Monday, November 23, 2020

REFORMASI AKHLAK





ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul bersabda :

أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” [HR Tirmidzi]

 

Catatan Alvers

 

Sengaja saya membuat judul yang berbeda dengan gerakan yang ada yaitu Revolusi mental dan revolusi akhlak supaya artikel ini tidak disalahpahami sebagai dukungan ataupun hujatan kepada salah satu pihak sehingga saya terjebak dalam politik praktis yang sarat dengan emosi dan baper.

 

Di sisi lain, saya tidak menggunakan kata revolusi karena itu identik dengan kekerasan dan pemaksaan meskipun tidak selamanya demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Revolusi didefinisikan sebagai perubahan keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata). Sedangkan Reformasi didefinisikan sebagai perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara [KBBI] Dan inilah yang membedakan keduanya.

 

Sejak 14 Abad yang silam, Rasul SAW sudah membicarakan tentang akhlak bahkan beliau bersabda :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” [HR Al-Baihaqi]

 

Dalam redaksi tersebut menggunakan “Makarimal Akhlaq” dan dalam riwayat lain dikatakan: “Husnal Akhlaq” [HR Malik], “Shalihal Akhlaq” [HR Ahmad] namun dengan makna yang sama meskipun berbeda lafadznya. Lafadz yang sama dalam berbagai riwayat hadits adalah kata “Li Utammima” yang artinya menyempurnakan. Bagaimana bisa Rasul dengan ketinggian Akhlak yang mulia dan di utus ditengah-tengah masyarakat yang disebut jahiliyyah (hidup dalam kebodohan) namun diksi yang digunakan adalah “Li Utammima” (menyempurnakan)? Bukan memakai istilah “Mengenalkan” akhlak yang baik, atau menghapus perilaku jahiliyah, mengganti, dll. Bukankah kata “menyempurnakan” itu akan mengisyaratkan bahwa Nabi SAW menganggap bahwa masih ada perilaku yang baik di kalangan masyarakat jahiliyah sehingga beliau cukup memakai istilah menyempurnakan saja dan dengan demikian menurut saya, kata reformasi lebih mendekati kata “li utammima” (menyempurnakan) daripada revolusi.

 

Diksi Akhlak kami pertahankan karena meskipun identik, kata mental, etika, karakater, budi pekerti, dan akhlak namun berbeda acuannya. Kata akhlak mengacu kepada SAW sebagai uswah (teladan) sedangkan kata yang lainnya merujuk kepada barat, logika, tradisi ataupun budaya setempat.

 

Keteladanan adalah kunci kesuksesan Nabi SAW dalam misi perbaikan akhlak. Allah SWT berfirman:

لَّقَد كَانَ لَكُم فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.... [QS Al-Ahzab : 21]. 

 

Dan Allah SWT juga berfirman :

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak yang agung. [QS Al-Qalam : 4].

 

Maka Reformasi Akhlak, Revolusi mental atau Revolusi akhlak tidak akan berhasil jika tidak disertai contoh akhlak yang terpuji dari para pemimpinnya. Bagaimana bisa berhasil jika para pemimpinnya masih saling mengolok-ngolok misalnya dengan memakai istilah cebong, kampret, kadrun dll.

 

Dalam Islam, Akhlak menjadi barometer sempunanya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits utama di atas “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” [HR Tirmidzi] Bahkan Akhlak mulia akan dapat mengejar derajat orang-orang yang berpuasa dan qiyamul layl. Nabi SAW bersabda :

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang mukmin akan sampai pada kedudukan ahli puasa dan shalat dengan akhlak baiknya.” [HR Abu Dawud]

 

Dalam timbangan amal, Akhlak sangatlah berbobot. Rasul SAW bersabda :

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ

Tak ada sesuatu yang diletakkan pada timbangan amal (mizan) seorang mukmin pada hari kiamat nanti yang lebih berat dari pada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah membenci orang yang “Fahisy” dan “Badzi” [HR Tirmidzi]

 

Al-Mubarakfuri menjelaskan yang dimaksud dengan “Fahisy”  :

الَّذِي يَتَكَلَّمُ بِمَا يُكْرَهُ سَمَاعُهُ أَوْ مَنْ يُرْسِلُ لِسَانَهُ بِمَا لَا يَنْبَغِي

Orang yang berbicara dengan sesuatu yang tidak enak didengar atau orang yang mengumbar lisannya dengan mengatakan sesuatu yang tidak pantas.

 

Sedangkan yang dimaksud dengan “Badzi” adalah :

المُتَكَلِّمُ بِالْفُحْشِ وَرَدِئُ الْكَلَامِ

Orang yang berkata-kata kotor dan orang yang hina perkatannya. [Tuhfatul Ahwadzi]

 

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ada seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan shalat malam, gemar puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah namun ia menyakiti tetangganya dengan ucapannya. (Maka bagaimanakah statusnya dia?)”

Rasulullah SAW menjawab :

لَا خَيْرَ فِيهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

“Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.”

 

Dan ada yang bertanya lagi: “Fulanah (wanita lainnya) mengerjakan shalat wajib, dan bersedekah dengan beberapa kerat keju (sedikit), tapi dia tidak menyakiti seorang pun.”

Rasulullah SAW menjawab :

هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Dia adalah penghuni surga. [Adabul Mufrad]

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk tetap istiqamah dalam ajaran Rasul SAW, baik dalam dalam ibadah maupun muamalah, baik dalam perkataan maupun perbuatan.


Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari Alvers

Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren Lho!

NB.
Hak Cipta berupa Karya Ilmiyah ini dilindungi oleh Allah SWT. Mengubah dan menjiplaknya akan terkena hisab di akhirat kelak. *Silahkan Share tanpa mengedit artikel ini*. Sesungguhnya orang yang copas perkataan orang lain tanpa menisbatkan kepadanya maka ia adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah tercela [Imam Abdullah Alhaddad]



0 komentar:

Post a Comment