إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Sunday, March 9, 2025

TUNTUTAN DI AKHIRAT

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنْ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

“Sesungguhnya besok pada hari kiamat semua hak akan dikembalikan kepada pemiliknya, sehingga kambing yang tak bertanduk diberi kesempatan untuk membalas kambing yang bertanduk. [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Setiap perbuatan kita di dunia akan dicatat secara detail, tak ada yang terlewatkan sekecil apapun perbuatan itu. Lalu di akhirat kelak didatangkanlah balasan dari setiap amalan tersebut. Allah SWT berfirman : “Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata” :

يَٰوَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلْكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحْصَىٰهَا

"Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya..” [QS al-kahfi : 49]

 

Syeikh Nawawi Al-Bantani berkata : Allah Ta’ala akan mengumpulkan hewan ternak dan burung-burung  pada hari kiamat dengan murni kehendak dan tuntutan ketuhanan.

Diriwayatkan bahwa “Besok pada hari kiamat semua hak akan dikembalikan kepada pemiliknya, sehingga kambing yang tak bertanduk diberi kesempatan untuk membalas kambing yang bertanduk”. Para Mufassir berkata : Allah SWT setelah memberikan pembalasan kepada binantang-binatang tersebut lalu menjadikannya sebagai debu. Dan saat melihat hal itu, orang-orang kafir berkata :

يَالَيْتَنِى كُنتُ تُراباً

Aduhai seandainya aku menjadi debu. [QS An-Naba : 4] [Marahu Labid]

 

Maka dari itu hendaklah kita meminta maaf atas setiap kesalahan kepada orang lain sebelum ajal kita tiba dan kesalahan itu dicatat dalam catatan amal kita. Rasul SAW bersabda : “Barang siapa yang mendzalimi saudaranya pada kehormatan atau sesuatu (dari hartanya) maka hendaknya ia meminta maaf kepadanya hari ini, Sebelum tibanya hari dimana tidak ada lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka amal itu akan diambil sesuai kadar kedzalimannya”.

وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Bila ia tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudian dibebankan kepadanya”. [HR Bukhari]

 

Jangan sampai kita menjadi orang yang punya banyak pahala namun pahalanya ludes karena dibarter dengan setiap kesalahannya kepada orang lain dan akhirnya menjadi orang yang bangkrut. Dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ

“Tahukah Kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu?”

Para sahabat menjawab :

الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ

“Di kalangan kami, muflis itu adalah seorang yang tidak mempunyai dirham dan harta benda”.

 

Nabi bersabda : “Muflis di antara umatku itu ialah seseorang yang kelak di Hari Kiamat datang dengan membawa pahala ibadah shalatnya, ibadah puasanya dan ibadah zakatnya. Di samping itu dia juga membawa dosa berupa makian pada orang ini, menuduh yang ini, menumpahkan darah yang ini serta menyiksa yang ini. Lalu diberikanlah pada yang ini sebagian pahala kebaikannya, juga pada yang lain.”

فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Sewaktu kebaikannya sudah habis padahal dosa belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dihempaskan ke dalam neraka”. [HR Muslim]

 

Rasul SAW sendiri memberikan contoh bagaimana terbebas dari tuntutan orang lain di akhirat, beliau memberkan kesempatan kepada orang lain untuk membalasnya jika ia tidak merelakan dan memaafkan. Suatu ketika Rasul SAW meluruskan barisan tentara kaum muslimin. Dan saat itulah terjadi kejadian yang mengherankan. Beliau meluruskan barisan dengan tongkat.

 

Terdapat seseorang bernama Sawad bin Ghaziyah yang agak maju dari barisan sehingga beliau memukul perutnya dengan tongkat sambil berkata : luruskan wahai sawad. Sawad berkata : Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku maka berilah kesempatan keapdaku untuk membalasnya. Rasulpun mempersilahkan sambil membuka perut beliau untuk dipukul. Sawad langsung merangkul Rasul dan mencium perutnya. Rasulpun bertanya : kenapa kau berbuat demikian? Sawad menjawab :

يا رسول الله، قَدْ حَضَرَ مَا تَرَى، فَأَرَدْتُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ الْعَهْدِ بِكَ أَنْ يَمَسَّ جِلْدِي جِلْدَكَ

Wahai Rasul, telah terjadi apa yang kau lihat, dan aku ingin keadaan terakhirku denganmu adalah kulitku dapat menyentuh kulitmu. Lalu Rasul Saw mendoakan kebaikan kepadanya. [Ar-Rahiqul Makhtum]

 

Kisah tersebut mirip dengan kisah yang populer yang terjadi pada Ukasyah, namun hadits mengenai Ukasyah yang terdapat dalam Al-Mu’jam al-Kabir tersebut dinyatakan oleh Ibnul Jawzi sebagai hadits palsu di dalam kitab al-Mawdlu’at sehingga tidak boleh diriwayatkan.

 

Namun ketika kita sudah berusaha membebaskan diri dari hak orang lain akan tetapi karena ada satu halangan yang membuat terlewatkan maka semoga hadits berikut menjadi pelipur lara dan kenyataan baik. Sahabat Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Rasul SAW sedang berkumpul dengan para sahabatnya.  Tiba-tiba Rasul SAW tertawa ringan sampai terlihat gigi depannya. Lantas Sayyidina Umar RA, bertanya :

يَا رَسُوْلَ اللهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي مَا الَّذِي أَضْحَكَكَ؟

"Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah ? "

 

Rasul SAW menjawab : Ada dua orang yang duduk bersimpuh di hadapan Allah SWT. Orang pertama mengadu kepada Allah sambil berkata :" Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat zalim kepadaku. Allah berfirman : Berikanlah pahalamu kepadanya. Orang kedua menjawab : Ya Rabb, sudah habis pahalaku tak tersisa sedikitpun. Allah SWT berfirman : Bagaimana mungkin Aku mengambil kebaikan saudaramu ini, karena sudah tidak tersisa pahala kebaikan di dalam dirinya sama sekali. Orang pertama berkata :" Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya. "Sampai di sini, Rasul SAW menangis. Rasul bersabda :

إِنَّ ذاَكَ الْيَوْمَ عَظِيْمٌ يَحْتَاجُ النَّاسُ أَنْ يُحْمَلَ عَنْهُمْ مِنْ أَوْزَارِهِمْ

"Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosanya”.

Lalu Allah SWT berfirman kepada orang yang mengadu tadi :" Sekarang angkat pandanganmu! Dan lihatlah ke surga, lalu ia berkata :" Ya Rabb, aku melihat ada kota yang terbuat dari perak dan istana-istana yang terbuat dari emas, yang dihiasi dengan intan berlian! Milik Nabi siapakah itu? Ataukah shiddiq atau Syuhada?”. Allah SWT berfirman :" Istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya”. Orang itu berkata :" Siapakah yang mampu membayar harganya, ya Rabb ?" Allah SWT berfirman : "Engkaupun mampu membayar harganya dengan cara engkau maafkan saudaramu itu”. Orang itu berkata : "Ya Rabb, sungguh aku memaafkannya”. Allah SWT berfirman :

خُذْ بِيَدِ أَخِيْكَ فَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ.

"Kalau begitu, gandeng tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk Surga! [HR Al-Hakim] [Ihya]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan pikiran kita agar senantiasa membebaskan diri dari hak orang lain baik dari harta maupun dalam harga dirinya.

 

Salam Satu Hadits,

Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WhatsApp Center :  0858-2222-1979

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Thursday, March 6, 2025

LEBIH DAHULU MEMAAFKAN

 

ONE DAY ONE HADITH


Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda:

وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا 

“Tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba karena memaafkan kecuali menambah kemuliaan untuknya” [HR. Muslim]


Catatan Alvers


Rasul SAW memberikan teladan untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakiti beliau. Ketika beliau berada di thaif, beliau disoraki, diusir bahkan dilempari batu hingga kaki beliau berdarah. Namun tatkala malaikat gunung menawarkan untuk membalas dendam dengan melempari gunung-gunung ke arah penduduk thaif maka Rasul SAW bersabda : 


بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Tidak, Aku mengharap agar Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka generasi yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan apapun. [HR Bukhari]


Memaafkan juga merupakan perlaku nabi-nabi terdahulu. Abdullah Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW menceritakan salah seorang diantara Nabi-nabi terdahulu, ia dipukuli kaumnya hingga berdarah dan ia mengusap darah dari wajahnya sambil berkata : 

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu. [HR Bukhari]


Maka memberi maaf adalah perilaku yang mulia hingga Nabi SAW bersabda pada hadits utama : “Tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba karena memaafkan kecuali menambah kemuliaan untuknya” [HR. Muslim]. Maka maafkanlah! Meskipun kita belum bisa melupakan kesalahannya. Yakinlah waktu akan menghapus jejaknya. Namun jika belum memaafkannya maka jangan harap kita bisa melupakan satu kesalahan selamanya. 


Rasul SAW memaafkan wahsy, si pembunuh paman beliau ; Hamzah, meskipun beliau tidak bisa melupakan kisah pilu kematian paman beliau. Ketika Rasul SAW bertemu dengan Wahsy, dalam keadaan ia sudah masuk Islam dan beliau memaafkannya maka Rasul SAW bertanya apakah benar engkau adalah Wahsy? Wahsy menjawab : iya benar. Rasul SAW lalu bersabda :

فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ وَجْهَكَ عَنِّي

“Bisakah kau menjauhkan mukamu dari pandanganku?” [HR Bukhari]


Berilah maaf kepada orang lain karena kitapun juga pasti memiliki kesalahan kepada orang lain. Rasul SAW mengecam mereka yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Rasul SAW bersabda :

مَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ بِمَعْذِرَةٍ فَلَمْ يَقْبَلْهَا كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ خَطِيئَةِ صَاحِبِ مَكْسٍ

Barang siapa meminta maaf kepada saudaranya dengan satu permintaan maaf namun ia tidak menerima permintaan maafnya maka ia akan mendapat dosa seperti dosanya penarik pungli (pungutan liar). [HR Ibnu Majah]


Tidak hanya memaafkan setelah dimintai maaf, Rasul SAW juga menganjurkan kita memaafkan sebelum diminta bahkan sebelum kesalahan itu terjadi. Anas bin Malik RA berkata : Rasul SAW sering melontarkan statement ini : 

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ مِثْلَ أَبِي ضَمْضَمٍ

“Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu berbuat seperti yang dilakukan Abu Dlamdlam?”

Para sabahat bertanya: siapakah Abu Dlamdlam itu?” Nabi SAW menjawab : Ia adalah lelaki yang hidup pada zaman sebelum kita. Di pagi hari ia berkata : 

اللهم إِنِّي أَتَصَدَّقُ الْيَوْمَ بِعِرْضِي عَلَى مَنْ ظَلَمَنِي

“Ya Allah, hari ini Aku bersedekah dengan harga diriku (kehormatanku) kepada orang yang mendzalimiku”. [HR Baihaqi]


Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksudnya adalah ia tidak akan menuntut segala kedzaliman yang dilakukan oleh orang lain terhadapnya. [Al-Adzkar] dan Al-Jasshah berkata : Abu dlamdlam menjadikan bersabar atas perlaku jelek orang lain kepadanya sebagai sedekah dengan harga dirinya kepada mereka. [Ahkamul Qur’an]


Di zaman Rasul SAW, ada seorang sahabat yang memiliki perilaku memaafkan seperti Abu dlamdlam di zaman dahulu, dia adalah Ulbah bin Zaid Al-Haritsi. Abu Nuaim Al-Asbihani meriwayatkan bahwa Ketika Rasul SAW memotivasi orang-orang saat itu untuk mengeluarkan zakat (sedekah) maka Ulbah berkata : “Ya Allah, aku tidak memiliki apa-apa untuk aku sedekahkan. Aku hanya memiliki kayu penopang wadah air dari kulit dan bantal yang berisi rumput kering”. Lalu ia berkata :

اللهم إِنِّي أَتَصَدَّقُ بِعِرْضِي عَلَى مَنْ نَالَهُ مِنَ النَّاسِ

“Ya Allah, sesunguhnya Aku bersedekah dengan harga diriku kepada setiap orang yang mencaci-maki Aku”. 

Di pagi harinya, Rasul SAW menyuruh orang untuk mengumumkan “Manakah orang yang tadi malam bersedekah dengan harga dirinya?” namun semua orang terdiam, sehingga pengumuman tersebut diulangi hingga tiga kali dan barulah Ulbahpun menjawab. Ketika Nabi melihat kepada Ulbah, maka beliau bersabda : 

أَلَا إِنَّ اللهَ قَدْ قَبِلَ صَدَقَتَكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu wahai Abu Muhammad (Ulbah)” [Ma’rifatus Shahabah] 

dan kisah yang sama diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dengan tanpa menyebut nama secara spesifik.


Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan pikiran kita agar memaafkan kesalahan orang lain, apakah orang yang bersalah itu meminta maaf kepada kita ataukah tidak. Bahkan kita memaafkan sebelum kejadian dengan berharap Allah akan memaafkan kesalahan kita. 


Salam Satu Hadits,

Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag


Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WhatsApp Center :  0858-2222-1979


NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]


Wednesday, March 5, 2025

MELEBUR DOSA GHIBAH


ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ

“Barang siapa yang mendzalimi saudaranya pada kehormatan atau sesuatu (dari hartanya) maka hendaknya ia meminta maaf kepadanya hari ini. .” [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Apakah Anda pernah mendengar lagu ini? “Menggunjing itu sarang dosa, Mengganggu orang itu sarang dosa, Mencaci orang itu sarang dosa, Memfitnah orang itu sarang dosa, Dosa, dosa, dosa, dosa, dosa... Semua menuju jalan ke neraka, Berbahaya bagi manusia, Hapuslah dengan amal ibadah, Agar bersih dari noda dan dosa”... Ya, ini adalah lagu jadoel yang dinyanyikan oleh grup El-Hawa tahun 1984, namun kembali populer karena banyak dipakai backsound di berbagai platform medsos. Meskipun jadoel namun lagu ini berisi nasehat yang mengena untuk orang di zaman sekarang agar tidak suka nge-ghibah.

 

Ghibah itu menyebutkan kejelekan orang lain, meskipun kekurangan tersebut bersifat hal kecil dan remeh. Ada seorang wanita menyebutkan wanita lain bajunya kepanjangan maka seketika itu Sayyidah Aisyah berkata :

قَدِ اغْتَبْتِيهَا فَاسْتَحِلِّيهَا

Sungguh engkau telah meng-ghibahinya maka mintalah maaf kepadanya. [Ihya Ulumuddin]

 

Supaya terhindar dari ghibah, Imam Nawawi memberikan nasehat : “Sebaiknya setiap orang menahan mulutnya dari perkataan kecuali jika benar-benar ada maslahatnya. Jika berbicara dan diam itu nilainya sama maka sunnahnya diam, karena dikhawatirkan perkataan yang mubah akan menariknya kepada perkataan yang haram atau makruh. Itulah kebanyakan yang terjadi dan selamat dari dosa tidak bisa disejajarkan dengan apapun”. [Riyadus Shalihin]

 

Ketika Nabi SAW mi’raj, beliau melihat orang-orang yang memiliki kuku dari besi tembaga mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka sendiri dengan kuku-kukunya. Beliau bertanya siapakah mereka? Maka Jibril menjawab :

هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ

Mereka itu adalah orang yang makan daging manusia (ghibah) dan merendahkan harga diri orang lain. [HR Abu dawud]

 

Mengenai status dosa ghibah, Imam Qurtubi berkata :

لاَ خِلَافَ أَنَّ الْغِيْبَةَ مِنَ الْكَبَائِرِ ، وَأَنَّ مَنِ اغْتَابَ أَحَداً عَلَيْهِ أَنْ يَتُوْبَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Tidak ada perbedaan pendapat bahwasannya ghibah adalah termasuk dosa besar dan pelakunya wajib bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. [Al-Jami’ Li Ahkamil Quran]

 

“Lha kalo sudah terlanjur gimana?  Bagaimana cara bertaubat dari dosa ghibah? Apakah harus minta maaf kepada orangnya?” itu pertanyaan yang sering terlontar mengenai masalah ghibah. Menjawab hal ini maka kami kemukakan beberapa pendapat dari pada ulama mengenai apakah perlu minta maaf kepada orangnya ataukah tidak.

 

Pertama, tidak wajib meminta maaf kepada orang yang dighibahi akan tetapi cukuplah ia memohon ampunan kepada Allah. Al-Hasan Al-Bashri berkata :

يَكْفِيْهِ الْاِسْتِغْفَارُ دُوْنَ الْاِسْتِحْلَالِ

Cukup baginya istighfar (memohon ampunan kepada Allah untuk dirinya dan orang yang dighibahi) tanpa wajib meminta maaf kepadanya. [Ihya]

Hal ini sesuai dengan hadits :

كَفَّارَةُ مَنْ اِغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ

Pelebur dosamu atas orang yang telah kau ghibahi adalah engkau memohonkan ampunan untuknya (kepada Allah). [Bulughul Maram]

 

Mujahid berkata : Pelebur dosa dari makan bangkai saudaramu (ghibah) adalah agar engkau memujinya dan mendoakan kebaikan untuknya. [Ihya]

 

Imam Ghazali berkata : Tidak diwajibkan “Tachlil” (meminta maaf kepada orang yang dighibahi) karena hal itu merupakan perbuatan sukarela dan perbuatan sukarela itu bersifat keutamaan bukan kewajiban namun demikian dianggap sebagai perbuatan baik. [Ihya]

 

Pertimbangan lainnya adalah meminta maaf kepada orang yang dighibahi akan mendatangkan kesedihan baru baginya dan menambah sakit hatinya bahkan akan menimbulkan permusuhan diantara keduanya. Maka dari itu, Syeikh Abdul Qadir berkata :

يَحْرُمُ عَلَى الْقَاذِفِ وَنَحْوِهِ إِعْلَامُ مَقْذُوْفٍ وَمُغْتَابٍ وَنَحْوِهِ

Orang yang menuduh zina dan semisalnya diharamkan untuk memberitahukan kepada orang yang dituduh atau orang yang dighibahi dan semisalnya (bahwa ia telah melakukan tuduhan atau ghibah kepadanya). [Mathalib Ulin Nuha]

 

Kedua, wajib meminta maaf kepada orang yang dighibahi. Ketika ditanya mengenai cara bertaubat dari dosa ghibah, Atha’ bin Abi Rabah menjawab : “Hendaklah engkau pergi ke saudaramu lalu katakan Aku telah berkata bohong mengenai dirimu, aku telah berbuat dzalim kepadamu, aku telah berbuat kejelekan kepadamu, Jika kau mau maka silahkan tuntutlah aku dan jika kau mau maka maafkanlah aku”. [Ihya]

 

Ini sesuai dengan hadits utama di atas, “Barang siapa yang mendzalimi saudaranya pada kehormatan (misalnya dengan ghibah) atau sesuatu (dari hartanya) maka hendaknya ia meminta maaf kepadanya hari ini. .” [HR Bukhari] dalam lanjutan hadits disebutkan :

قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Sebelum tibanya hari dimana tidak ada lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka amal itu akan diambil sesuai kadar kedzalimannya. Bila ia tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudian dibebankan kepadanya. [HR Bukhari]

 

Di sisi lain hendaknya seseorang memberikan maaf kepada orang yang meminta maaf kepadanya. Al-Hasan bin Ali RA berkata :

لَوْ أَنَّ رَجُلًا شَتَمَنِي فِي أُذُنِي هَذِهِ وَاعْتَذَرَ إِلَيَّ فِي أُذُنِي الْأُخْرَى لَقَبِلْتُ عُذْرَهُ

Seandainya ada orang mengumpat kepadaku di satu telingaku ini lalu ia meminta maaf di telingaku yang lain maka aku akan memaafkannya. [Al-Adab As-Syar’iyyah]

 

Bahkan Imam Syafii berkata :

مَنِ اسْتُرضِيَ فَلَمْ يَرْضَ فَهُوَ شَيْطَانٌ

Barang siapa dimintai maaf namun ia tidak memaafkan maka ia dalah setan. [Al-Adzkar]

 

Lantas bagaimana kalau orangnya tidak memaafkan? Imam Ghazali berkata : “Cara meminta maaf bagi pelaku ghibah adalah hendaknya ia bersungguh-sungguh memuji orang yang dighibahi dan berusaha agar ia senang kepada pelaku. Teruslah berbuat demikian sampai hatinya menerima permintaan maaf pelaku. Namun jika hatinya tidak juga memaafkan maka permintaan maaf pelaku dan perbuatan baiknya tersebut akan menjadi pahala yang setimpal untuk dibarter dengan dosa ghibahnya di hari kiamat”. [Ihya]

 

Bagaimana jika meminta maaf tidak bisa dilakukan?, apakah solusinya? Imam Ghazali berkata :

فَإِنْ كَانَ غاَئِباً أَوْ مَيْتاً فَيَنْبَغِي أَنْ يُكْثِرَ لَهُ الْاِسْتِغْفَارَ وَالدُّعَاءَ وَيُكْثِرَ مِنَ الْحَسَنَاتِ

Jika orang yang dighibahi tidak diketemukan keberadaannya atau telah wafat maka hendaknya memperbanyak istighfar dan doa kebaikan untuknya dan juga memperbanyak amal kebaikan. [Ihya]

 

Ketiga, Tafshil, diperinci. Syeikh Al-Murtadla Az-Zabidi berpendapat jika omongan ghibah tidak sampai ke telinga orang yang dighibahi maka tidak diwajibkan meminta maaf. Namun Jika sudah sampai ke telinganya maka haruslah minta maaf. Itupun berlaku jika meminta maaf tidak menimbulkan hal negatif lainnya. Terkadang bagi sebagian orang, menjelaskan omongan ghibah kepada yang bersangkutan itu akan lebih menyakitkan daripada ghibahnya itu sendiri. Jika demikian adanya, maka tidak diperlukan minta maaf. [Ithafus Sadatil Muttaqin]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan pikiran kita agar menjauhi ghibah dan melebur dosa ghibah yang terlanjur dilakukan di masa lampau dengan banyak istighfar dan banyak mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang pernah kita ghibahi serta mengganti dengan pujian kepadanya.

 

Salam Satu Hadits,

Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WhatsApp Center :  0858-2222-1979

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]


Link Youtube :

https://youtu.be/COoszeeEQzs?si=uiUIGguBZFiBw45h


 


Monday, March 3, 2025

JEDDAH, MIQAT BARU?

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata :

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ

“Sesungguhnya Nabi SAW telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah yaitu Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam yaitu Juhfah, bagi penduduk Najed yaitu Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman yaitu Yalamlam. [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

Ibnu Abbas RA berkata : Ketika Nabi Ibrahim AS selesai membangun baitullah (Ka’bah) maka diperintahkanlah kepadanya agar menyerukan manusia untuk berhaji ke baitullah. Nabi Ibrahim AS berkata : wahai tuhanku, suaraku tidak sampai kepada semua manusia. Allah SWT menjawab : Panggillah dan aku yang akan menyampaikan (seruanmu kepada mereka). Maka Nabi Ibrahim AS berseru : “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan haji ke baitullah atas kalian semua.” Lalu seruan itu didengar oleh semua makhluk yang ada di antara langit dan bumi. Maka kalian tidak melihat bahwasannya manusia berdatangan dari belahan bumi yang sangat jauh untuk memenuhi panggilannya. [Fathul Bari] Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :

يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. [QS Al-Hajj : 27]

Setiap orang yang datang dari berbagai penjuru dunia yang hendak berhaji atau berumroh, maka mereka wajib berihram sebelum mereka sampai di tanah suci. Mengenai tempat-tempat tersebut, ‘Abdullah bin ‘Abbas RA berkata : “Nabi SAW menetapkan miqat untuk penduduk Madinah yaitu Dzul Hulaifah (Bir Aly, 450 KM), penduduk Syam yaitu Juhfah (190 KM), penduduk Nejd yaitu Qarnul Manazil (80 KM) dan penduduk Yaman yaitu Yalamlam (92 KM).” [HR Bukhari]

Lalu ‘Abdullah bin ‘Abbas RA berkata :

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

“Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang berada dalam kawasan miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” [HR Bukhari]

 

Penduduk Mekkah yang hendak berhaji maka miqatnya adalah tempat tinggal mereka masing-masing. Adapun khusus miqat umroh, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :

وَأَمَّا الْمُعْتَمِرُ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى أَدْنَى الْحِلِّ

Adapun orang yang berumrah maka ia wajib keluar menuju tanah halal terdekat. [Fathul Bari] Seperti Tan'im (8 KM), hudaibiyah (25 KM) dan Ji'ranah (29 KM).

 

Hikmah dibedakannya miqat haji dan umrah, adalah keberadaan seluruh akitivitas umrah yang dilaksanakan di tanah haram bahkan terbatas di area Masjidil Haram saja dan sama sekali tidak sampai keluar ke tanah halal, sehingga ia diperintahkan keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, maka aktivitasnya tidak semuanya di tanah haram, namun meluas sampai ke tanah halal yaitu Arafah sehingga ia tidak diharuskan ketika berihram untuk pergi keluar tanah haram.

 

Dan Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :

اَلْأَفْضَلُ فِي كُلِّ مِيْقَاتٍ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ طَرَفِهِ الْأَبْعَدِ مِنْ مَكَّةَ ، فَلَوْ أَحْرَمَ مِنْ طَرَفِهِ الْأَقْرَبِ جَازَ .

Yang paling Afdhal dalam setiap miqat adalah berihram dari tempat yang terjauh dari Mekkah. Jika seseorang berihram dari arah yang dekat maka boleh saja. [Fathul Bari]

 

Di antara miqat-miqat di atas, miqat yang paling jauh jaraknya dari Mekkah adalah Dzul Hulaifah yaitu 450 KM, yaitu miqatnya penduduk madinah. Mengapa demikian? Ibnu Hajar berkata : Ada pendapat mengatakan bahwa hikmahnya adalah memperbesar pahala penduduk Madinah dan ada pula yang berpendapat bahwa hal itu untuk meringankan beban ihram bagi penduduk selain penduduk Madinah karena madinah adalah tempat terdekat ke Mekkah. [Fathul Bari]

 

Setelah kawasan Islam bertambah luas maka diperlukan adanya miqat “baru” sebagaimana Miqat Dzatu Irqi bagi penduduk Iraq yang baru ditetapkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA dengan mengambil garis sejajar dengan Miqat yang ada yaitu Qarnul Manazil. Ibnu Umar juga meriwayatkan miqat-miqat sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbas RA di atas lalu Ibnu Umar berkata : “Telah sampai kepadaku bahwasannya Nabi SAW bersabda : Miqat penduduk Yaman adalah Yalamlam, dan disebutkan pula miqat penduduk Iraq”. Dan Ibnu Umar berkata :

لَمْ يَكُنْ عِرَاقٌ يَوْمَئِذٍ

Saat itu belum ada Iraq. [HR Bukhari]

 

Ibnu Hajar berkata : Maksudnya saat masa Nabi SAW, Negara iraq belum masuk dalam kawasan Islam. Iraq masih dikuasai oleh Raja Kisra Persia. Jadi Penduduk Iraq belum ada yang masuk Islam sehingga Nabi saat itu belum menetapkan miqat bagi penduduk Iraq. [Fathul Bari]

 

Ibnu 'Umar RA berkata: Ketika kedua negeri ini (Bashrah dan Kufah ; Iraq) telah ditaklukan, penduduknya datang menghadap 'Umar lalu mereka berkata: "Wahai Amirul Mukminin, Rasul SAW telah menetapkan batas miqat bagi penduduk Nejd di Qarnul Manazil, dan itu sangat jauh bila dilihat dari jalan kami, dan bila kami ingin menempuh ke sana sangat memberatkan kami". Maka dia ('Umar) berkata:

فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ

"Perhatikanlah batas sejajarnya dari jalan kalian".

Lalu Umar menetapkan miqat mereka (penduduk Iraq) yaitu Dzatu 'Irq (94 KM). [HR Bukhari]

 

Apalagi di zaman sekarang di mana jamaah haji juga tidak hanya berasal dari miqat-miqat di zaman Nabi, melainkan berasal hampir dari seluruh penjuru dunia. Di antaranya dari dataran Asia, Afrika, Amerika, Eropa, dan sudut dunia lainnya.  Di sisi lain, jamaah haji yang datang dari berbagai daerah di seluruh dunia tidak lagi menggunakan jalur darat dan laut tetapi mayoritas menggunakan tranportasi udara. Maka dari itu diperlukan adanya miqat “baru” seperti Jeddah. Namun karena keberadaan Jeddah sebagai miqat “baru” maka jeddah menjadi pro kontra bagi jamaah haji dan umroh asal Indonesia.

 

Pesawat yang digunakan oleh Jamaah haji dan umrah asal Indonesia akan melintasi miqat Yalamlam sebelum mendarat di jeddah sehingga sebagian dari mereka mengambil miqat dari atas udara saat melintasi Yalamlam. Miqat dari atas pesawat akan menimbukan permasalahan keamanan pada pesawat jika para jamaah mengganti kain ihram secara bersamaan dan jika mengenakan pakaian Ihram dari bandara Indonesia maka hal itu tentunya akan mendatangkan masaqqat (kesulitan).

 

Mengamati perkembangan tersebut, Komisi Fatwa MUI pada tahun 1980, 1981 dan 2006 memutuskan bahwa Miqat Makani bagi Jama’ah Haji Indonesia, adalah Bandara Jeddah (King Abdul Aziz) bagi yang langsung ke Makkah dan Bir Ali bagi yang lebih dahulu ke Madinah. Fatwa tersebut tidak berarti menambah miqat baru karena Jarak antara Bandara King Abdul Aziz Jeddah dengan Makkah telah melampaui dua marhalah (80+ Km). Kebolehan berihram dari jarak seperti itu termasuk hal yang telah disepakati oleh para ulama. [mui or id ] Keputusan yang sama juga ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU yang sebelumnya dibahas di Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada tahun 2023. [jabar nu or id]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan pikiran kita agar memahami ajaran Islam sesuai situasi kondisi terkini dan tentunya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Nabi SAW.

 

Salam Satu Hadits,

Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WhatsApp Center :  0858-2222-1979

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]