Monday, October 13, 2025

HADITS ZIARAH RASUL

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

مَنْ زَارَ قَبْرِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى

"Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku." [HR Baihaqi]

 

Catatan Alvers

 

Hadits utama di atas sering dikemukakan dalam masalah keutamaan ziarah rasul namun di sisi lain hadits itu pula sering dituduh sebagai hadits maudlu’ alias hadits palsu sehingga tidak boleh disebarkan karena diancam dengan neraka kepada siapapun yang menyampaikan hadits palsu.

 

Apakah benar hadits tersebut adalah palsu? Untuk menjawab hal ini maka saya kutipkan fatwa dari majelis fatwa yang berada di bawah naungan Departemen Dakwah dan Bimbingan Keagamaan di Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Negara Qatar dalam websitenya yaitu www islamweb net, sebagai berikut :

 

Hadits "Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku" itu diriwayatkan oleh al-Hakim at-Tirmidzi, al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya, dari Ibnu Umar RA dari Rasulullah SAW. Para ulama berbeda pendapat tentang status Hadits  ini menjadi tiga pendapat: (1). Pendapat pertama : Hadits  ini dinilai palsu (maudhu‘) oleh Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama lainnya. (2). Pendapat kedua : Hadits  ini dinilai hasan atau sahih oleh Imam as-Subki. Imam adz-Dzahabi berkata: "Seluruh jalurnya lemah, tetapi saling menguatkan satu sama lain." (3). Pendapat ketiga: Hadits ini dinilai lemah (da‘if) oleh sejumlah ahli Hadits  seperti Imam an-Nawawi. al-Munawi dalam Faydlul Qadir berkata :

وَبِالْجُمْلَةِ فَقَوْلُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ مَوْضُوعٌ غَيْرُ صَوَابٍ

"Secara umum, pendapat Ibnu Taimiyah yang menilai hadits ini sebagai hadits palsu adalah tidak benar."[ www islamweb net]

 

Dengan demikian, hadits diatas dinilai sebagai hadits hasan (dibawah shahih dan diatas dla’if) atau paling tidak ia adalah hadits dla’if namun demikian hadits tersebut boleh diamalkan. Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) berkata :

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ ... يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا... وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ

Telah menjadi ketetapan bahwa hadits dha’if ... dapat diamalkan pada ranah “fadhail al-a’mal” (motivasi) dan tidaklah mengingkarinya kecuali orang bodoh lagi tertipu. [al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra]

 

Praktik ziarah rasul telah dilakukan semasa sahabat nabi. Nafi’, seorang tabi’in murid Ibnu Umar dan guru dari Imam Malik, ia berkata : “(Sahabat Nabi) Ibnu Umar biasa ber-salam ke makam nabi. Aku melihatnya seratus kali bahkan lebih datang ke makam nabi”. [As-Syifa bita’rifi Huquqil Mushtafa] dan senada dengan hadits utama di atas, Rasul SAW bersabda :

مَنْ زَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي.

"Barang siapa yang menziarahi kuburku setelah aku wafat, maka itu seperti halnya ia menziarahiku ketika aku masih hidup." [HR Thabrani]

 

Ada juga hadits yang mengaitkan ziarah rasul dengan haji, yaitu : "Barang siapa yang berhaji lalu menziarahi kuburku setelah wafatku, maka ia seperti orang yang menziarahiku saat aku masih hidup." [HR Thabrani].  Kenapa dalam hadits tersebut dikaitkan dengan ibadah haji? Pertama, seseorang sehabis menunaikan ibadah haji biasanya ia memiliki hati yang bersih dan merasa lebih dekat kepada Allah Ta‘ala dibandingkan waktu-waktu lainnya. Kedua, keberadaannya di kota mekkah yang dekat dengan kota madinah, sedang ia berasal dari negara yang jauh seperti Indonesia itu merupakan kesempatan yang boleh jadi tidak terulang dalam sepanjang hidupnya. Dengan demikian sungguh sangat disayangkan jika orang tersebut tidak melakukan ziarah Rasul.

 

Jadi bukan berarti ziarah rasul hanya dianjurkan sehabis haji, tidak demikian. Orang yang akan berhaji jika kota Madinah menjadi rute sebelum mekkah, maka dianjurkan baginya untuk ziarah Rasul meskipun ia belum berhaji atau ber-umrah, selama waktunya memungkinkan. Dan Imam Nawawi berkata: "Disunnahkan bagi orang yang berziarah kepada Nabi SAW untuk berniat “taqarrub” (mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ala) dengan perjalanannya ke masjid nabawi dan shalat di dalamnya." Hal ini mengingat bahwa perjalanan itu adalah sarana menuju dua ibadah tersebut, dan sarana ibadah itu memiliki hukum seperti hukum ibadahnya, yakni sama-sama hukumnya  sunnah sehingga mendapatkan pahala yang berlipat.

 

Dalam kitabnya, Al-Idlah Imam nawawi berkata : "Hendaknya ia menghadirkan dalam hatinya saat itu kemuliaan Kota Madinah, dan bahwa kota itu menurut sebagian ulama adalah tempat paling utama di dunia setelah Makkah, dan menurut sebagian lainnya bahkan lebih utama secara mutlak. Dan bahwa sosok yang menjadikan kota itu mulia — Nabi Muhammad SAW— adalah makhluk terbaik dari seluruh ciptaan. Hendaknya sejak awal kedatangannya hingga ia pulang, ia senantiasa merasakan pengagungan terhadap Nabi SAW, hatinya dipenuhi dengan rasa hormat dan kewibawaan, seakan-akan ia sedang melihat beliau. " [Al-Idlah Fi Manasikil Hajj]

 

Ketika seseorang sudah berada di area makam Nabi SAW maka hendaklah ia menghadap makam dengan penuh adab. Imam nawawi berkata : “Hendaknya peziarah berdiri menghadap bagian bawah dari dinding makam yang ada di hadapannya, dengan pandangan tertunduk dalam posisi penuh hormat dan pengagungan, hatinya kosong dari urusan dunia, dan ia menghadirkan dalam hatinya keagungan tempat tersebut dan kedudukan sosok yang ada dihadapannya. Kemudian ia mengucapkan salam, tanpa mengangkat suara, melainkan dengan suara yang tenang dan sedang-sedang." [Al-Idlah]

 

Satu ketika as-Sa’ib bin Yazid sedang berdiri di dalam masjid (nabawi), lalu seseorang melempariku dengan kerikil kecil. Maka aku pun menoleh, ternyata itu adalah ‘Umar bin al-Khattab. Umar menyuruhnya agar memanggil dua orang yang berkata dengan suara keras. Setelah keduanya hadir maka Umar bertanya : "Siapa kalian berdua, atau dari mana asal kalian?" Mereka menjawab: "Kami dari penduduk Tha’if." Umar berkata:

لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Seandainya kalian berdua dari penduduk kota ini (Madinah), niscaya aku akan menghukum kalian dengan keras, karena kalian meninggikan suara kalian di dalam masjid Rasulullah SAW." [Shahih Bukhari]

 

Untuk ber-salam kepada Nabi saat ziarah Rasul hendaknya memakai sighat salam yang panjang sebagaimana ada dalam buku tuntunan ziarah. Namun jika situasi tidak memungkinkan maka ber-salam boleh dengan sighat yang singkat. Imam nawawi berkata : "Telah datang (riwayat) dari Ibnu ‘Umar dan selainnya dari kalangan salaf radhiyallāhu ‘anhum, ucapan salam yang sangat ringkat. Maka Ibnu ‘Umar biasa mengucapkan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ

“Salam sejahtera semoga terlimpahkan kepadamu wahai utusan Allah” [Al-Idlah]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk ber-ziarah Rasul dengan penuh adab serta dengan harapan mendapat syafaat beliau di hari kiamat nanti.   

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

0 komentar:

Post a Comment