ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abu
Said Al-Khudry RA, Rasul SAW bersabda :
لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ
إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah jin dan manusia serta (segala)
sesuatu
itu mendengar
suara muadzin melainkan mereka memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR
Bukhari]
Catatan
Alvers
Viral pidato
seorang takmir masjid terkemuka di jogja berkata dengan lantang : “Robohkan
saja itu menara. Tidak ada gunanya menara masjid yang tinggi kalau tetangganya
tidak bisa menanak nasi”. Rasulullah SAW membangun menara bukan untuk keindahan.
Bilal bin Rabah naik ke Menara dan hanya 5 kali sehari tapi rasulullah yang
paling sering naik ke Menara. Untuk apa? Melihat jiran - jiran masjid. Apakah
mereka dipastikan tidur nyenyak, dipastikan sudah makan sudah kenyang. Maka
kalau Rasulullah naik ke Menara itu dilihat tadi ada dapur yang tidak mengepul
didatangi. “Hei kamu hari ini kenapa enggak masak dapurmu enggak mengepul”. “Kami
enggak punya gandum Ya Rasulullah tidak ada daging.” maka Rasulullah akan
memanggil Abdurrahman bin Auf bendaharanya Rasul. Itu Jiran masjid tidak ada
daging!. Apakah sekarang menara Masjid takmirnya sering naik untuk melihat
nasib kiri kanan? Kalau nggak, robohkan saja itu menara. Tidak ada gunanya
menara masjid yang tinggi kalau tetangganya tidak bisa menanak nasi. Tetangganya
gak bisa tidur karena anaknya gak bisa bayar sekolah. Robohkan itu menara. Menara
itu fungsinya untuk memantau nasib jiran masjid bukan untuk sebagai kebanggaan
bangunan masjid. Bahkan ditanya, boleh apa tidak kas masjid untuk beli beras orang
miskin? Wajib! Kalau perlu speaker masjid jual untuk beli beras kalau ada orang
sekitar masjid tidak bisa makan. [IG Marbot.aplikasi]
Ada beberapa hal
yang perlu saya luruskan. Pertama, benarkah Rasul sering naik ke Menara?. Dan kedua,
benarkah menara masjid itu tidak ada gunanya jika tetangganya tidak bisa
menanak nasi?. Yang pertama, tidak benar pernyataan bahwa Rasul sering naik ke
atas menara karena di zaman Nabi SAW belum ada bangunan menara masjid. Dahulu
bilal mengumandang-kan adzan dari rumah yang tinggi di dekat masjid. Diriwayatkan
dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari seorang wanita dari Bani an-Najjar, ia berkata:
كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلَالٌ
يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ
"Rumahku adalah rumah yang paling
tinggi di sekitar masjid. Dan Bilal biasa mengumandangkan adzan Subuh dari atasnya
(rumahku)”.
Ia datang saat
waktu sahur (sebelum fajar), lalu duduk di atas rumah sambil memperhatikan
munculnya fajar. Ketika melihat fajar, ia meregangkan tubuhnya lalu berdoa. Kemudian
ia mengumandangkan adzan. [HR Abu Dawud]
Sesuai dengan
kondisi tersebut, Al-wahbah Az-Zuhaily berkata : “Disunnahkan dalam adzan...
agar dilakukan di atas tempat yang tinggi dan di dekat masjid. Hal itu supaya lebih
maksimal dalam menyampaikan suara adzan”.
[Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuh] dan di sisi lain, muadzin dianjurkan untuk
mengeraskan suara adzannya agar lebih banyak makhluk yang bersaksi kebaikan untuknya.
Dalam hadits utama di sebutkan : “Tidaklah
jin dan manusia serta (segala) sesuatu itu mendengar suara muadzin melainkan mereka memberikan kesaksian untuknya pada hari
Kiamat”. [HR Bukhari] Ibnu Hajar
berkata :
وَفِي الْحَدِيث اِسْتِحْبَاب رَفْعِ الصَّوْت بِالْأَذَانِ
لِيَكْثُرَ مَنْ يَشْهَدُ لَهُ مَا لَمْ يُجْهِدْهُ أَوْ يَتَأَذَّى بِهِ
Dan dalam hadis
ini terdapat anjuran untuk mengeraskan suara saat adzan, agar semakin banyak
yang menjadi saksi baginya (muadzin), selama tidak memberatkannya atau membuat
orang lain terganggu karenanya. [Fathul Bari]
Abu Ayyub
Al-Anshari berkata : Adzan di zaman Nabi SAW pada hari jum’at tidaklah
dilakukan melainkan di hadapan beliau saat berada di atas mimbar. Ketika beliau
turun (dari mimbar) maka para sahabat mendirikan shalat.
فَلَمَّا وُلِّيَ عُثْمَانُ أَمَرَ أَنْ يُؤَذَّنَ عَلَى الْمَنَارَةِ
لِيَسْمَعَ النَّاسُ
Tatkala khalifah Utsman
berkuasa maka beliau memerintahkan agar adzan dilakukan di atas menara supaya
suara terdengar oleh orang banyak. [Fathul Bari Ibnu Rajab]
Dan Ibnu Abidin
menyebutkan :
إنَّ أَوَّلَ مَنْ عَمِلَ الْمَنَائِرَ فِي مِصْرَ لِلْأَذَانِ مَسْلَمَةُ
بْنُ مُخَلَّدٍ
“Orang pertama
yang membangun menara di Mesir untuk adzan adalah (Sahabat Nabi) Maslamah bin
Mukhallad al-Anshari RA”,
atas perintah dari
Muawiyah bin Abi Sufyan RA di Masjid Amr bin al-‘Ash RA pada tahun 53 Hijriah. Dan
orang pertama yang naik ke menara untuk mengumandangkan adzan adalah Sharhabil
bin ‘Amir al-Muradi. [Ahkamul Masajid Fis Syari’ah Al-Islamiyah]
Dan Abdullah bin
Syaqiq berkata :
مِنَ السُّنَّةِ الأَذَانُ فِي الْمَنَارَةِ، وَالإِقَامَةُ فِي
الْمَسْجِدِ، وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يَفْعَلُهُ.
Termasuk sunnah, melaksanakan
adzan di menara dan iqamat di dalam masjid. Dan Abdullah (Ibnu Mas’ud RA) melakukan
hal itu. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]
Dan menurut Creswell,
seorang sarjana Inggris yang mengkaji arsitektur Islam bahwa jejak menara di
dunia Islam pertama kali ditemukan di Damaskus mulai 673 M dimulai sekitar 41
tahun setelah wafatnya Nabi SAW. [Republika
co id] Dan ada juga yang berpendapat bahwa pembangunan menara masjid pertama
kali dilakukan oleh al-Walid I - bin Abdul Malik, (Khalifah tahun 86-97
H/705-715 M dari Dinasti Umayyah) ketika memugar bekas basilika (gereja besar) Santo
Johanes untuk dijadikan sebagai masjid besar (sekarang Masjid Agung Damaskus).
Saat dipugar, bangunan basilika yang memiliki dua buah menara dipertahankan bahkan
ditambah dengan sebuah menara baru yang kini dikenal dengan nama Menara Utara
Masjid Damaskus. [islamic-center or id]
Lalu kedua, benarkah
“menara masjid itu tidak ada gunanya jika tetangganya tidak bisa menanak nasi?”.
Saya pribadi tidak menemukan keterangan yang menyatakan bahwa menara masjid itu
berfungsi untuk memantau keberadaan tetangga yang miskin atau dapur yang tidak
mengepul. Syeikh Ibrahim Al-Khudlayri berkata : Membangun menara dan meletakkan
speaker di atasnya adalah perkara yang bermanfaat (1) untuk menyampaikan suara
(adzan), meskipun muaddzin tidak lagi naik ke atas menara. (2) untuk menunjukan
keberadaan masjid (terutama bagi musafir) dan (3) untuk membedakan bangunan masjid
dengan rumah-rumah pada umumnya. [Ahkamul Masajid] Maka keberadaan orang yang
miskin yang kelaparan itu tidak berkaitan dengan menara masjid akan tetapi
berkaitan dengan pribadi kita selaku orang beriman. Rasul SAW bersabda :
لَيْسَ بِالْمُؤْمِنِ الَّذِي يَبِيتُ شَبْعَانَ، وَجَارُهُ جَائِعٌ
إِلَى جَنْبِهِ
Tidaklah beriman,
orang yang kenyang di malam hari sementara tetangganya lapar di sampingnya. [HR
Al-Hakim]
Adapun dana masjid
yang berkaitan dengan para tetangga adalah dengan semisal memberi jamuan minuman
ataun makanan untuk jama’ah sekira hal itu dapat menarik untuk memakmurkan
masjid tersebut sebagaimana keterangan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin.
Wallahu A’lam.
Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk senantiasa melakukan
kebaikan dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan dengan berlandaskan
ilmu dan tidak hanya mencukupkan diri dengan niat baik semata.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul
Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren
Wisata
AN-NUR 2 Malang
Jatim
Ngaji dan Belajar
Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok
Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni
Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya
sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.












