ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik RA, Rasul SAW Bersabda :
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ
“Ya Allah, perbanyaklah
harta (Anas) dan keturunannya.” [HR Muslim]
Catatan
Alvers
Musibah
runtuhnya musholla Ponpes di sidoarjo menimbulkan berbagai komen dan isu liar
dari netizen. Mulai tuduhan korupsi dalam proses pembangunannya hingga sorotan terhadap
tradisi kerja bakti santri dalam proses pengecoran yang dituduh sebagai bentuk perbudakan
terhadap santri. Namun tidak sedikit yang menyangkal tuduhan tersebut. Ada yang
berkomentar “Kalo santri yang kerja bakti disebut budak kyai, maka kalau ada kerja
bakti di lingkungan RT jangan ikut, ntar disebut budak RT”. Selamat datang di
penghujung zaman dimana ilmu mudah di dapat tapi keberkahan mulia dilupakan
sehingga banyak orang pintar namun tidak benar. Sehat-sehat pejuang barokah!”. “Hanya
zaman sekarang ngabdi dikira jadi budak kyai.”
Menanggapi
hal ini, Gus Yusuf Magelang menjawab dengan lantang dalam sebuah pidato yang
beredar di medsos : “ini terjadi karena pondok itu, santri dan bangunannya itu lebih
dulu santrinya. Santri ada terlebih dahulu, baru kemudian bangun gedung. Tidak
seperti gedung sekolah, SD inpres langsung jadi padahal belum ada muridnya. Itu
bisa terjadi karena dibiayai negara. Tapi kalo pondok tidak dibiayai oleh negara,
lillahi Ta’ala. Itu semua atas usaha kyainya. Kyai punya uang sedikit beli
tanah sepetak. Kyai ada rizki lagi karena habis panen sawah maka beli semen. Ada
wali santri bantu pasir, ada muhibbin bantu ini dan itu. Jadi bangunan pondok
itu berdiri secara secara bertahap, tidak spontan langsung jadi. Ini yang harus
dipahami masyarakat sehingga tidak menyalah-nyalahkan kyainya”.
Selanjutnya
ketika kita berbicara tentang santri yang mendapatkan kehormatan untuk melayani
gurunya, maka jangan langsung terbayang gambaran di benak kita gambaran
Mengenai
para penjaga dan pelayan yang ada di rumah kebanyakan para pejabat atau hartawan.
Mereka menjadikan para pelayan sebagai
pembatas antara diri mereka dan orang biasa bahkan tak jarang menjadi simbol keangkuhan.
Semakin banyak penjaga dan pelayan, semakin dianggap tinggi kedudukan dan
kemegahan sang majikan.
Memang
keduanya serupa namun tidaklah sama, bahkan sangat jauh berbeda. Lihatlah para
sahabat yang melayani Nabi SAW, mereka melayani secara suka rela dan merasa
bangga bisa melayani beliau. Mereka yang berstatus para pelayan tidak menerima
imbalan apa pun dari Baitul Mal (kas negara). Mereka itu datang secara sukarela,
tanpa ada yang memaksa mereka. Masing-masing memilih tugas yang ingin ia
lakukan dengan penuh cinta, hormat, dan penghargaan semata-mata mengharap ridla
Allah Ta‘ala, doa terbaik dari Nabi SAW, disertai harapan untuk bisa dekat dengan
beliau.
Satu
ketika Ummu
Anas
(ibunya Anas), membawa anaknya yang
masih kecil kepada
Rasul SAW dengan memakai sarung berupa separuh kerudungnya dan memakai
baju dengan separuhnya
lagi.
Lalu ia berkata
:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أُنَيْسٌ ابْنِي أَتَيْتُكَ
بِهِ يَخْدُمُكَ فَادْعُ اللَّهَ لَهُ
“Wahai Rasulullah, ini adalah
Anas kecil, anakku.
Aku membawanya kepadamu agar ia melayanimu. Maka mohonkanlah doa kebaikan
kepada Allah untuknya.”
Maka Rasul
SAW berdoa
dengan hadits utama diatas, “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya.”
Dan benarlah dikemudian hari Anas berkata, “Demi Allah,
hartaku sungguh banyak, dan anak-anakku serta cucu-cucuku kini berjumlah hampir
seratus orang.” [HR Muslim] Dan Anas berkata
:
خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَشْرَ سِنِينَ
Aku
melayani Nabi SAW selama sepuluh tahun. [Shahih Bukhari]
Dan
Anas juga berkata : Aku melayani Rasul SAW ketika berumur sepuluh tahun dan
beliau wafat ketika aku berumur dua puluh tahun. [HR Thabrani]
Begitu
pula Abdullah Ibnu Abbas, ia melayani Rasul SAW. Satu ketika beliau masuk ke tempat buang air, lalu
Ibnu Abbas menyiapkan
air wudlu untuk beliau. (lalu
ketika keluar, beliau menemukan air
wudlu telash tersedia).
Maka beliau bertanya, “Siapa yang menyiapkan ini?”
Lalu ada yang memberitahukan hal itu, Maka beliau berdoa,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Ya Allah, pahamkan ia
urusan agama.”
[HR Bukhari]
Banyak
sahabat yang berkhidmah kepada Nabi SAW. Ibnul Qayyim berkata : Di antara
mereka adalah Anas bin Malik, yang mengurus berbagai keperluan beliau. Abdullah
bin Mas’ud, yang membawa sandal dan siwak beliau. Uqbah bin Amir al-Juhani,
yang bertugas membawa keledai beliau dalam perjalanan. Aslam bin Syarik, yang
mengurus kendaraan beliau. Bilal bin Rabah, muadzin beliau... Ayman bin Ubaid bertugas
mengurus air dan keperluan pribadi beliau. [Zadul Ma’ad]
Maka
apa yang dilakukan para santri kepada kyainya itu tak ubahnya apa yang
dilakukan oleh para sahabat kepada Nabi SAW. Para santri adalah cerminan para
sahabat sedangkan ulama itu adalah “waratsatul Anbiya” (pewaris para Nabi). Tak
terkecuali sepupu nabi, Ibnu Abbas. Ia ingin melayani
Zaid bin Tsabit RA selaku
ulama. Ketika
ia hendak naik ke baghal-nya maka Ibnu Abbas
menuntunkan tali hewannya untuknya. Meski dilarang,
Ibnu Abbas bersikukuh melayaninya dan berkata :
هَكَذَا نَفْعَلُ بِالْعُلَمَاءِ لِأَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ عَنْهُ الْعِلْمَ
Beginilah perlakuan kami
terhadap ulama karena ia telah berjasa memberikan ilmu. [Ghidza’ul Albab]
Hubungan
santri dengan kyai bukanlah seperti hubungan pelayan dengan majikan namun
seperti anak dengan orang tuanya. Syeikh Az-Zarnuji berkata :
فَإِنَّ مَنْ عَلَّمَكَ حَرْفًا وَاحِدًا مِمَّا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِى
الدِّيْنِ فَهُوَ أَبُوْكَ فِى الدِّيْنِ
“Orang yang telah
mengajarimu satu huruf dari masalah agama yang engkau butuhkan maka
sesungguhnya dialah bapakmu dalam urusan agama”. [Ta’limul Muta’allim]
Hal ini seperti maqalah yang berbunyi :
أباؤك ثَلاَثَةٌ: أَبُوْكَ الَّذِي وَلَدَكَ، وَالَّذِي زَوَّجَكَ
إِبْنَتَهُ، وَالَّذِي عَلَّمَكَ
“Bapakmu itu ada
tiga. (1) bapak yang menyebabkan kelahiranmu. (2) bapak
yang mengawinkanmu dengan putrinya (3), bapak yang mengajarkan ilmu
kepadamu.”
[Al-Mahaj al-Sawi]
Santri
tak ubahnya seperti anak namun posisi anak itu ada yang menjadi raja dan ada
yang menjadi budak. Anak menjadi raja karena ia menyuruh-nyuruh bapaknya, minta
dilayani dan membentak-bentak bapaknya. Dan Anak menjadi budak karena ia
melayani bapaknya dan membantu apapapun keperluan bapaknya. Dan selayaknya anak,
ia tidak patut meminta imbalan kepada orang tuanya. Maka supaya tidak salah
posisi, ditegaskan bahwa santri itu seperti anak yang budak, bukan raja oleh sayyidina Ali KW
:
أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِي حَرْفًا وَاحِدًا، إِنْ شَاءَ بَاعَ، وَإِنْ
شَاءَ اِسْتَرَقَّ
“Saya adalah budak dari
orang yang telah mengajariku satu huruf. Jika ia mau maka ia boleh menjualku,
atau tetap menjadikanku sebagai budaknya. [Ta’limul Muta’allim]
Motivasi
inilah yang menjadikan para santri melayani para kyai secara suka rela dan
perlu diketahui, para kyai dulunya ketika menjadi santri, mereka juga melayani
kyainya. Para anak kyai yang dikenal dengan sebutan “gus” juga menjadi pelayan
kyainya di pesantren lain. Demikian pula yang kita kenal seorang da’i kondang dari
blitar, Gus Iqdam Khalid. Ia dulunya juga berkhidmah dengan menjadi sopir di pesantren
ploso kediri semasa ia mondok. Ketika di pesantren ia terbiasa melayani
kyainya, maka santri ketika pulang akan terbiasa melayani bapak ibunya dengan
penuh takdzim dan hormat.
Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan
pikiran kita untuk tidak mudah berkomentar negatif kepada fenomena yang terjadi tanpa kita mencari
tahu terlebih dahulu duduk perkaranya. Semoga kita dijadikan oleh Allah sebagai
orang yang selalu berpikiran positif. Amin.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok itu Keren!
Pesan Buku ODOH :
0813-5715-0324
NB.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share
sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata :
_Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka
sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]
0 komentar:
Post a Comment