ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari
Abu Juhaim RA, Rasul SAW bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ
الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ
أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang
yang lewat di depan orang shalat itu tahu dosa yang akan ia dapatkan, niscaya lebih
baik ia berdiam (menunggu selesai shalat) selama 40 (masa) daripada ia berjalan
di depan orang yang shalat”. [HR. Bukhari]
Catatan Alvers
Alkisah satu
ketika Qais ibnul mulawwah yang terkenal dengan julukan “Majnun Layla” (orang
yang menjadi gila karena cintanya ditolak pujaan hatinya, Layla) ia berjalan di
depan orang-orang yang sedang shalat. Setelah mereka selesai shalat mereka
mencela Qais dan mereka berkata : “Bagaimana kamu ini, kau berjalan di depan
kami padahal kami sedang shalat?.” Qais berkata : Demi Allah, Aku tidak melihat
kalian karena aku sibuk memikirkan Layla. Lalu ia berkata :
وَاللهِ،
لَوْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ كَمَا أُحِبُّ لَيْلَى، لَمَا رَأَيْتُمُونِي،
وَلَانْشَغَلْتُمْ بِهِ وَبِمُنَاجَاتِهِ عَنْ رُؤْيَتِي
“Demi Allah, jika
kalian mencintai Allah sebagaimana aku mencintai Layla, niscaya kalian (ketika
shalat) tidak akan melihatku, karena kalian sibuk dengan-Nya dan bermunajat
kepada-Nya, hingga tidak memperhatikan keberadaanku.”
Pernahkah Anda melihat
ada orang yang lewat di depan orang yang shalat seperti kisah di atas? Atau di depan
Anda sendiri ketika shalat, atau jangan-jangan Anda sendiri orang yang lewat
itu? Wah wah.. bahaya kalau begitu. Jangan pernah lakukan hal itu karena itu
adalah dosa yang seandainya Anda tahu ukuran dosanya niscaya Anda akan memilih
untuk menunggu meskipun dalam waktu yang lama. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam hadits utama : “Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu tahu
dosa yang akan ia dapatkan, niscaya lebih baik ia berdiam (menunggu selesai
shalat) selama 40 masa daripada ia berjalan di depan orang yang shalat”. [HR.
Bukhari]
Perawi hadits tersebut
yaitu Abu Nadhar berkata : “Aku tidak tahu apakah sabdanya 40 hari, bulan, ataukah
tahun.” Yang jelas apapun itu, mau 40 hari, bulan, ataukah tahun, itu adalah
waktu yang sangat lama untuk menunggu namun demikian seseorang akan rela
menunggu dalam waktu yang lama seperti itu seandainya dia tahu betapa celakanya
ketika dia lewat di depan orang yang sedang shalat. Orang yang menerjang
perlintasan kereta api lalu ia tewas tersambar kereta yang lewat, seandainya ia
tahu dan yakin akan tersambar niscaya ia akan memilih menunggu walau dalam
waktu yang lama. Maka ketika kita mengetahui ada orang yang hendak melakukan
demikian niscaya kita akan mencegahnya supaya ia tidak celaka. Itulah kenapa
lantas Nabi bersabda :
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ
يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ
“Jika
salah seorang dari kalian shalat dengan menghadap sesuatu yang ia jadikan
sutrah (penghalang, pembatas) terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang
mencoba lewat di antara ia dan sutrah tersebut, maka cegahlah. [HR Bukhari]
Untuk mempermudah
orang yang hendak lewat di depan kita yang sedang shalat supaya itu tidak
berdosa dengan menginjak tempat shalat kita maka hendaknya kita memasang jadikan
sutrah (penghalang, pembatas). Syeikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in berkata
: “Disunnahkan bagi orang yang shalat
untuk menghadap ke dinding atau tiang, atau benda tegak lainnya yang tingginya
minimal 40 CM, dan jarak antara benda tersebut dan tumitnya tidak lebih dari 180
CM. Jika tidak ada, gunakanlah semisal tongkat yang ditancapkan, atau koper. Jika
tidak ada, gelarlah sajadah, jika tidak ada, buatlah garis di depannya dalam
jarak 180 CM, baik secara melintang atau memanjang. Dan ini lebih utama karena
ada hadits” :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ
شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ
خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
"Jika
salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah ia meletakkan sesuatu di
hadapannya. Jika tidak ada, maka tancapkan tongkat. Jika tidak ada tongkat,
maka buatlah garis. Setelah itu, apa pun yang lewat di depannya tidak akan
membahayakannya." [HR Abu Daud]
Dari hadits ini
dipahami bahwa sutrah itu berfungsi untuk penanda area shalat sehingga orang akan
lewat di depan kita, tidak menginjak area shalat kita sehingga ia berdosa. Dan yang
demikian itu tidak akan mengganggu kekhusu’an kita karena orang yang shalat dianjurkan
untuk mengarahkan pandangannya ke tempat sujud atau area shalat tersebut. Dan sebagian
ulama berpendapat sutrah tidak harus berupa benda khusus, namun benda apapun
yang bisa dipahami sebagai pembatas area shalat seperti kopyah. Hal ini
dipahamai dari teks hadits di atas disebutkan “Syai’an” (sesuatu) secara umum.
[Hasyiyah As-Sindy]
Dalam lanjutan hadits
Bukhari mengenai perintah mencegah orang yang lewat di depan orang yang shalat,
Nabi Bersabda :
فَإِنْ
أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Jika ia enggan
dicegah maka cegahlah dengan lebih keras, karena sesungguhnya ia telah melakukan
perbuatan terlarang seperti setan” [HR Bukhari]
Selanjutnya, perlu
diketahui bahwa tempat shalat kita yang kita jaga seperti di atas adalah tempat
yang mulia dan ia akan menangis ketika kita wafat. Ibnu Abbas berkata : “Setiap
orang memiliki satu pintu di langit, untuk jalan turun rezeki dan naiknya amalan.
Apabila seorang mukmin meninggal, maka pintu langit itu akan menangisinya.
وَإِذَا
فَقَدَهُ مَقْعَدُهُ مِنَ الْأَرْضِ الَّتِي كَانَ يُصَلِّي فِيهَا وَيُذْكُرُ
اللهَ فِيهَا بَكَتْ عَلَيْهِ
Dan ketika tempat
duduk yang dipakai shalat dan berzikir itu kehilangan dia maka tempatnya itu
menangisinya. [Syu’abul Iman]
Terakhir, apa yang
dikatakan Majnun Layla “Demi Allah, jika kalian mencintai Allah sebagaimana aku
mencintai Layla, niscaya kalian (ketika shalat) tidak akan melihatku” itu tidak
berarti orang yang shalat itu kemudian lupa segalanya dan tidak merasakan apa
yang terjadi di sekelilingnya, tidak begitu. Nabi sendiri ketika shalat masih
mendengar tangisan bayi. Beliau bersabda : “Sesungguhnya aku berdiri dalam
shalat dengan niat ingin memperpanjangnya, tetapi kemudian aku mendengar
tangisan bayi, maka aku pun mempercepat shalatku, karena aku tidak ingin
memberatkan ibunya.” [HR Bukhari] Nabi juga memperlama sujudnya dan ketika
ditanya beliau menjawab : “Sesungguhnya cucuku ini menaiki (punggung)ku (ketika
aku sujud), maka aku tidak ingin menyudahinya terlalu cepat sampai ia selesai
dari hajatnya.” [HR Nasa’i]
Wallahu A’lam.
Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita agar menjadi muslim sejati
dengan menjauhi perilaku yang merugikan orang lain, berlebih-lebihan lagi
menimbulkan kerusakan dalam segala urusan.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul
Bari, SS., M.Ag
Pondok Pesantren
Wisata
AN-NUR 2 Malang
Jatim
Sarana Santri
ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok
itu Keren!
WA Auto Respon
: 0858-2222-1979
NB.
“Ballighu Anni
Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada.
Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus
setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]
0 komentar:
Post a Comment