Tuesday, December 21, 2021

SEGERALAH MENIKAH !

 Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, Rasul SAW bersabda :

يَا عَلِيُّ ثَلَاثٌ لَا تُؤَخِّرْهَا الصَّلَاةُ إِذَا آنَتْ وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدْتَ لَهَا كُفْئًا

Wahai Ali, ada tiga perkara yang jangan kau tunda-tunda pelaksanannya; shalat apabila telah tiba waktunya, jenazah apabila telah datang, dan wanita apabila telah menemukan jodohnya yang sekufu (sepadan). [HR Turmudzi]

 

Catatan Alvers

 

Alkisah, ada seorang pemuda menjomblo. Setiap ada pesta pernikahan, seorang pria lanjut usia bertanya kepada pemuda jomblo tersebut “Kamu kapan nyusul?”. Pertanyaan ini berulang kali disampaikan saat ada temannya menikah sampai ia menjadi kesal dengan pertanyaan ini. Suatu ketika keduanya berjumpa di acara kematian, lalu dengan nada balas dendam sang pemuda berkata kepadanya : “Kamu kapan nyusul?”.

 

Sebenarnya pertanyaan pria lanjut usia itu bukanlah bermaksud meledek pemuda jomblo tadi akan tetapi hal itu lebih ke arah memberi movitasi agar ia segera menikah. Bukankah pernikahan itu tidak baik jika ditunda-tunda?.  Sebagaimana hadits utama di atas, Rasul SAW berpesan kepada Sayyidina Ali KW bahwa ada tiga perkara yang tidak boleh ditunda-tunda, salah satunya adalah menikah jika sudah menemukan jodohnya. Begitu pula Hatim Al-Asham berkata :

اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا فِي خَمْسَةٍ فَإِنَّهَا مِنْ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِطْعَامُ الضَّيْفِ وَتَجْهِيْزُ الْمَيِّتِ وَتَزْوِيْجُ الْبِكْرِ وَقَضَاءُ الدَّيْنِ وَالتَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ

Tergesa-gesa itu perbuatan setan kecuali dalam lima perkara karena itu adalah sunnah Rasul SAW, yaitu memberi suguhan kepada tamu, mengurus jenazah, menikahkan anak gadis, membayar hutang dan taubat dari dosa. [Ihya Ulumuddin]

 

Menunda-nunda pernikahan sedangkan calonnya sudah ada, hal itu akan mendatangkan berbagai resiko. Rasul SAW bersabda :

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

Jika telah datang kepada kalian, seseorang - (yang melamar putri kalian) - yang kalian ridhoi akhlaknya dan agamanya maka nikahkanlah. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas. [HR Ibnu Majah]

 

Jika sang anak melakukan maksiat akibat pernikahannya ditunda-tunda, maka dosanya akan ditanggung oleh orangtuanya. Rasul SAW bersabda :

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَلْيُحْسِنْ اِسْمَهُ وَأَدَبَهُ فَإِذَا بَلَغَ فَلْيُزَوِّجْهُ فَإِنْ بَلَغَ وَلَمْ يُزَوِّجْهُ فَأَصَابَ إِثْمًا فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى أَبِيْهِ

Barang siapa yang dikarunia anak maka hendaklah ia membaguskan nama dan adabnya. Jika anaknya sudah baligh maka nikahkahkah. Jika anak sudah baligh namun orangtuanya tidak juga menikahkannya lalu ia melakukan dosa maka dosanya akan ditanggung oleh orangtuanya. [HR Baihaqi]

 

Rasul SAW menyuruh para pemuda jomblo agar segera menikah. Beliau bersabda :

يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu “ba’ah” (berkeluarga) hendaknya ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya ia berpuasa, sebab puasa dapat mengendalikan dirinya." [HR Bukhari]

 

Menurut Imam Nawawi, kata “Ba’ah” dalam hadits tersebut diartikan sebagai biaya pernikahan. Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa makna asal dari “Ba’ah” adalah jimak namun selanjutnya “Ba’ah” tersebut tetap dimaknai sebagai biaya pernikahan. Mengapa demikian? karena ada lanjutan hadits “Barangsiapa belum mampu “ba’ah” hendaknya ia berpuasa, sebab puasa dapat mengendalikan dirinya.” Bukankah orang yang tidak mampu melakukan “Ba’ah” (dalam artian jimak), ia tidak perlu berpuasa karena tidak ada yang perlu dikhawatiran. Maka dari itu maksud hadits di atas adalah orang yang mampu jimak namun ia belum memiliki biaya nikah. Orang seperti inilah yang dianjukan untuk berpuasa agar ia dapat mengendalikan syahwatnya. [Fathul Bari]

 

Menikah itu juga bisa menambah keimanan. Rasul SAW bersabda :

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ اْلإِيْمَانِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلبَاقِى

Barangsiapa kawin (beristeri), maka dia menyempurnakan separuh iman, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya [HR Thabrani]

 

Bahkan menikah itu bisa menyempurnakan ibadah. Ibnu Abbas RA berkata :

لَا يَتِمُّ نُسُكُ النَّاسِكِ حَتَّى يَتَزَوَّجَ

Tidaklah sempurna ibadah seseorang ahli ibadah sehingga ia menikah. [Ihya Ulumuddin]

 

Dengan demikian, seorang pemuda jomblo yang menyegerakan diri untuk menikah atau duda yang sudah lanjut usia namun tetap menikah lagi, hal itu bukanlah perbuatan tercela. Ibnu Mas’ud RA berkata :

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنْ عُمْرِي إِلَّا عَشْرَةُ أَيَّامٍ لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَتَزَوَّجَ لِكَيْلَا أَلْقَى اللهَ عَزَباً

Seandainya umurku tersisa sepuluh hari saja maka aku tetap ingin menikah supaya ketika bertemu Allah (wafat), aku tidak dalam keadaan jomblo. [Ihya Ulumuddin]

 

Muadz bin Jabal RA memiliki dua orang istri yang wafat tertimpa pandemi (tha’un) saat itu, iapun juga sedang menderita wabah yang sama (tha’un). Ia berkata :

زَوِّجُونِي فَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ أَلْقَى اللهَ عَزَبًا

Nikahkanlah aku karena aku tidak ingin bertemu dengan Allah (wafat) dalam keadaan jomblo. [Ihya Ulumuddin]

 

Imam Ahmad, beliau menikah lagi pada hari kedua pasca istrinya wafat (yaitu ibu dari Abdillah) dan beliau berkata :

أَكْرَهُ أَنْ أَبِيْتَ عَزَبًا

Aku membenci malam hari dalam keadaan aku menduda (tidak beristri). [Ihya Ulumuddin]

 

Dikisahkan ada seorang shalih yang selalu menolak setiap kali ia ditawari menikah, sampai pada satu hari ia terbangun dari tidurnya dan ia berteriak teriak “Nikahkan aku, nikahkan aku” maka orang-orangpun segera menikahkanya. Ketika ditanya alasannya, ia berkata “Semoga Allah memberikanku anak yang akan menjadi pendahuluku di akhirat”. Ia lanjut menjelaskan mimpinya, “Aku bermimpi kiamat dan saat itu aku berada di tengah-tengah manusia dalam keadaan sangat haus sekali bahkan hampir-hampir membuat tenggorokanku putus karenanya. Saat manusia dalam keadaan demikian, aku melihat sejumlah anak-anak yang menyela-nyelahi kerumunan manusia dengan membawa sapu tangan dari cahaya, di tangan mereka terdapat teko yang terbuat dari perak dan gelas dari emas. Mereka memberi minum satu persatu dari kerumunan manusia. Ketika mereka berada di dekatku, akupun meminta namun mereka tidak memberikannya kepadaku. Mereka mengemukakan alasannya  “Kamu tidak memiliki anak diantara kami sedangkan kami hanya memberi minuman kepada bapak-bapak kami”. Orang sholih itu bertanya “Siapakah kalian ini?” Mereka menjawab :

نَحْنُ مَنْ مَاتَ مِنْ أَطْفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ

“Kami adalah anak-anak kecil yang meninggal dari kalangan kaum muslimin”. [Ihya Ulumuddin]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu bertindak dan menilai satu tindakan dengan syari’ah bukan dengan perasaan ataupun tradisi jika bertentangan dengan tuntunan dan ajaran Nabi SAW.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]


DAPATKAN BUKUNYA

BISA KIRIM KE SULURUH DUNIA

HUBUNGI ANNUR 2 STORE 

+62-858 5895 9765




 

0 komentar:

Post a Comment