nama ayahnya”.

Karena kata “Imam” pada ayat tersebut merupakan bentuk jamak

dari kata “umm” (ibu).

 

Beliau berkata :

وَهَذَا غَلَطٌ أَوْجَبَهُ جَهْلُهُ بِالتَّصْرِيْفِ، فَإِنَّ "أُمَاً" لَا تُجْمَعُ عَلَى إِمَامٍ".

Ini adalah kesalahan yang disebabkan oleh kejahilannya akan ilmu sharaf karena lafadz “Umm” tidak dijamakkan dengan lafadz “Imam” (namun jamaknya dalaha lafadz “ummahat”). [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]

 

Dalam bacaan Al-qur’an (qira’at), Abu ustman al-Mazani menyalahkan satu bacaan dalam qira’at Imam Nafi’ bin Abi nu’aim yang beliau merupakan kategori imam qira’ah sab’ah dimana imam nafi’ membaca kata”Ma’ayis” dengan kata “Ma’aais”. Hal ini dikarenakan kata”Ma’ayis” tidak boleh ya’nya diganti dengan hamzah menurup ijma’ para ulama bahasa Arab karena ya’ dalam kalimat tersebut bukan gantian dari hamzah. [Al-Matsalus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]

 

Ilmu sharaf juga mewarnai pemahaman dalam hadits. Saya kemukakan hadits talqin sebagaimana hadits utama di atas. Kata “Mawta” dalam hadits tersebut diartikan sebagai “muhtadlar” yakni orang yang hendak meninggal dengan merujuk kepada bentuk mufrad “mayyitun” yang bermakna demikian. Hal ini sebagaimana pendapat mayoritas ulama yang mengartikan hadits tersebut sebagai anjuran talqin (menuntun kalimat tahlil) kepada orang yang hendak meninggal. Dan bisa juga kata “Mawta” tersebut diartikan sebagai orang yang sudah meninggal atau dikubur dengan merujuk kepada bentuk mufrad “maytun”. Hal ini lazim disebut “talqin ba’dad dafn” sebab kata “mawta” merupakan jamak dari mufrad “mayyitun” dan bisa juga dari mufrad “maytun” sebagaimana dikatakan oleh Abu Amr :

وَتَسْأَلُنِي تَفْسِيْرَ مَيْتِ وَمَيِّتٍ :: فَدُوْنَكَ قَدْ فَسَّرْتُ إِنْ كُنْتَ تَعْقِلُ

فَمَنْ كاَنَ ذَا رُوْحٍ فَذَلِكَ مَيِّتٌ :: وَمَا الْمَيْتُ إِلَّا مَنْ إِلَى الْقَبْرِ يُحْمَلُ

Engkau meminta penjelasan kata “maytun” dan “mayyitun” dan berikut penjelasannya. Orang yang masih memiliki ruh (hampir mati) maka disebut dengan “mayyitun”. Adapun yang disebut “maytun” adalah orang yang dibawa ke kuburan (orang yang sudah hilang ruhnya). [Tafsir An-Nasafi]

Dan wawasan ini bukan hanya teori sharaf namun juga dikatakan oleh para ulama. Zainul Arab berkata :

وَلَا بَأْسَ بِإِطْلَاقِ كِلَيْهِمَا

Kata “mawta” pada hadits talqin boleh diartikan dengan keduanya (Talqin utk orang yang mau meninggal dan talqin di atas kubur). [Mirqatul Mafatih]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk semakin semangat mempelajari ilmu sharaf sebagai dasar pijakan kita dalam memahami perkataan para ulama dalam menafsiri al-Quran dan hadits.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

0 komentar:

Post a Comment