ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :
مَنْ زَارَ قَبْرِى وَجَبَتْ
لَهُ شَفَاعَتِى
"Barang
siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku." [HR
Baihaqi]
Catatan Alvers
Hadits utama di atas sering dikemukakan dalam masalah keutamaan
ziarah rasul namun di sisi lain hadits itu pula sering dituduh sebagai hadits maudlu’
alias hadits palsu sehingga tidak boleh disebarkan karena diancam dengan neraka
kepada siapapun yang menyampaikan hadits palsu.
Apakah benar hadits tersebut adalah palsu? Untuk menjawab
hal ini maka saya kutipkan fatwa dari majelis fatwa yang berada di bawah
naungan Departemen Dakwah dan Bimbingan Keagamaan di Kementerian Wakaf dan Urusan
Islam Negara Qatar dalam websitenya yaitu www islamweb net, sebagai berikut :
Hadits "Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka
wajib baginya mendapat syafaatku" itu diriwayatkan oleh al-Hakim
at-Tirmidzi, al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya,
dari Ibnu Umar RA dari Rasulullah SAW. Para ulama berbeda pendapat tentang
status Hadits ini menjadi tiga pendapat:
(1). Pendapat pertama : Hadits ini dinilai
palsu (maudhu‘) oleh Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama lainnya. (2). Pendapat
kedua : Hadits ini dinilai hasan atau
sahih oleh Imam as-Subki. Imam adz-Dzahabi berkata: "Seluruh jalurnya
lemah, tetapi saling menguatkan satu sama lain." (3). Pendapat ketiga: Hadits
ini dinilai lemah (da‘if) oleh sejumlah ahli Hadits seperti Imam an-Nawawi. al-Munawi dalam Faydlul
Qadir berkata :
وَبِالْجُمْلَةِ فَقَوْلُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ
مَوْضُوعٌ غَيْرُ صَوَابٍ
"Secara umum, pendapat Ibnu Taimiyah yang menilai hadits
ini sebagai hadits palsu adalah tidak benar."[ www islamweb net]
Dengan demikian, hadits diatas dinilai sebagai hadits
hasan (dibawah shahih dan diatas dla’if) atau paling tidak ia adalah hadits dla’if
namun demikian hadits tersebut boleh diamalkan. Syaikhul Islam Ibnu Hajar
al-Haitami (w. 974 H) berkata :
وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ
الضَّعِيفَ ... يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا... وَلَا
يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ
Telah menjadi ketetapan bahwa hadits dha’if ... dapat
diamalkan pada ranah “fadhail al-a’mal” (motivasi) dan tidaklah mengingkarinya
kecuali orang bodoh lagi tertipu. [al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra]
Praktik ziarah rasul telah dilakukan semasa sahabat nabi.
Nafi’, seorang tabi’in murid
Ibnu Umar dan guru dari Imam Malik, ia berkata : “(Sahabat Nabi) Ibnu Umar biasa ber-salam
ke makam nabi. Aku melihatnya seratus kali bahkan lebih datang ke makam nabi”. [As-Syifa
bita’rifi Huquqil Mushtafa] dan senada dengan hadits utama di atas, Rasul SAW
bersabda :
مَنْ زَارَ قَبْرِي بَعْدَ
مَوْتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي.
"Barang
siapa yang menziarahi kuburku setelah aku wafat, maka itu seperti halnya ia
menziarahiku ketika aku masih hidup." [HR Thabrani]
Ada juga hadits yang mengaitkan ziarah rasul dengan haji,
yaitu : "Barang siapa yang berhaji lalu menziarahi kuburku setelah
wafatku, maka ia seperti orang yang menziarahiku saat aku masih hidup." [HR
Thabrani]. Kenapa dalam hadits tersebut
dikaitkan dengan ibadah haji? Pertama, seseorang sehabis menunaikan ibadah haji
biasanya ia memiliki hati yang bersih dan merasa lebih dekat kepada Allah
Ta‘ala dibandingkan waktu-waktu lainnya. Kedua, keberadaannya di kota mekkah yang
dekat dengan kota madinah, sedang ia berasal dari negara yang jauh seperti Indonesia
itu merupakan kesempatan yang boleh jadi tidak terulang dalam sepanjang hidupnya.
Dengan demikian sungguh sangat disayangkan jika orang tersebut tidak melakukan
ziarah Rasul.
Jadi bukan berarti ziarah rasul hanya dianjurkan sehabis
haji, tidak demikian. Orang yang akan berhaji jika kota Madinah menjadi rute
sebelum mekkah, maka dianjurkan baginya untuk ziarah Rasul meskipun ia belum
berhaji atau ber-umrah, selama waktunya memungkinkan. Dan Imam Nawawi berkata: "Disunnahkan
bagi orang yang berziarah kepada Nabi SAW untuk berniat “taqarrub” (mendekatkan
diri kepada Allah Ta‘ala) dengan perjalanannya ke masjid nabawi dan shalat di
dalamnya." Hal ini mengingat bahwa perjalanan itu adalah sarana menuju dua
ibadah tersebut, dan sarana ibadah itu memiliki hukum seperti hukum ibadahnya,
yakni sama-sama hukumnya sunnah sehingga mendapatkan pahala yang berlipat.
Dalam kitabnya, Al-Idlah Imam nawawi berkata : "Hendaknya
ia menghadirkan dalam hatinya saat itu kemuliaan Kota Madinah, dan bahwa kota
itu menurut sebagian ulama adalah tempat paling utama di dunia setelah Makkah,
dan menurut sebagian lainnya bahkan lebih utama secara mutlak. Dan bahwa sosok
yang menjadikan kota itu mulia — Nabi Muhammad SAW— adalah makhluk terbaik dari
seluruh ciptaan. Hendaknya sejak awal kedatangannya hingga ia pulang, ia
senantiasa merasakan pengagungan terhadap Nabi SAW, hatinya dipenuhi dengan
rasa hormat dan kewibawaan, seakan-akan ia sedang melihat beliau. " [Al-Idlah
Fi Manasikil Hajj]
Ketika seseorang sudah berada di area makam Nabi SAW maka
hendaklah ia menghadap makam dengan penuh adab. Imam nawawi berkata : “Hendaknya
peziarah berdiri menghadap bagian bawah dari dinding makam yang ada di
hadapannya, dengan pandangan tertunduk dalam posisi penuh hormat dan
pengagungan, hatinya kosong dari urusan dunia, dan ia menghadirkan dalam hatinya
keagungan tempat tersebut dan kedudukan sosok yang ada dihadapannya. Kemudian
ia mengucapkan salam, tanpa mengangkat suara, melainkan dengan suara yang
tenang dan sedang-sedang." [Al-Idlah]
Satu ketika as-Sa’ib bin Yazid sedang berdiri di dalam
masjid (nabawi), lalu seseorang melempariku dengan kerikil kecil. Maka aku pun
menoleh, ternyata itu adalah ‘Umar bin al-Khattab. Umar menyuruhnya agar
memanggil dua orang yang berkata dengan suara keras. Setelah keduanya hadir
maka Umar bertanya : "Siapa kalian berdua, atau dari mana asal
kalian?" Mereka menjawab: "Kami dari penduduk Tha’if." Umar
berkata:
لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ
الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Seandainya kalian berdua dari penduduk kota ini
(Madinah), niscaya aku akan menghukum kalian dengan keras, karena kalian
meninggikan suara kalian di dalam masjid Rasulullah SAW." [Shahih Bukhari]
Untuk ber-salam kepada Nabi saat ziarah Rasul hendaknya memakai
sighat salam yang panjang sebagaimana ada dalam buku tuntunan ziarah. Namun
jika situasi tidak memungkinkan maka ber-salam boleh dengan sighat yang
singkat. Imam nawawi berkata : "Telah datang
(riwayat) dari Ibnu ‘Umar dan selainnya dari kalangan salaf radhiyallāhu
‘anhum, ucapan salam yang sangat ringkat. Maka Ibnu ‘Umar biasa mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا
رَسُولَ اللهِ
“Salam sejahtera semoga terlimpahkan kepadamu wahai utusan
Allah” [Al-Idlah]
Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan
pikiran kita untuk ber-ziarah Rasul dengan penuh adab serta dengan harapan
mendapat syafaat beliau di hari kiamat nanti.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul
Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren
Wisata
AN-NUR 2 Malang
Jatim
Ngaji dan Belajar
Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok
Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni
Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya
sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.
0 komentar:
Post a Comment