إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Thursday, April 6, 2023

MENETRALISIR EFEK FLEXING

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

Akan datang satu masa dimana seseorang tidak lagi memperdulikan harta yang diambilnya, apakah hartanya dari barang haram ataukah dari barang halal. [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Maraknya flexing di medsos mendatangkan efek negatif kepada masyarakat. Mereka akan cenderung materialistis. Mereka bepandangan bahwa materi, harta atau kekayaan menjadi tolok ukur ketinggian derajat dan kemuliaan seseorang. Semakin kaya seseorang berarti ia semakin mulia dan berkelas dan sebaliknya semakin sedikit materi yang dimiliki berarti seseorang semakin hina dan semakin rendah stratanya. Masyarakat yang terjangkit ideologi materialisme seperti itu akan cenderung berlomba-lomba dan tak kenal lelah untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Mereka tidak lagi memperdulikan apakah caranya halal ataupun haram. Inilah jawaban mengapa semakin marak korupsi di kalangan pejabat akhir akhir ini. Nabi SAW bersabda :

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

Akan datang satu masa dimana seseorang tidak lagi memperdulikan harta yang diambilnya, apakah hartanya dari barang haram ataukah dari barang halal. [HR Bukhari]

 

Untuk menetralisir hal ini, Islam mengajarkan bahwa barometer kemuliaan sesungguhnya adalah taqwa bukan harta. Allah SWT berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. [QS Al-Hujurat : 13]

Dan Rasul SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian." [HR Muslim]

 

Dan ingatlah bahwa seberapun harga yang kita miliki, tidak akan menjadikan bahagia jika kita terus berambisi. Baginda Nabi Saw bersabda :

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا

Jika seseorang memiliki dua lembah harta niscaya dia akan mencari lembah yang ketiga. [HR Bukhari]

 

Efek negatif selanjutnya adalah motivasi kerja mereka bukan lagi motivasi mulia untuk menunaikan kewajiban menari nafkah dan ibadah namun motivasi mereka adalah gengsi dan menuruti kata setan. Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata, “Ada seorang laki-laki lewat di hadapan Nabi SAW, maka para shahabat Rasulullah SAW melihat kuat dan sigapnya orang tersebut. Lalu para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, alangkah baiknya seandainya orang ini ikut (Jihad) fi sabilillah”. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Jika ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhan anaknya yang masih kecil, maka ia (Jihad) fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia maka ia (Jihad) fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhannya sendiri agar terjaga kehormatannya, maka ia (Jihad) fi sabilillah. Rasul SAW melanjutkan :

وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَ مُفَاخَرَةً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ

jika seseorang (bekerja) keluar rumah karena tujuan flexing dan gengsi maka ia berada jalan syaithan”. [HR. Thabrani]

 

Menetralisi motivasi negatif dan gengsi tersebut, Rasul SAW menyuruh kita untuk lebih banyak melihat orang yang ada dibawah kita. Beliau bersabda :

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

“Pandanglah orang yang lebih rendah daripada kalian, dan janganlah memandang orang yang di atas kalian. Maka yang demikian itu lebih layak untuk dilakukan agar kalian tidak menganggap remeh akan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” [HR Muslim]

Dan Al-Hasan berkata :

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يُنَافِسُكَ فِي الدُّنْيَا فَنَافِسْهُ فِي الْآخِرَةِ

Jika kau lihat ada orang berlomba-lomba dalam urusan dunia maka berlomba-lombalah dengannya dalam urusan akhirat. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]

 

Efek negatif selanjutnya adalah banyak pemuda menjadi berangan-angan menjadi orang kaya dengan tujuan agar ia bisa flexing seperti yang mereka. Rasulullah SAW bersabda : “Perumpamaan umat ini seperti empat kelompok manusia: (1) Seseorang yang Allah beri harta dan ilmu agama, maka dia beramal dengan hartanya sesuai ilmunya, dia infakkan hartanya sesuai kewajibannya. (2) Seseorang yang Allah beri ilmu, tapi tidak Allah beri harta. Dia berkata, ”Andai aku punya harta seperti dia (kelompok pertama), niscaya aku akan berbuat seperti yang dia lakukan”. Maka mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.”

وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي غَيْرِ حَقِّهِ

(3) Seseorang yang Allah beri harta, namun tidak Allah beri ilmu. Dia menghabiskan hartanya dan dia keluarkan hartanya pada tempat yang bukan haknya.”

(4) Seseorang yang tidak Allah beri harta dan tidak pula ilmu. Maka dia berangan-angan,

لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ

”Andai aku punya harta seperti dia (kelompok ketiga), niscaya aku akan berbuat seperti orang itu.” Maka Mereka berdua mendapatkan dosa yang sama.” [HR Ahmad]

 

Efek negatif ini bisa dinetralisir dengan menyadarkan diri bahwa harta itu sementara karena ketika seseorang mati maka ia tidak akan membawanya dan di akhirat kelak akan dimintai pertanggugjawabandengan dobel pertanyaan, Yaitu :

عَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ

Ditanyakan perihal hartanya; Dari mana harta didapatkan dan dalam hal apa ia dibelanjakan. [HR Turmudzi]

Dan sayyidina Ali KW berkata :

حَلَالُهَا حِسَابٌ وَحَرَامُهَا عَذَابٌ

Halalnya harta akan dihisab dan haramnya akan mendatangkan adzab. [Kanzul Ummal]

 

Kaya belum tentu bahagia, Miskin belum tentu susah dan setiap orang akan menjadi bahagia apapun kondisinya asal dia mau ber-qana’ah (menerima ketentuan Allah dengan ridla dan senang hati). Banyak belum tentu cukup dan sedikit belum tentu kurang, maka cukup dan tidaknya itu adalah pilihan. Maka pilihlah kebahagian di dunia dan akhirat.

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk menyadari bahwa setiap harta yang kita miliki akan dimintai pertanggung jawabannya kelak, tidak hanya darimana kita mendapatkannya namun juga untuk apa harta dibelanjakan.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

FLEXING, BOLEHKAH?

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud RA, Rasul SAW bersabda :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”  [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Flexing, kata yang akhir ini marak diperbincangkan. Flexing adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti pamer atau sinonim dari kata "show off". Menurut kamus Merriam-Webster, flexing adalah memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok. Dengan perkembangan teknologi, Memamerkan properti lebih mudah melalui medsos seperti Instagram, facebook dan lainnya.

 

Flexing ini sudah ada sejak zaman dahulu, jauh sebelum era medsos ditemukan. Allah SWT berfirman :

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ

”Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam perhiasannya.” [QS Al-Qashshash : 79]

Dalam tafsir jalalain disebutkan :

بِأَتْبَاعِهِ الْكَثِيْرِيْنَ رُكْبَاناً مُتَحَلِّينَ بِمَلَابِسِ الذَّهَبِ وَالْحَرِيْرِ عَلَى خُيُولٍ وَبِغَالٍ مُتَحَلِّيَةٍ

Dengan para ajudannya yang berjumlah banyak dengan mengenakan perhiasan berupa pakaian emas dan sutera, mereka naik di atas kuda dan bighal yang dipenuhi dengan perhiasan. [Tafsir Jalalain]

 

Az-Zamakhsyari menukil keterangan bahwa Qarun diapit di sebelah kanan oleh 300 pemuda dan di sebelah kiri 300 gadis yang glowing dengan mengenakan perhiasan emas berlian dan sutera. Dan ada yang mengatakan total pengawalnya berjumlah 90 ribu dengan memakai perhiasan. [Tafsir Al-Kasysyaf]

 

Saya punya imaginasi, jika qarun hidup di zaman ini maka tatkala ia keluar ke jalan raya dengan Iring-iringan yang terdiri dari mobil supercar mulai mobil Rolls-Royce Sweptail seharga 13 juta dolar (Rp184,8 miliar), Bugatti La Voiture Noire seharga 18 juta dolar (Rp255,9 miliar) dll. dengan hiasan boneka kecil bermerk Steiff Louis Vuitton Teddy Bear seharga USD2,1 juta (Rp48 miliar) Baju yang dikenakannya bermerek Giorgio Armani yang berhias kristal swarovski seharga USD 250 ribu (Rp3,9 miliar). Jaket bermerek Yves Saint Laurent (YSL) produk Prancis, dengan Sunflower yang terdapat bordir tangan seharga USD382 ribu (Rp6 miliar). ikat pinggang bermerk Gucci Stuart Hughes yang dihargai USD250 ribu (Rp3,9 miliar). Gaunnya bermek Christian Dior seperti yang dipakai oleh Nicole Kidman senilai USD2 juta (Rp31 miliar). Sepatu bermerk Solid Gold OVO x Air Jordans seharga US$2 juta (Rp31,24 miliar). Dan jam tangan bermerk Graff Diamonds Hallucination yang terbuat dari 110 karat berlian dengan beragam warna dan dibalut gelang platinum seharga 55 juta dolar (Rp834,13 miliar). Serta Tas tangan bermerk Mouawad 1001 Nights Diamond Bag besutan Robert Mouawad seharga $3,8 juta (Rp. 59 miliar) [Berbagai sumber]

 

Maka pantaslah semua mata yang tertuju padanya berdecak kagum. Allah SWT berfirman :

قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا  يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "duhai kiranya kami mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".[QS Al-Qashshash : 79]

 

Kenapa banyak orang cenderung flexing? seseorang yang memiliki harta boleh jadi ia ingin dikenal dan tenar dengan kekayaannya. Orang kaya terkadang bertanya dalam hati, apakah aku sudah dianggap kaya oleh tetangga, saudara atau bahkan banyak orang? Terkadang ia belum puas dan percaya diri dengan pencapaiannya jikalau ia belum medapatkan pengakuan dari komunitasnya (validasi sosial).

 

Di sisi lain, popularitas itu menjadi satu kenikmatan di atas kenikmatan harta. Dengan tenar ia akan mendapatkan perhatian dari banyak orang yang tidak bisa ia miliki tanpa memamerkan kekayaannya. Imam Ghazali berkata : Tujuan dari popularitas adalah mendapatkan “jah” (kedudukan) atau perhatian dari masyarakat.

وَحُبُّ الْجَاهِ هُوَ مَنْشَأُ كُلِّ فَسَادٍ

Dan “hubbul jah” (gila hormat) adalah sumber segala kerusakan. [Ihya Ulumuddin]

 

Maksud dari “jah” disini adalah pandangan masyarakat bahwa ia memiliki kesempurnaan dan kesempurnaan ini akan menjadikannya mendapat pujian dan perhatian istimewa di hati banyak orang. Mengapa jah itu disukai? Imam ghazali menjawab : jah itu disukai sama dengan sebab disukainya emas perak. Kenapa emas lebih disukai dari pada perak dengan bobot yang sama?  Anda tahu bahwa Emas dan perak itu bukan tujuan akhir, karena keduanya tidak bisa dimakan, diminum dan dinikahi persis seperti batu. Namun emas dan perak dicintai karena keduanya bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan apapun yang diinginkan. Nah, seperti itu pula jah. [Ihya Ulumuddin]

 

Lantas apakah kita tidak boleh mengenakan pakaian yang bagus dan mahal? Flexing? boleh saja, boleh kok. Suatu Ketika Malik Bin Auf Al-Jutsamy duduk Bersama baginda Rasul SAW dan beliau melihatnya mengenakan pakaian yang usang. Maka beliaupun bertanya: "Apakah engkau mempunyai harta?" Aku menjawab, "Iya, wahai Rasulullah. Aku memiliki banyak harta." Beliau bersabda:

فَإِذَا آتَاكَ اللَّهُ مَالًا فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ

"Jika Allah memberimu harta yang banyak, maka tampakkanlah wujud dari rizki-Nya itu pada dirimu.” [HR An-Nasai]

Al-Mubarakfuri menjelaskan :  (orang yang kaya hendaklah) ia memakai pakaian yang pantas dengan keadaannya untuk menampakkan nikmat Allah yang diperolehnya dan hendaklah ia berniat agar para fakir miskin dengan mudah meminta zakat dan sedekah kepadanya, hal ini sebagaimana orang alim memperlihatkan ilmunya supaya orang awam tidak kebingungan kepada siapa ia akan meminta faidah dan ilmu. [Tuhfatul Ahwadzi]

Imam ghazali memiliki analogi tentang popularitas. Kita itu seperti orang tenggelam bersama orang banyak. Jika kita lemah (tidak bisa berenang) maka janganlah ingin diketahui oleh mereka sebab jika demikian maka mereka yang tenggelam akan mendekati kita lalu bergelantungan ke kita sehingga semuanya akan tenggelam. Adapun orang yang kuat (pintar berenang) maka sebaiknya ia memberitahukan keberadaannya sehingga orang yang tenggelam disekitarnya akan bergelantungan kepadanya sehingga semuanya bisa selamat. [Ihya Ulumuddin]

Dan lebih penting lagi jangan sampai hal itu menyebabkan kita sombong dengan meremehkan orang lain yang mengenakan pakaian KW karena dalam hadits utama disebutkan bahwa “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ketika menyampaikan hadits ini, ada yang bertanya :

إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً

“Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?”

Maka Beliau menjawab :

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”  [HR Muslim]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk menyadari bahwa popularitas dan kekayaan itu bukan untuk dipamerkan dan dibanggakan namun sebaiknya digunakan untuk kemaslahatan.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]




 

 

Wednesday, April 5, 2023

URGENSI ILMU SHARAF

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry RA, Rasul SAW bersabda :

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Tuntunlah “mawta” kalian dengan bacaan “Lailaha Illallah” [HR Al-Hakim]

 

Catatan Alvers

 

Pernah viral kesalahan seseorang dalam mentashrif lafadz kafir. Ia berkata bahwa kata kafir berasal dari tashrif “kaffaro - yukaffiru – kufron”. Statement ini dilontarkan oleh seorang pemuka masyarakat bahkan memiliki jabatan yang tinggi dalm mejelis ulama yang semestinya kesalahan seperti itu tidak terjadi. Oleh Karena itulah kesalahan ini menjadi viral dan akhirnya mendapat bulliyan dan netizen saat itu. Menyindir kesalahan fatal tersebut seorang netizen mentashrif juga kata “Taba – Yatubu – Youtuban”.

 

Di sinilah pentingnya belajar ilmu agama sedini mungkin. Sayyidina Umar RA berkata :

تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا

Belajarlah sebelum kalian dijadikan sebagai orang yang terpandang atau dimuliakan. [Shahih Bukhari]

 

Agama islam itu bersumber dari Al-Quran dan hadits yang berbahasa Arab. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firman-Nya :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Quran yang berbahasa arab supaya kalian memahaminya. [QS Yusuf : 2]

 

Ibnu Katsir menjelaskan :

وذلك لأَنَّ لُغَةَ الْعَرَبِ أَفْصَحُ اللُّغَاتِ وَأَبْيَنُهَا وَأَوْسَعُهَا، وَأَكْثَرُهَا تَأْدِيَةً لِلْمَعَانِي الَّتِي تَقُوْمُ بِالنُّفُوْسِ

“Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab merupakan bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia[Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]

 

Lebih lanjut beliau mengatakan : “Oleh karena itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad SAW), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” [Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]

 

Dengan demikian merupakan satu keniscayaan bagi orang yang hendak mempelajari agama Islam agar dia menguasai bahasa Arab. Mujahid Berkata :

لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي كِتَابِ اللهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَالِماً بِلُغَاتِ الْعَرَبِ

Seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak diperbolehkan ia berkata mengenai Kalamullah jika ia tidak mengetahui “Lughat” (bahasa) Arab. [Al-Itqan]

Bahasa Arab bisa dipahami dengan mempelajari ilmu-ilmu bahasa, diantaranya adalah Nahwu Sharaf. Dan dari keduanya, Ilmu Nahwu yang lebih penting didahulukan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi (w 890 H/1485 M) dalam nadzamnya :

وَالنَّحْوُ أَوْلٰى أَوَّلًا أَنْ يُعْلَمَا  ::  إِذِ الْكَلَامُ دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا

Ilmu nahwu itu lebih berhak pertama kali untuk dipelajari, karena kalam arab tanpa nahwu, tidak akan bisa dipahami. [Nadzam Imrithy]

 

Namun pendapat lain mengatakan :

إِنَّ الصَّرْفَ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَالنَّحْوُ أَبُوْهَا فَعَلَيْكَ أَنْ تُقَدِّمَ الْأُمَّ عَلَى الْأَبِ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ

Ketahuilah, bahwa shorof adalah induk dari segala ilmu dan nahwu adalah ayahnya. Hendaklah kamu mendahulukan ibu atas ayah, karena surga dibawah telapak kaki ibu.[ kitab al qowa’id aAs Shorfiyah]

 

Senada dengan pendapat ini, Ibnu Faris berkata :

وَمَنْ فَاتَهُ عِلْمُهُ فَاتَهُ الْمُعْظَمُ

Barang siapa yang tidak menguasai ilmu sharaf maka ia akan kehilangan sebagian besar ilmu. [Al-Itqan]

 

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut maka ilmu nahwu dan sharaf adalah sama-sama penting untuk dipelajari. Ilmu Nahwu terfokus mempelajari seputar struktur (susunan kalimat serta harakat) sementara Ilmu Sharaf fokus untuk mempelajari berbagai perubahan bentuk kata ke bentuk yang lainnya. Baik perubahan harakat (Nahwu) atau perubahan bentuk kata (sharaf) sama-sama mempengaruhi terhadap perubahan makna.

 

Tidak hanya bentuk kata yang berubah menjadikan makna yang berbeda, satu kata dalam satu bentuk bisa memiliki makna yang berbeda yang diketahui dengan ilmu sharaf. Semisal kata “wajada” itu merupakan kalimat yang mubham (samar) jika kita mentashrifnya maka baru akan menjadi jelas maksudnya dengan mengetahui mashdarnya. Lafadz tersebut sama-sama dibaca “wajada” namun jika mashdarnya berupa “wijdan” maka artinya tergelincir, jatuh dari kendaraan, atau jika mashdarnya berupa “wujudan” maka artinya menemukan, atau jika mashdarnya berupa “mawjidatan” maka artinya marah, jika mashdarnya berupa “wujdan” maka artinya kaya atau jika mashdarnya berupa “wajdan” maka artinya cinta. [Al-Isra’ilyyat wal Mawdlu’at fi kutubit tafsir]

 

Ada orang yang berpendapat bahwa mempelajari ilmu sharaf itu tidaklah penting karena kita cukup menukil kalimat-kalimat dari orang arab tanpa menambah atau menguranginya. Statement seperti ini tampaknya benar jika kalimat tersebut digunakan tanpa ada perubahan bentuk sama sekali, namun jika seseorang ingin mengubah kalimat tersebut dalam bentuk tashgir misalnya, atau bentuk jamak atau nisbah maka di sini diperlukan ilmu sharaf. Apa saja huruf ashal dari kalimat tadi, huruf tambahannya apa saja dan adakah huruf yang dibuang atau diganti dari kalimat tadi. Sebut satu misal, tanyakan kepada ahli nahwu yang taka mengerti sharaf bagaimana bentuk tashgir dari kata “idltiraab”?.

 

Dalam teori nahwu, jika ada kalimat yang terdiri dari lima huruf dan ada huruf tambahannya seperti kata “munthaliqun” maka ketika membuat bentuk tashgir, huruf tambahannya harus dibuang.  Huruf tambahannya adalah mim dan nun, hanya saja huruf mim merupakan huruf tambahan yang mendatangkan makna sehingga yang dibuang hanya huruf nun saja. Maka bentuk tashgirnya sesuai kaidah adalah “Muthayliqun”.

 

Dengan teori seperti ini maka ahli nahwu mengatakan bahwa huruf tambahan [ada kata “idltiraab” adalah alif saja, maka alif saja yang dibuang sehingga dalam bentuk tashgirnya menjadi “dluthayribun”.  Sang ahli nahwu lupa bahwa pada kata “idltiraab” terdapat huruf yang diganti yaitu huruf dlad yang aslinya adalah huruf ta’ maka semestinya dalam bentuk tashgir huruf gantian dikembalikan ke huruf asalnya yaitu ta’ sehingga tashgirnya menjadi “Dlutayribun”.

 

Maka Ibnul Atsir al-Katib berkata :

فَإِنَّ هَذَا لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا التَّصْرِيْفِيُّ

 

 

Maka sesungguhnya hal ini tidaklah diketahui kecuali oleh ahli ilmu sharaf. [Al-Mataslus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]

 

Az-Zamakhsyari berkata : termasuk contoh bid’ah (kekeliruan) dalam tafsir adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat :

يَوْمَ نَدْعُواْ كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

artinya adalah : “Hari dimana kami memanggil setiap orang dengan nama ibunya bukan dengan nama ayahnya”.

Karena kata “Imam” pada ayat tersebut merupakan bentuk jamak

dari kata “umm” (ibu).

 

Beliau berkata :

وَهَذَا غَلَطٌ أَوْجَبَهُ جَهْلُهُ بِالتَّصْرِيْفِ، فَإِنَّ "أُمَاً" لَا تُجْمَعُ عَلَى إِمَامٍ".

Ini adalah kesalahan yang disebabkan oleh kejahilannya akan ilmu sharaf karena lafadz “Umm” tidak dijamakkan dengan lafadz “Imam” (namun jamaknya dalaha lafadz “ummahat”). [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]

 

Dalam bacaan Al-qur’an (qira’at), Abu ustman al-Mazani menyalahkan satu bacaan dalam qira’at Imam Nafi’ bin Abi nu’aim yang beliau merupakan kategori imam qira’ah sab’ah dimana imam nafi’ membaca kata”Ma’ayis” dengan kata “Ma’aais”. Hal ini dikarenakan kata”Ma’ayis” tidak boleh ya’nya diganti dengan hamzah menurup ijma’ para ulama bahasa Arab karena ya’ dalam kalimat tersebut bukan gantian dari hamzah. [Al-Matsalus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]

 

Ilmu sharaf juga mewarnai pemahaman dalam hadits. Saya kemukakan hadits talqin sebagaimana hadits utama di atas. Kata “Mawta” dalam hadits tersebut diartikan sebagai “muhtadlar” yakni orang yang hendak meninggal dengan merujuk kepada bentuk mufrad “mayyitun” yang bermakna demikian. Hal ini sebagaimana pendapat mayoritas ulama yang mengartikan hadits tersebut sebagai anjuran talqin (menuntun kalimat tahlil) kepada orang yang hendak meninggal. Dan bisa juga kata “Mawta” tersebut diartikan sebagai orang yang sudah meninggal atau dikubur dengan merujuk kepada bentuk mufrad “maytun”. Hal ini lazim disebut “talqin ba’dad dafn” sebab kata “mawta” merupakan jamak dari mufrad “mayyitun” dan bisa juga dari mufrad “maytun” sebagaimana dikatakan oleh Abu Amr :

وَتَسْأَلُنِي تَفْسِيْرَ مَيْتِ وَمَيِّتٍ :: فَدُوْنَكَ قَدْ فَسَّرْتُ إِنْ كُنْتَ تَعْقِلُ

فَمَنْ كاَنَ ذَا رُوْحٍ فَذَلِكَ مَيِّتٌ :: وَمَا الْمَيْتُ إِلَّا مَنْ إِلَى الْقَبْرِ يُحْمَلُ

Engkau meminta penjelasan kata “maytun” dan “mayyitun” dan berikut penjelasannya. Orang yang masih memiliki ruh (hampir mati) maka disebut dengan “mayyitun”. Adapun yang disebut “maytun” adalah orang yang dibawa ke kuburan (orang yang sudah hilang ruhnya). [Tafsir An-Nasafi]

Dan wawasan ini bukan hanya teori sharaf namun juga dikatakan oleh para ulama. Zainul Arab berkata :

وَلَا بَأْسَ بِإِطْلَاقِ كِلَيْهِمَا

Kata “mawta” pada hadits talqin boleh diartikan dengan keduanya (Talqin utk orang yang mau meninggal dan talqin di atas kubur). [Mirqatul Mafatih]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk semakin semangat mempelajari ilmu sharaf sebagai dasar pijakan kita dalam memahami perkataan para ulama dalam menafsiri al-Quran dan hadits.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]