Friday, November 1, 2019

DISPENSASI JAMA’ QASHAR




ONE DAY ONE HADITH

Diriwayatkan oleh Umar Bin Khattab RA, Nabi SAW bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
 “…(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah SWT kepadamu, maka terimalah sedekah-Nya”. [HR Muslim]


Catatan Alvers

Suatu ketika, Ya’la bin Umayyah bertanya kepada Umar bin Kaththab RA tentang firman Allah SWT :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.”(QS An Nisa’: 101].
(Apakah kita tetap melakukan shalat dengan cara qashar) sementara kita dalam keadaan damai?. Umar menjawab: Aku dulu heran dan bertanya-tanya sepertimu kemudian aku  bertanya kepada Rasul SAW mengenai hal tersebut (qashar dalam keadaan damai) dan beliau menjawab dengan hadits di atas yaitu : “…(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah SWT kepadamu, maka terimalah sedekah-Nya”. [HR Muslim]


Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
Sungguh Allah senang ketika rukhshahnya (seperti qashar dll) dilaksanakan, sebagaimana Allah senang ketika ibadah azimah (ibadah asal seperti shalat tanpa qashar) dilaksanakan [Baihaqi]

Dan dalam riwayat lainya disebutkan :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
Sungguh Allah senang ketika rukhshahnya dipakai, sebagaimana kebencian Allah jika seorang hamba bermaksiat” [HR Ahmad]

Maka melakukan shalat qashar (Meringkas jumlah raka’at shalat yang empat menjadi dua raka’at) bukanlah tanda kelemahan seseorang ataupun satu perkara yang  makruh (dibenci), Justru sebaliknya Allah menyukai kita untuk mengambil rukhsah (dispensasi) dari-Nya karena Allah menyukai kemudahan untuk kita. Allah SWT berfirman :  
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [QS Al-Baqarah : 185]

Utsman RA pernah shalat bersama kami (‘Abdurrahman bin Yazid) di Mina sebanyak empat raka’at. Hal itu lantas diceritakan pada ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian Ibnu Mas’ud mengucap: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku pernah shalat bersama Rasulullah SAW di Mina sebanyak dua raka’at, bersama Abu Bakar Ash Shiddiq di Mina sebanyak dua raka’at, bersama ‘Umar bin Al Khattab di Mina sebanyak dua raka’at. Lalu ‘Abdullah bin Mas’ud berkata :
فَلَيْتَ حَظِّى مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ مُتَقَبَّلَتَانِ
Andai saja ‘Utsman mengganti empat raka’at menjadi dua raka’at yang diterima.” [HR Bukhari]

Menurut Imam Nawawi, perkataan Ibnu Mas’ud RA tersebut mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan ‘Utsman RA itu menyelisihi amalan Rasulullah, Abu Bakr RA dan ‘Umar RA namun ia masih membolehkan shalat dengan sempurna (tanpa qashar di perjalanan) karena ia pernah shalat di belakang ‘Utsman RA dengan sempurna tanpa qashar (di perjalanan). Seandainya qashar shalat itu wajib dilakukan, tentunya ia tidak akan melakukuannya di belakang siapa pun. [Syarh Shahih Muslim]

Shalat di perjalanan dengan qashar itu diperbolehkan dengan syarat (1). Bepergian yang bukan karena tujuan maksiat (maksiyat bis safar) dan memiliki tujuan yang jelas. (2). Jaraknya jauh (16 farsakh = Kira-kira 80 KM). (3) Tidak bermakmum kepada imam yang melakukan sholatnya dengan  sempurna (4 raka’at). (4). Dilakukan masih dalam perjalanan yaitu setelah melewati batas desanya sampai tiba di tujuan dimana di tujuan tersebut ia berniat tinggal di situ dalam masa sebentar yaitu kurang dari 4 hari 4 malam selain hari datang-pulangnya.

Di samping qashar, musafir juga diperbolehkan untuk melakukan shalat Dzuhur Ashar dengan digabung dalam satu waktu. Jika dikerjakan di waktu yang awal (Dzuhur) maka disebut dengan Jama’ taqdim. Jika dikerjakan di waktu yang kedua (Ashar) maka disebut dengan Jama’ Ta’khir. Demikian pula Maghrib dan isya’.

Adapun syarat jama’ taqdim adalah (1). Mendahulukan shalat yang pertama (dhuhur atau maghrib). (2). Berniat jama’ taqdim pada shalat yang pertama (dhuhur atau maghrib).(3). Dilakukan tanpa jeda waktu yang lama dengan ukuran melakukan 2 reka’at.  Dalam jama’ ta’khir maka musafir haruslah berniat menunda pelaksanaan shalat (jama’ ta’khir) ketika masuknya waktu shalat yang pertama (Dhuhur dan Maghrib). Di sini tidak harus mendahulukan shalat yang awal (Dhuhur dan Maghrib). Jadi boleh tidak berurutan.

Imam Ghazali berkata : “Seorang yang hendak melakukan perjalanan hendaknya menyiapkan bekal, baik bekal dunianya maupun akhiratnya. bekal dunia itu seperti makan, minum dan uang sakunya. Dan bekal akhirat berupa ilmu yang dibutuhkan terkait dengan cara bersuci baik wudlu maupun tayammum, puasa, shalat dan ibadah selama di perjalanan. Karena perjalanan itu terkadang mendatangkan dispensasi seperti Qashar, Jama’, meninggalkan puasa dan terkadang memperberat dengan dibutuhkannya ilmu yang sekiranya tidak dibutuhkan saat dia mukim di rumah seperti ilmu untuk mengetahui kiblat dan waktu-waktu shalat, mengingat kalau di rumah cukup dengan mendengar adzan dan melihat mihrab (pengimaman) masjid”. [Ihya Ulumuddin]


Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati kita untuk terus semangat mencari ilmu sebagai bekal di dunia maupun di akhirat.

Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari Alvers

Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren Lho!

NB.
Hak Cipta berupa Karya Ilmiyah ini dilindungi oleh Allah SWT. Mengubah dan menjiplaknya akan terkena hisab di akhirat kelak. *Silahkan Share tanpa mengedit artikel ini*. Sesungguhnya orang yang copas perkataan orang  lain tanpa menisbatkan kepadanya maka ia adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah tercela [Imam Alhaddad]

0 komentar:

Post a Comment