إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Wednesday, October 15, 2025

BERPAMITAN KE DUA TANAH SUCI

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasul SAW bersabda :

لَا يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Mekah) hingga akhir amalannya adalah (thawaf) di Ka’bah." [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Dalam peribahasa disebutkan "Datang tampak muka, pulang tampak punggung." Peribahasa ini mencerminkan prinsip moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Peribahasa ini berarti ketika seseorang datang bertamu, ia harus memperlihatkan dirinya secara jelas (tampak muka) dengan “kulonuwun” (meminta ijin), dan ketika pergi ia juga harus berpamitan dengan sopan (tampak punggung).

 

Ternyata hal ini juga berlaku ketika kita bertamu ke rumah Allah, baitullah. Ketika baru datang jamaah disunnakan untuk melakukan “tahiyyat” (penghormatan). Kalau seseorang baru datang ke masjid dianjurkan untuk melakukan shalat tahiyatal masjid namun kalau ia datang ke baitullah maka dianjurkan melakukan thawaf namanya thawaf qudum. Qudum sendiri artinya kedatangan. Al-Ghazzi berkata : Kesunnahan haji ketiga adalah thawaf qudum. Thawaf qudum ini khusus untuk jamaah haji yang masuk ke mekkah sebelum wukuf di arafah.

وَالْمُعْتَمِرُ إِذَا طَافَ الْعُمْرَةَ أَجْزَأَهُ عَنْ طَوَافِ الْقُدُومِ

"adapun jamaah umrah, apabila ia melakukan thawaf umrah, maka itu sudah mencukupinya dari thawaf qudum." [Fathul Qarib]

 

Demikian pula ketika seseorang hendak meninggalkan Mekkah maka ia harus berpamitan dengan melakukan tahwaf wada’. Wada’ sendiri artinya perpisahan. Terdapat perbedaan pendapat didalam hukumnya. Al-Ghazzi berkata : “Kesunnahan haji ketujuh adalah thawaf wada’ ketika hendak keluar dari Mekkah untuk melakukan safar, baik ia seorang haji atau bukan, baik safarnya jauh maupun dekat.” [Fathul Qarib] Lalu beliau melanjutkan keterangannya :

وَما ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنْ سُنِّيَّتِهِ قَوْلٌ مَرْجُوحٌ، لَكِنَّ الْأَظْهَرَ وُجُوبُهُ

Dan pendapat yang disebut oleh mushannif (Abu Syuja’, penulis matan) bahwa thawaf wada’ itu sunnah adalah pendapat yang lemah, sedangkan yang lebih kuat adalah bahwa thawaf wada’ itu wajib." [Fathul Qarib]

 

Imam Nawawi berkata : Dalam hadits (utama di atas ; “La Yanfiranna”) terdapat dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa thawaf wada’ itu wajib, dan jika seseorang tidak melakukannya, maka ia wajib membayar dam (denda). Pendapat ini adalah pendapat yang benar dalam mazhab kami (Syafi‘i), dan juga diikuti oleh mayoritas ulama… Sedangkan Imam Malik, Dawud, dan Ibn al-Mundzir berpendapat bahwa thawaf wada’ adalah sunnah, dan tidak ada kewajiban atau denda jika ditinggalkan. [Al-Minhaj Syarah Muslim]

 

Menegaskan hadits utama di atas, Ibnu Abbas RA berkata :

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ

“Jama’ah diperintahkan (ketika selesai dari ibadah haji/umrah) agar mengakhirinya dengan thawaf di Baitullah, tapi diberi keringanan bagi wanita yang sedang haidh”. [Shahih Bukhari]

 

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : "Dalam perkataan Ibnu Abbas tadi terdapat dalil atas wajibnya thawaf wada’, karena adanya perintah yang ditekankan terhadapnya, dan karena penggunaan lafaz 'keringanan' dalam kasus wanita haid sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan keringanan itu tidaklah diberikan kecuali terhadap sesuatu yang memang bersifat tegas (wajib)." [Fathul Bari]

 

Thawaf wada’ itu berbeda dengan thawaf rukun, Thawaf wada’ dianjurkan untuk berniat thawaf sedangkan pada thawaf rukun sudah tercukupi dengan niat umrah atau haji. Dan juga thawaf wada’ tidak disyaratkan menghindari baju berjahit. Dan ada juga kesamaannya, yaitu selesai thawaf wada’, jama’ah dianjurkan melakukan shalat, bedoa dan meminum air zam-zam. Imam Nawawi berkata :

إِذَا فَرَغَ مِنْ طَوَافِ الوَدَاع صَلى رَكْعَتَي الطَّوَافِ خَلْفَ الْمَقَامِ

Selesai thawaf wada’ disunnahkan untuk sholat dua rekaat thawaf di belakang maqam Ibrahim. [Al-Iydlah]

Lalu jamaah biasanya membaca doa, diantaranya berbunyi :

اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ هَذَ آخِرَ العَهْدِ بِبَيْتِكَ الْحَرَامِ وَ إِنْ جَعَلْتَهُ آخِرَ الْعَهْدِ فَعَوِّضْنِيْ عَنْهُ الْجَنَّةَ

"Ya Allah, janganlah Engkau jadikan ini sebagai akhir kunjunganku ke Baitullah yang mulia. Namun jika Engkau menjadikannya sebagai akhir kunjunganku, maka gantilah ia untukku dengan surga."

Setelah selesai thawaf wada’ maka jamaah harus segera meninggalkan masjidil haram dan bersiap untuk pulang meninggalkan kota mekkah. As-Syarbini berkata : "Jika jamaah berdiam diri setelah thawaf wada‘ tanpa ada kebutuhan, atau karena kebutuhan yang tidak berkaitan dengan safar seperti berziarah, menjenguk orang sakit, atau melunasi hutang, maka ia wajib mengulangi thawaf wada‘nya. Namun jika ia sibuk dengan dua rakaat thawaf, atau dengan persiapan keluar seperti membeli bekal dan wadahnya, atau mengemas barang, atau jika iqamah shalat dikumandangkan lalu ia shalat bersama mereka... maka ia tidak wajib mengulanginya. Dan pendapat yang kuat (mu‘tamad) adalah bahwa thawaf wada‘ bukan bagian dari manasik haji maupun umrah, sebagaimana dikatakan oleh dua Syaikh (Imam Nawawi dan Imam Rafi‘i), melainkan ia adalah ibadah yang berdiri sendiri."[Mughnil Muhtaj]

 

Seperti di Mekkah seperti itu pula di Madinah, Jama’ah yang baru datang dianjurkan berziarah rasul sedangkan jamaah yang hendak meninggalkan Madinah maka ia dianjurkan untuk berpamitan. Imam Nawawi berkata : Jika seseorang hendak meninggalkan madinah maka disunnahkan untuk berpamitan dengan masjid Nabawi dengan melakukan shalat sunnah dua rekaat lalu berdoa kemudian melewati makam Nabi dengan membaca salam di atas lalu dilanjutkan membaca doa :  “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan ini sebagai akhir kunjunganku ke Tanah Haram Rasul-Mu, dan mudahkanlah bagiku jalan untuk kembali ke dua Tanah Haram (Makkah dan Madinah) dengan jalan yang mudah." [Al-Idlah] Dan menurut Imam Nawawi, hendaknya jamaah tidak berjalan mundur (qahqara) ketika meninggalkan (masjid nabawi/ ka’bah /masjidil haram) bahkan ulama berpendapat hal itu makruh hukumnya karena tidak ada hadits ataupun atsarnya. [Al-Idlah]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk menjadi tamu yang baik dengan menjalankan tata krama bertamu, terlebih ketika menjadi tamu Allah dan Rasul-Nya.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Tuesday, October 14, 2025

WUKUF DI ARAFAH

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُبَاهِي الْمَلَائِكَةَ بِأَهْلِ عَرَفَاتٍ يَقُولُ انْظُرُوا إِلَى عِبَادِي شُعْثًا غُبْرًا

"Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla membanggakan para jamaah haji di Arafah kepada para malaikat. Allah berfirman : Lihatlah hamba-hamba-Ku, mereka datang dalam keadaan kusut dan berdebu." [HR Ahmad]

 

Catatan Alvers

 

Puncak ibadah haji adalah wukuf arafah. Rasulullah SAW bersabda : “Al-Hajju Arafah” (Haji itu Arafah) [HR Tirmidzi] Prosesi wukuf dilaksanakan pada tempat tertentu yaitu arafah dan tidak boleh pada selainnya. Arafah sendiri adalah bentuk mashdar dari “Arafa – Ya’rifu” artinya mengetahui.  Sayyid bakri berkata : Dinamakan Arafah karena Nabi Adam dan Hawa saling mengetahui di tempat itu pasca mereka turun dari surga. Adam turun di India, dan Hawa turun di Jeddah. Dan dikatakan pula bahwa ketika Jibril mengenalkan kepada Ibrahim tata cara manasik haji, lalu ia sampai di tengah lembah yang merupakan tempat imam berdiri, Jibril berkata kepadanya : 'Apakah engkau telah mengetahui?' Ibrahim menjawab: 'Ya.' Maka tempat itu dinamakan 'Arafat'. Dan ada pula yang mengatakan (Arafah adalah tempat yang indah) ini berasal dari ungkapan mereka : “Arraftu Al-Makan” yang artinya Aku telah memperindah tempat itu. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Al-Jannata Arrafaha Lahum” [QS Muhammad : 6] yang diartikan dengan Allah telah memperindah surga bagi mereka. [I’anatut Thalibin]

 

Keindahan pemadangan di padang arafah adalah ketika jamaah haji berkumpul menjadi satu dengan menanggalkan atribut pangkat dan jabatan, semua setara menjadi hamba di hadapan Allah SWT. Maka dari itulah dalam hadits utama diatas Rasul SAW bersabda : "Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla membanggakan para jamaah haji di Arafah kepada para malaikat. Allah berfirman : Lihatlah hamba-hamba-Ku, mereka datang dalam keadaan kusut dan berdebu." [HR Ahmad] Dan di hari itu Allah banyak memberikan ampunan-Nya. Rasul SAW bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ

“Tiada hari yang mana Allah lebih banyak membebaskan seseorang dari neraka melebihi hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu membanggakan mereka pada para malaikat. [HR Muslim]

 

Wukuf itu dilakukan dengan hadir di padang arafah “walau lahdzatan” (walau sebentar saja) meskipun dalam keadaan tertidur atau lewat. [Fathul Mu’in] dan mengenai kapan waktunya, Syeikh Zainuddin Al-Malibari berkata :

وَوَقْتُهُ بَيْنَ زَوَالٍ لِلشَّمْسِ يَوْمَ عَرَفَةَ، وَهُوَ تَاسِعُ ذِي الْحِجَّةِ، وَبَيْنَ طُلُوعِ فَجْرِ يَوْمِ النَّحْرِ.

Waktu (wukuf di Arafah) dimulai dari tergelincirnya matahari pada hari Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah hingga terbitnya fajar pada hari Nahr (hari raya Idul Adha). [Fathul Mu’in]

 

Sayyid Bakri menjelaskan : "Barang siapa yang wukuf di Arafah sebelum tergelincir matahari (zawāl) lalu pergi dari Arafah, maka wukufnya tidak sah. Begitu pula orang yang wukuf setelah terbit fajar (pada hari Nahr), maka tidak sah. Adapun orang yang wukuf di antara dua waktu tersebut, maka wukufnya sah meskipun hanya sesaat sebelum fajar karena Nabi SAW wukuf setelah zawal, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dan beliau bersabda: 'Barang siapa yang mendapati Arafah sebelum terbit fajar, maka ia telah mendapatkan haji. [i’anatut Thalibin]

 

Jika waktu wukuf bertepatan dengan hari jumat maka wukuf tersebut memiliki keutamaan yang lebih. Syeikh As-Syarbiny berkata : Dikatakan “Jika Hari Arafah jatuh pada hari Jum’at maka seluruh jamaah haji yang wukuf di padang Arafah akan mendapat ampunan dari Allah secara langsung dengan tanpa perantara dan bila Hari Arafah di selain hari jum’at maka ampunan dari Allah itu diberikan dengan perantara”. [Mughnil Muhtaj].

 

Dalam satu hadits diriwayatkan bahwa ada orang Yahudi berkata kepada ‘Umar : "Sesungguhnya kalian membaca satu ayat (yaitu QS Al-Maidah : 3) seandainya ayat itu diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadikannya sebagai hari raya." Maka ‘Umar berkata : "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kapan ayat itu diturunkan, di mana ia diturunkan, dan di mana Rasulullah SAW berada saat ayat itu diturunkan, yaitu pada hari Arafah, dan demi Allah, kami saat itu berada di Arafah." Sufyan berkata:

"Aku ragu, apakah itu terjadi pada hari Jumat atau bukan. [HR Bukhari] dan dalam riwayat Qays bin Muslim terdapat penegasan bahwa hari itu adalah hari jumat. [Fathul Bari]

 

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :

وَاسْتُدِلَّ بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى مَزِيَّة الْوُقُوف بِعَرَفَة يَوْم الْجُمُعَة عَلَى غَيْره مِنْ الْأَيَّام

“Hadits tersebut dibuat dalil atas keistimewaan wuquf di arafah pada hari jumat melebihi hari-hari lainnya”

Hal itu karena Allah ta’ala memilihkan yang terbaik untuk rasul-Nya sedangkan amalan itu akan menjadi bertambah kemuliaannya sebab mulianya waktu sebagaimana menjadi mulia sebab mulianya tempat. Sedangkan hari jum’at adalah hari paling utama dalam seminggu... dan di hari jumat terdapat waktu mustajab untuk berdoa...  [Fathul Bari]

 

Al-Mubarakfury berkata : Telah mashur di kalangan orang awam jika hari arafah bertepatan dengan hari jum’at maka hajinya dikatakan haji akbar namun hal itu tidak ada dasarnya. Iya memang demikian namun terdapat hadits riwayat dari Razin ... dalam bentuk hadits mursal “Lebih utamanya hari adalah hari arafah dan bila bertepatan dengan hari jumah, ia lebih utama ketimbang tujuh puluh haji di hari selainnya”... ini adalah Hadits Mursal. [Tuhfatul Ahwadzi]

 

Hadits riwayat dari Razin tersebut meskipun berstatus mursal (yakni hadits yang dalam periwayatannya berhenti pada tabi’in, tanpa menyebutkan sahabat nabi yang mendengar langsung dari Nabi SAW) namun hadits seperti itu tetap bisa dipakai untuk sekedar motivasi. Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) berkata :

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضِلَ ، وَالْمَوْقُوفَ يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا... وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ

Telah menjadi ketetapan bahwa hadits dha’if, mursal, munqathi’, mu’dhal, dan mauquf, dapat diamalkan pada ranah “fadhail al-a’mal” (motivasi) dan tidaklah mengingkarinya kecuali orang bodoh lagi tertipu. [al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk memenuhi panggilan Allah dengan berhaji yang puncaknya adalah wukuf di padang Arafah sehingga kita dibanggakan Allah di hadapan para malaikat-Nya.   

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Monday, October 13, 2025

HADITS ZIARAH RASUL

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

مَنْ زَارَ قَبْرِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى

"Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku." [HR Baihaqi]

 

Catatan Alvers

 

Hadits utama di atas sering dikemukakan dalam masalah keutamaan ziarah rasul namun di sisi lain hadits itu pula sering dituduh sebagai hadits maudlu’ alias hadits palsu sehingga tidak boleh disebarkan karena diancam dengan neraka kepada siapapun yang menyampaikan hadits palsu.

 

Apakah benar hadits tersebut adalah palsu? Untuk menjawab hal ini maka saya kutipkan fatwa dari majelis fatwa yang berada di bawah naungan Departemen Dakwah dan Bimbingan Keagamaan di Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Negara Qatar dalam websitenya yaitu www islamweb net, sebagai berikut :

 

Hadits "Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku" itu diriwayatkan oleh al-Hakim at-Tirmidzi, al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya, dari Ibnu Umar RA dari Rasulullah SAW. Para ulama berbeda pendapat tentang status Hadits  ini menjadi tiga pendapat: (1). Pendapat pertama : Hadits  ini dinilai palsu (maudhu‘) oleh Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama lainnya. (2). Pendapat kedua : Hadits  ini dinilai hasan atau sahih oleh Imam as-Subki. Imam adz-Dzahabi berkata: "Seluruh jalurnya lemah, tetapi saling menguatkan satu sama lain." (3). Pendapat ketiga: Hadits ini dinilai lemah (da‘if) oleh sejumlah ahli Hadits  seperti Imam an-Nawawi. al-Munawi dalam Faydlul Qadir berkata :

وَبِالْجُمْلَةِ فَقَوْلُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ مَوْضُوعٌ غَيْرُ صَوَابٍ

"Secara umum, pendapat Ibnu Taimiyah yang menilai hadits ini sebagai hadits palsu adalah tidak benar."[ www islamweb net]

 

Dengan demikian, hadits diatas dinilai sebagai hadits hasan (dibawah shahih dan diatas dla’if) atau paling tidak ia adalah hadits dla’if namun demikian hadits tersebut boleh diamalkan. Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) berkata :

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ ... يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا... وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ

Telah menjadi ketetapan bahwa hadits dha’if ... dapat diamalkan pada ranah “fadhail al-a’mal” (motivasi) dan tidaklah mengingkarinya kecuali orang bodoh lagi tertipu. [al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra]

 

Praktik ziarah rasul telah dilakukan semasa sahabat nabi. Nafi’, seorang tabi’in murid Ibnu Umar dan guru dari Imam Malik, ia berkata : “(Sahabat Nabi) Ibnu Umar biasa ber-salam ke makam nabi. Aku melihatnya seratus kali bahkan lebih datang ke makam nabi”. [As-Syifa bita’rifi Huquqil Mushtafa] dan senada dengan hadits utama di atas, Rasul SAW bersabda :

مَنْ زَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي.

"Barang siapa yang menziarahi kuburku setelah aku wafat, maka itu seperti halnya ia menziarahiku ketika aku masih hidup." [HR Thabrani]

 

Ada juga hadits yang mengaitkan ziarah rasul dengan haji, yaitu : "Barang siapa yang berhaji lalu menziarahi kuburku setelah wafatku, maka ia seperti orang yang menziarahiku saat aku masih hidup." [HR Thabrani].  Kenapa dalam hadits tersebut dikaitkan dengan ibadah haji? Pertama, seseorang sehabis menunaikan ibadah haji biasanya ia memiliki hati yang bersih dan merasa lebih dekat kepada Allah Ta‘ala dibandingkan waktu-waktu lainnya. Kedua, keberadaannya di kota mekkah yang dekat dengan kota madinah, sedang ia berasal dari negara yang jauh seperti Indonesia itu merupakan kesempatan yang boleh jadi tidak terulang dalam sepanjang hidupnya. Dengan demikian sungguh sangat disayangkan jika orang tersebut tidak melakukan ziarah Rasul.

 

Jadi bukan berarti ziarah rasul hanya dianjurkan sehabis haji, tidak demikian. Orang yang akan berhaji jika kota Madinah menjadi rute sebelum mekkah, maka dianjurkan baginya untuk ziarah Rasul meskipun ia belum berhaji atau ber-umrah, selama waktunya memungkinkan. Dan Imam Nawawi berkata: "Disunnahkan bagi orang yang berziarah kepada Nabi SAW untuk berniat “taqarrub” (mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ala) dengan perjalanannya ke masjid nabawi dan shalat di dalamnya." Hal ini mengingat bahwa perjalanan itu adalah sarana menuju dua ibadah tersebut, dan sarana ibadah itu memiliki hukum seperti hukum ibadahnya, yakni sama-sama hukumnya  sunnah sehingga mendapatkan pahala yang berlipat.

 

Dalam kitabnya, Al-Idlah Imam nawawi berkata : "Hendaknya ia menghadirkan dalam hatinya saat itu kemuliaan Kota Madinah, dan bahwa kota itu menurut sebagian ulama adalah tempat paling utama di dunia setelah Makkah, dan menurut sebagian lainnya bahkan lebih utama secara mutlak. Dan bahwa sosok yang menjadikan kota itu mulia — Nabi Muhammad SAW— adalah makhluk terbaik dari seluruh ciptaan. Hendaknya sejak awal kedatangannya hingga ia pulang, ia senantiasa merasakan pengagungan terhadap Nabi SAW, hatinya dipenuhi dengan rasa hormat dan kewibawaan, seakan-akan ia sedang melihat beliau. " [Al-Idlah Fi Manasikil Hajj]

 

Ketika seseorang sudah berada di area makam Nabi SAW maka hendaklah ia menghadap makam dengan penuh adab. Imam nawawi berkata : “Hendaknya peziarah berdiri menghadap bagian bawah dari dinding makam yang ada di hadapannya, dengan pandangan tertunduk dalam posisi penuh hormat dan pengagungan, hatinya kosong dari urusan dunia, dan ia menghadirkan dalam hatinya keagungan tempat tersebut dan kedudukan sosok yang ada dihadapannya. Kemudian ia mengucapkan salam, tanpa mengangkat suara, melainkan dengan suara yang tenang dan sedang-sedang." [Al-Idlah]

 

Satu ketika as-Sa’ib bin Yazid sedang berdiri di dalam masjid (nabawi), lalu seseorang melempariku dengan kerikil kecil. Maka aku pun menoleh, ternyata itu adalah ‘Umar bin al-Khattab. Umar menyuruhnya agar memanggil dua orang yang berkata dengan suara keras. Setelah keduanya hadir maka Umar bertanya : "Siapa kalian berdua, atau dari mana asal kalian?" Mereka menjawab: "Kami dari penduduk Tha’if." Umar berkata:

لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Seandainya kalian berdua dari penduduk kota ini (Madinah), niscaya aku akan menghukum kalian dengan keras, karena kalian meninggikan suara kalian di dalam masjid Rasulullah SAW." [Shahih Bukhari]

 

Untuk ber-salam kepada Nabi saat ziarah Rasul hendaknya memakai sighat salam yang panjang sebagaimana ada dalam buku tuntunan ziarah. Namun jika situasi tidak memungkinkan maka ber-salam boleh dengan sighat yang singkat. Imam nawawi berkata : "Telah datang (riwayat) dari Ibnu ‘Umar dan selainnya dari kalangan salaf radhiyallāhu ‘anhum, ucapan salam yang sangat ringkat. Maka Ibnu ‘Umar biasa mengucapkan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ

“Salam sejahtera semoga terlimpahkan kepadamu wahai utusan Allah” [Al-Idlah]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk ber-ziarah Rasul dengan penuh adab serta dengan harapan mendapat syafaat beliau di hari kiamat nanti.   

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

HUKUM ZIARAH RASUL

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Rasul SAW (Madinah) dan Masjidil Aqsha. [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Ziarah rasul kita ketahui sebagai satu anjuran sejak dahulu bahkan sudah menjadi tradisi turun temurun. Imam Nawawi (1223 M/631 H-1277 M/676 H), seorang ulama besar dengan banyak sekali karya ilmiahnya yang terkenal seperti Arba’in An-Nawawi, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Minhajuth Thalibin, Al-Majmu Syarah Al-Muhaddzab dll. berkata :

وَاعْلَمْ أَنَّ زِيَارَةَ قَبْرِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَهَمِّ الْقُرُبَاتِ وَأَنْجَحِ الْمَسَاعِي

"Dan ketahuilah, bahwa ziarah ke makam Rasul SAW termasuk amalan pendekatan diri (qurbah) yang paling utama dan usaha yang paling berhasil."  [Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab]

 

Namun akhir-akhir ini banyak beredar larangan mengadakan ziarah rasul baik berupa web maupun youtube. Pengharamkan ziarah rasul ini ternyata berasal dari satu sumber yang dikatakan oleh Syeikh Hasyim Asy’ari dalam Risalah nya : “Pasal Menjelaskan Penduduk Jawa Berpegang kepada Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah dan Awal Kemunculan Bid’ah dan Meluasnya di Jawa serta Macam-macam Ahli Bid’ah di Zaman ini... Hal ini terjadi sejak tahun 1330. Diantara mereka adalah kelompok yang ... mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah SAW ... Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwasanya mengunjungi makam Nabi SAW sebagai sebuah bentuk ketaatan maka perbuatan tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim.” [Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah]

 

Usut punya usut ternyata pengharamkan ziarah rasul itu disebabkan karena mereka salah paham terhadap hadits utama di atas yang berbunyi : ‘Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Rasul SAW (Madinah) dan Masjidil Aqsha”. [HR Bukhari] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan bahwa Ulama Ahli Tahqiq berkata : Perkataan “Kecuali pada tiga masjid” itu terdapat (Lafad yang menjadi bagian dari susunan) “Mustasna minhu” yang dibuang. Jika lafadz tersebut dikira-kirakan dengan lafadz yang umum (Fi Ayyi Amrin Kana) maka arti hadits tersebut adalah :

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke tempat manapun dengan tujuan apapaun - kecuali ke tiga masjid.”

Dan pemaknaan ini tentunya tidak dimungkinkan karena akan menimbulkan larangan mengadakan perjalanan ke satu tempat untuk berdagang, silaturahim, belajar dan lain sebagainya. Maka tidak ada pilihan lain kecuali pilihan kedua yaitu mengira-ngirakan lafadz yang paling sesuai dengan konteksnya sehingga hadits tersebut bermakna :

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلَاةِ فِيهِ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke satu masjid dengan tujuan melakukan shalat di sana - kecuali ke tiga masjid.” [Fathul Bari]

 

Pilihan ke dua di atas selaras dengan redaksi hadits lain yang serupa yaitu hadits dari Abu Said Al-Khudri suatu ketika ia mendengarkan perkataan orang shalat di Thur (Gunung Thursina) Maka ia, Abu Said Al-Khudri berkata : Nabi SAW bersabda :

لَا يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيهِ الصَّلَاةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا

Tidak seyogyanya pengendara melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat di sana, selain Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjidku (nabawi). [HR Ahmad]

 

Maka dengan demikian boleh hukumnya kita pergi ke mana saja karena hadits di atas  lebih menjelaskan kepada keistimewaan tiga masjid tersebut yang tidak dimiliki oleh masjid selainnya sebagaimana dinyatakan dalam hadits :

صَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ مِائَةُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَصَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلَاةٍ وَفِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَمْسُمِائَةِ صَلَاةٍ

Satu kali shalat di Masjidil haram (bernilai lebih baik dari) seratus ribu shalat,

Satu kali shalat di masjidku (Nabawi) (bernilai lebih baik dari) seribu kali shalat

Dan satu kali shalat di Baitil Maqdis (Masjidil Aqsha, bernilai lebih baik dari) lima ratus kali shalat. [HR Baihaqi]

 

Jadi dipahami dari hadits itu bahwa percuma saja jika kita jauh-jauh pergi ke satu masjid, misalnya masjid istiqlal di jakarta atau masjid biru di turki untuk melakukan shalat di sana padahal pahalanya sama saja dengan shalat di masjid terdekat dengan rumah kita. Berbeda halnya kita datang kesana untuk satu keperluan rihlah lalu kita shalat di sana.

 

Selaras dengan hal ini, Imam An-Nawawi berkata : “Di dalam hadits ini terdapat dalil akan keutamaan tiga masjid (tersebut) serta keutamaan bepergian jauh dalam rangka ibadah di sana karena maknanya menurut jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) adalah :

لَا فَضِيلَةَ فِي شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى مَسْجِدِ غَيْرِهَا

“Tidak ada keutamaan dalam berpergian jauh ke selain masjid yang tiga tersebut”. [Syarh Shahih Muslim]

 

Imam Nawawi menolak pendapat dengan tegas pendapat yang berseberangan dengan pengertian tersebut. Imam Nawawi berkata :

وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ اَلْجُوَيْنِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : يَحْرُمُ شَدُّ الرِّحَالِ إِلَى غَيْرِهَا وَهُوَ غَلَطٌ

“Syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini dari sahabat kami berkata : Haram hukumnya bepergian ke selain tiga masjid tadi, dan pendapat tersebut adalah satu kesalahan.” [Syarh Shahih Muslim]

 

Dan dalam lanjutan keterangan Al-Asqalani di atas, Ulama Ahli tahqiq menyimpulkan dengan berkata :

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ اَلصَّالِحِينَ

Dengan demikian menjadi tertolak pendapat ulama yang (menggunakan hadits utama di atas untuk) melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah kubur yang Mulia (Nabi SAW) dan kuburan para shalihin lainnya. [Fathul Bari]

 

Jika Anda ber-ziarah Rasul maka jangan lupa adab-adabnya. Imam Nawawi berkata :

وَيَنْوِيَ الزَّائِرَ مَعَ الزِّيَارَةِ التَّقَرُّبَ وَشَدَّ الرَّحْلِ إلَيْهِ وَالصَّلَاةَ فِيْهِ

"Hendaknya orang yang melakukan ziarah Rasul berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, melakukan perjalanan menuju beliau, dan shalat di masjid beliau.

Ketika di perjalanan, hendaklah ia memperbanyak shalawat dan salam kepada Nabi SAW”.

“Ketika ia melihat pepohonan Madinah, tanah haramnya, dan tanda-tandanya, hendaklah ia menambah shalawat dan salam kepada Nabi SAW serta memohon kepada Allah Ta‘ala agar ziarah ini bermanfaat baginya dan agar Allah menerimanya”. [Al-Majmu Syarah Al-Muhaddzab]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk ber-ziarah Rasul dengan niat dan usaha serta  

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.