ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah RA, Rasul SAW Bersabda :
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ
يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana di
antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci tujuh kali
dan awalnya dengan tanah.” [HR Muslim]
Catatan Alvers
Ramai soal beredar
kabar bahwa ompreng (food tray) program MBG (Makanan Bergizi Gratis) yang
sebagian berasal dari china itu dibuat dengan pelumas berbahan minyak babi
dalam proses pencetakan wadahnya. Kepala BGN menegaskan bahwa minyak tidak
menjadi bahan dalam pembuatan food tray MBG. Wadah tersebut dibuat dari logam,
termasuk nikel. Minyak (tanpa menyebut babi) itu hanya dipakai saat proses
pencetakan untuk mencegah alat panas dan memudahkan produksi. Setelah itu, food
tray dibersihkan dan disterilkan. [detik com] Lalu jika hal itu benar, apakah
ompreng masih boleh dipakai untuk wadah makanan? Ataukah harus diganti ompreng
yang lain jelas suci?
Dalam agama islam,
babi merupakan binatang yang haram. Mengapa babi itu haram? Secara tegas, Allah
SWT berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah.” [QS Al-Ma’idah: 3]
Dan karena jelasnya status keharaman babi maka Rasul SAW menjadikannya
sebagai perumpamaan. Beliau bersabda :
مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ
خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ
“Barangsiapa
bermain dadu maka seolah-olah dia telah melumuri tangannya ke dalam daging babi
dan darahnya (untuk memakannya).” [HR Muslim]
Imam Nawawi
berkata : Ini adalah penyerupaan dalam sisi keharamannya (bermain dadu) dengan
haramnya memakan daging dan darah babi. [Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Hajjaj]
Suatu ketika
Syeikh Muhammad Abduh, Ulama asal Mesir (1849 –1905) mengunjungi Perancis.
Orang-orang di sana bertanya mengenai hukum babi dalam Islam. "Kalian
(umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang
mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Adapun
sekarang babi itu diternak dalam peternakan modern dengan kebersihan terjamin
dan proses sterilisasi yang mencukupi. Lalu kenapa babi tetap kalian haramkan
?"
Syeikh Muhammad
Abduh menunjukkan secara langsung, dua ekor ayam jantan dan satu ayam betina
dalam satu kandang, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina dalam
satu kandang lainnya. Ia menyuruh orang-orang mengamati dua ekor ayam jantan
yang berkelahi dan saling membunuh untuk mendapatkan satu ayam betina sementara
ke dua babi jantan saling membantu untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa
rasa cemburu dan tanpa harga diri. Selanjutnya beliau berkata,
"Saudara-saudara, daging babi membunuh 'rasa cemburu' dari orang yang
memakannya karena daging babi itu dapat menularkan sifat-sifatnya pada orang
yang memakannya." [Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, At-Tha’am Fil Islam]
Syeikh Wahbah
Az-Zuhayli memberikan sejumlah alasan diharamkannya babi. (1) adanya unsur
bahaya dan (2) kotor karena babi terbiasa hidup di tempat kotor (3) sering kali
mengandung cacing seperti Taenia solium (cacing pita) dan Trichinella spiralis
(cacing rambut spiral). (4) Dagingnya
juga sulit dicerna karena banyaknya lemak yang menyelimuti serat otot dan
kandungan zat lemaknya yang tinggi. (5) memiliki sifat buruk, seperti tidak
memiliki rasa cemburu terhadap betinanya. Sifat-sifat ini diyakini dapat
berpindah melalui konsumsi dagingnya. [Tafsir Al-Munir]
Lalu Syeikh Wahbah
Az-Zuhayli menjawab pertanyaan di atas, Beliau berkata :
فَإِنَّ هٰذَا لَا يَتَيَسَّرُ لِكُلِّ النَّاسِ، كَمَا أَنَّ
الأَضْرَارَ المَعْنَوِيَّةَ لَا يُمْكِنُ تَجَنُّبُهَا
“Sesungguhnya hal
ini (standar kebersihan dan medis terhadap daging babi) tidak dapat dijangkau
oleh semua orang. Begitu pula, dampak moral dan spiritual dari konsumsi babi
tetap tidak bisa dihindari”.
Karena itu,
seorang Muslim wajib memegang teguh larangan ini secara mutlak, baik alasan
medis dan moralnya masih relevan di masa kini maupun tidak. Sebab, dalam
syariat, yang menjadi dasar adalah menjaga kemaslahatan umat secara
keseluruhan, bukan hanya individu tertentu”. [Tafsir Al-Munir]
Imam Al-Khatib
As-Syirbini menambahkan keterangan diatas dengan perkataan ulama : "Oleh
karena itu, ketika bangsa Eropa (al-Faranj) terus-menerus mengonsumsi daging
babi maka hal itu mewariskan kepada mereka sifat rakus yang besar dan keinginan
kuat terhadap hal-hal yang dilarang. Ia juga mewariskan hilangnya rasa cemburu;
karena babi jantan melihat babi lain mengawini betinanya, namun ia tidak
bereaksi karena tidak memiliki rasa cemburu."[Tafsir As-Siraj Al-Munir]
Selanjutnya, dalam
agama islam, babi dihukumi najis. Allah SWT berfirman :
أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
(Diharamkan...)
atau daging babi karena ia adalah rijs (najis). [QS Al-An’am : 145]
Al-Jurjani berkata
:
رِجْسٌ: أَيْ نَجِسٌ مَكْرُوهٌ مُسْتَقْذَرٌ تَعَافُهُ النُّفُوسُ
غَالِبًا
"Rijs itu
adalah sesuatu yang najis, dibenci, menjijikkan, dan biasanya membuat jiwa
merasa enggan atau jijik terhadapnya." [Tafsir Darjud Durar]
Al-Alusi berkata :
Ulama Syafi’iyyah membuat ayat tsb sebagai dalil akan najisnya babi. Hal ini
dikarenakan dlamir (Hu) itu kembalinya kepada khinzir (Babi) karena itu adalah
lafadz yang terdekat. [Tafsir Ruhul Ma’any] Dengan demikian maka najis itu
mencakup pada keseluruhan bagian dari babi, apakah itu daging, tulang, lemak
dll. Dan ini menolak pendapatnya Abu Muhammad (Ibn Hazm al-Andalusi) yang
menyatakan bahwa kembalinya dlamir (Hu) itu kepada “lahm” (daging) bukan kepada
“khinzir” (babi) sehingga (menurutnya, selain daging seperti) lemaknya, tulang
rawannya, tulangnya, dan kulitnya itu semua hukumnya halal (suci)."
[Tafsir Ruhul Ma’any]
Kemudian babi itu
termasuk kategori najis mughalladzah dengan diqiyaskan (dengan qiyas awlawi)
kepada najisnya anjing. Imam Nawawi berkata : "Adapun babi, maka ia
dihukumi najis karena keadaannya lebih buruk daripada anjing sebab babi
dianjurkan untuk dibunuh meskipun tidak membahayakan, dan terdapat nash (teks
syar‘i) yang jelas tentang pengharamannya”.
فَإِذَا كَانَ الْكَلْبُ نَجِسًا فَالْخِنْزِيرُ أَوْلَى
“Jika anjing itu
najis, maka babi lebih utama (untuk dinyatakan najis)”. [Al-Majmu’]
Maka cara
mensucikan najisnya babi itu sama dengan cara mensucikan najisnya anjing, yaitu
dinyatakan dalam hadits utama : “Sucinya bejana di antara kalian apabila dijilat
anjing adalah dengan dicuci tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [HR Muslim]
dan dalam riwayat lain “Ihdahunna bit turab” (salah satunya dengan debu). [HR
Nasa’i]
Selanjutnya,
apakah debu bisa diganti dengan sabun detergent atau semisalnya? Al-Halabi
berkata : Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat. Salah satunya
menyatakan :
نَعَمْ، كَمَا يَقُومُ غَيْرُ الْحَجَرِ مَقَامَهُ فِي
الِاسْتِنْجَاءِ
Iya (bisa
digantikan), sebagaimana selain batu sama bisa disetarakan dengan batu dalam
masalah istinja’
Dan sebagaimana
selain “Shabb” (Batu tawas) dan “Qardh” (daun salam), bisa menggantikan posisi
keduanya dalam masalah menyamak kulit. Dan Ini adalah pendapat yang dishahihkan
oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Ru'us al-Masa'il (wa tuhfatu Tullabil Fadha’il).
[Kifayatul Akhyar]
Namun demikian ada
juga keterangan dari Imam Nawawi, beliau berkata :
وَذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ الْخِنْزِيرَ لَا
يَفْتَقِرُ إِلَى غَسْلِهِ سَبْعًا وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ قَوِيٌّ
فِي الدَّلِيلِ
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa (mensucikan najis) babi itu tidak perlu dibasuh tujuh kali,
ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i dan ini kuat dalilnya. [Al-Minhaj Syarah
Shahih Muslim]
Dengan demikian
jika benar ompreng itu terkena lemak babi maka ompreng itu dihukumi mutanajjis
(terkena najis) sehingga tetap
bisa dipergunakan untuk wadah makanan dengan syarat disucikan terlebih
dahulu.
Wallahu A’lam.
Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk selalu menebar
kedaiaman kepada orang-orang di sekeliling kita serta menghidarkan diri dari
perbuatan yang dapat menyakiti mereka sehingga kita menjadi seorang muslim yang
didefinisikan oleh rasul SAW.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul
Bari, SS., M.Ag
Pondok Pesantren
Wisata
AN-NUR 2 Malang
Jatim
Sarana Santri
ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok
itu Keren!
Pesan Buku ODOH
: 0813-5715-0324
NB.
“Ballighu Anni
Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada.
Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus
setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]
0 komentar:
Post a Comment